Kaleidoskop 2022: Menguji Harga Komoditas dan Energi di Tengah Sentimen Perang serta Inflasi
Sejumlah komoditas penting dunia mengalami fluktuasi harga signifikan sepanjang tahun 2022.
IDXChannel - Sejumlah komoditas penting dunia mengalami fluktuasi harga signifikan sepanjang tahun 2022. Beberapa di antaranya cukup sensitif terhadap kondisi ekonomi global dan dinamika geopolitik.
Sebut saja, minyak, emas, batu bara, dan bahan pangan seperti gandum dan bahan pangan pokok lainnya.
Kondisi geopolitik global diperparah dengan pecahnya perang Rusia-Ukraina di awal tahun ini, tepatnya pada 24 Februari 2022. Hal ini berdampak signifikan terhadap harga dan pasokan komoditas utama dunia.
Tak hanya perang, belum selesainya pandemi Covid-19 menyebabkan banyak negara tertatih dan kelimpungan dalam membangun kembali ekonomi mereka yang rontok akibat pandemi.
China, misalnya, yang harus memberlakukan kebijakan Zero Covid-19 yang berdampak pada gangguan perdagangan internasional, termasuk di sektor komoditas penting seperti minyak dan batu bara.
Selain kondisi geopolitik, kenaikan suku bunga yang terus terjadi di negara-negara ekonomi utama sangat membebani kegiatan ekspor impor komoditas.
Ketidakpastian suku bunga ini berdampak juga pada fluktuasi nilai tukar sejumlah mata uang terhadap dolar AS. Mengingat dolar AS masih menjadi alat tukar utama dalam perdagangan internasional, kondisi ini tentu sangat berdampak.
Berdasarkan gambaran tersebut, Tim Riset IDX Channel merangkum pergerakan komoditas sepanjang 2022 ini dengan melihat tren harga beberapa komoditas utama seperti minyak, gas alam, batu bara, emas, dan komoditas pangan.
- Minyak Bumi
Pasar minyak dunia nampaknya menjadi komoditas yang paling tersengat sentiment geopolitik selama setahun ini.
Pecahnya perang telah membuat harga minyak sempat menembus posisi tertinggi sepanjang masa atau all-time high (ATH) di awal tahun, setelah di tahun sebelumnya sempat terpuruk akibat pandemi Covid-19.
Hal ini karena meningkatnya permintaan energi pasca pandemi ditambah terganggunya pasokan minyak dan akibat sanksi embargo yang dijatuhkan sejumlah negara ke Rusia, terutama konsumen Eropa.
Kondisi ini sempat mendorong harga minyak berfluktuasi dengan cepat. Harga minyak West Texas Intermediate atau WTI (NYMEX) sempat menembus angka USD119,28 per barel pada Maret tahun ini. (Lihat grafik di bawah ini.)
Sumber: Trading Economics, diolah tim riset IDX Channel, Desember 2022
Teranyar, minyak mentah berjangka WTI stabil mendekati harga USD77 per barel pada hari Kamis (15/12) setelah reli hampir 9% dalam tiga sesi terakhir, karena investor mempertimbangkan faktor pasar yang sedang bergejolak.
Belum lagi Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutu mereka (OPEC+) yang sempat mengumumkan akan memangkas produksi harian minyak mentah. Kondisi ini juga sangat mempengaruhi naik turunnya harga minyak.
Tak tanggung-tanggung, jumlah produksi yang akan dipangkas mencapai 2 juta barel per hari (BOPD), setara dengan 2% dari pasokan global minyak mentah. Langkah ini merupakan pengurangan pasokan terbesar sejak 2020.
Terbaru, Rusia juga memutuskan akan memangkas produksi minyaknya setelah pemberlakuan price cap oleh negara Barat guna menghentikan negeri Beruang Merah mendapat uang dalam mendanai perang mereka.
Fluktuasi harga minyak ini dapat dikatakan hanya berkutat pada perseteruan geopolitik antara OPEC+, Rusia dan Amerika Serikat (AS), karena produksi minyak terbesar dunia masih dikendalikan oleh AS, Arab Saudi, Rusia sebagai top three. (Lihat grafik di bawah ini.)
Badan Energi Internasional (IEA) juga mengatakan bahwa harga minyak dapat naik tahun depan karena China akan kembali meningkatkan permintaan karena Covid-19 sudah mulai terkendali dan karena sanksi Barat terkait price cap akan menekan pasokan Rusia.
Sementara itu, OPEC dan Goldman Sachs memperingatkan bahwa permintaan energi global dapat melemah tahun depan karena hambatan ekonomi makro.
Data resmi juga menunjukkan bahwa persediaan minyak mentah AS naik lebih dari 10 juta barel pekan lalu, peningkatan terbesar sejak Maret 2021. Kondisi ini akan menyebabkan kelebihan pasokan dan berpotensi kembali menghantam harga minyak.
- Gas Alam
Gas alam AS diperdagangkan sekitar USD7/MMBtu, bergerak naik setelah sebelumnya berada di posisi terendah dalam lima bulan terakhir sebesar USD5,5/MMBtu yang dicapai pada tanggal 6 Desember. Harga gas alam sempat ATH di level USD9,7/MMBtu pada bulan Agustus 2022. (Lihat grafik di bawah ini.)
Sumber: Trading Economics, diolah tim riset IDX Channel, Desember 2022
Harga gas alam diproyeksikan tetap lemah untuk tahun ini, karena cuaca yang lebih sejuk di sebagian besar bulan Oktober dan November, sementara rekor tingkat produksi menambah sentimen bearish.
EIA melaporkan bahwa produksi gas alam kering AS, yang digunakan terutama di rumah dan bisnis untuk pemanas, memasak, dan listrik, akan memecahkan rekor tahunan 98,0 Bcf per hari pada tahun 2022. Sebagai informasi, gas alam menyumbang hampir seperempat dari konsumsi energi AS.
Kontrak berjangka gas alam diperdagangkan dalam satuan 10.000 juta British thermal unit (mmBtu). Sementara penetapan harga didasarkan pada pengiriman di Henry Hub di Louisiana.
Amerika Serikat adalah produsen gas alam terbesar diikuti oleh Rusia. Sementara untuk kebutuhan benua Eropa, Rusia menjadi pemasok terbesar gas alam di kawasan tersebut.
Penghentian pasokan gas alam yang sempat melanda Benua Biru membuat beberapa negara ekonomi utama seperti Jerman dan Inggris kelimpungan pasokan energi dalam negeri. Kondisi ini mendorong Eropa memasuki era krisis energi terburu.
Ledakan pipa gas Nord Stream di Laut Baltik semakin memperparah konflik hingga krisis energi di Eropa.
Gazprom, perusahaan gas negara milik Rusia, memutuskan menutup pipa utama yang mengalir melalui Belarus dan Polandia dan mengirimkan gas ke Jerman dan negara-negara Eropa lainnya.
Pada Juni lalu, Gazprom memotong pengiriman gas melalui Nord Stream 1 sebesar 75% dari 170m3 meter kubik gas per hari menjadi hanya sekitar 40 m3 meter kubik saja.
- Batu bara
Dalam satu setengah tahun terakhir, batu bara mengalami kebangkitan yang mengejutkan. Kebangkitan ini ditopang oleh harganya yang terus melambung, juga pasokan yang tersedia melimpah.
Adalah invasi Rusia ke Ukraina yang telah menjadi game changer dan mengguncang pasar energi saat ini. Kondisi ini disebut berkontribusi terhadap dinamika harga batu bara.
Meskipun ekonomi global melambat dan penguncian di China, harga gas alam yang melonjak setelah invasi Rusia ke Ukraina menopang penggunaan batu bara dunia tahun ini. Pada bulan September, harga batu bara mencapai rekor tertinggi sekitar USD457,80 per ton. (Lihat grafik di bawah ini.)
Sumber: Trading Economics, diolah tim riset IDX Channel, Desember 2022
Batu bara berjangka Newcastle, tolok ukur pasar di Asia diperdagangkan lebih dari USD400 per ton, meroket lebih dari 150% dibanding tahun lalu, di tengah prospek permintaan yang terus kuat dan pasokan yang terbatas.
Menurut laporan IEA, konsumsi batu bara dunia diperkirakan meningkat pada tahun 2022, kembali ke tingkat rekor yang dicapai hampir satu dekade lalu.
Berdasarkan tren ekonomi dan pasar saat ini, konsumsi batu bara global diperkirakan akan meningkat sebesar 0,7% pada tahun 2022 menjadi 8 miliar ton, dengan asumsi ekonomi China pulih seperti yang diharapkan pada paruh kedua tahun ini, menurut IEA's July 2022 Coal Market Update.
Sebaliknya, perang Rusia-Ukraina yang sedang berlangsung diperkirakan akan mengurangi produksi dari Rusia dan Ukraina masing-masing sebesar 18% dan 50,5% pada 2022.
Total global ini akan menyamai rekor tahunan yang ditetapkan pada tahun 2013, dan permintaan batubara kemungkinan akan meningkat lebih lanjut tahun depan ke level tertinggi baru sepanjang masa.
Permintaan dari Eropa di tengah kekhawatiran kekurangan gas alam untuk pembangkit listrik juga meningkat. Ditambah dengan meroketnya impor batu bara termal dari India, karena permintaan listrik meningkat, adanya gelombang panas dan peningkatan aktivitas ekonomi, telah mendorong harga lebih tinggi.
Di sisi pasokan, cuaca basah dan banjir yang berdampak pada Australia oleh fenomena La Nina telah memukul produksi batu bara seperti di Glencore, BHP, dan Anglo-Amerika.
Akibatnya, ekspor batu bara termal Australia kemungkinan akan turun 13 juta ton menjadi 183 juta tahun ini.
Posisi Indonesia sebagai produsen batu bara terbesar ketiga di dunia setelah China dan India sangat diuntungkan. Setelah mencatatkan pertumbuhan yang kuat sebesar 8,9% pada tahun 2021, produksi tambang batu bara Indonesia diperkirakan akan mencatat pertumbuhan sebesar 2,6% year-on-year (yoy) hingga mencapai 629,9Mt pada tahun 2022.
- Emas
Emas sebagian besar diperdagangkan di pasar OTC London, pasar berjangka AS (COMEX) dan Shanghai Gold Exchange (SGE). Kontrak masa depan standar adalah 100 troy ons. Pada bulan Maret 2022, harga emas sempat mencapai rekor tertinggi sekitar USD2052,41 per ons. (Lihat grafik di bawah ini.)
Sumber: Trading Economics, diolah tim riset IDX Channel, Desember 2022
Emas menjadi investasi yang menarik selama periode ketidakpastian politik dan ekonomi.
Berbagai situasi yang terjadi seperti politik, ekonomi, krisis, resesi, atau perang adalah salah satu pemicu naik dan turunnya harga emas. Sebab dalam kondisi ekonomi dan politik yang kacau balau, emas seringkali dianggap sebagai penyelamat.
Saat terjadi krisis atau perang, biasanya harga emas akan melonjak naik. Investasi emas disebut-sebut salah satu aset aman (safe haven).
Setengah dari konsumsi emas di dunia adalah perhiasan, 40% investasi, dan 10% industri. Produsen emas terbesar adalah China, Australia, Amerika Serikat, Afrika Selatan, Rusia, Peru dan Indonesia. Konsumen perhiasan emas terbesar adalah India, China, Amerika Serikat, Turki, Arab Saudi, Rusia, dan Uni Emirat Arab.
Adapun di tahun ini, mengutip data Kementerian ESDM, realisasi produksi emas di Indonesia mencapai 34,39 ton dengan realisasi penjualan mencapai 16,28 ton.
Harga emas diperdagangkan ke USD1800 per ons pada hari Rabu (14/12). Angka ini sedikit anjlok dari sebelumnya sebesar USD1812,9 setelah Federal Reserve (The Fed) mengumumkan kenaikan suku bunga 50 bps.
Emas memang sangat sensitif terhadap prospek suku bunga karena suku bunga yang lebih tinggi meningkatkan biaya peluang memegang emas yang tidak memberikan imbal hasil dan mengurangi daya tariknya, dan sebaliknya.
Meski demikian, harga emas telah diperdagangkan pada level tertinggi enam bulan bulan ini. Hal ini karena terdapat keyakinan di kalangan investor bahwa bank sentral utama dunia akan segera mulai memperlambat laju kenaikan suku bunga.
- Komoditas Pangan
Komoditas pangan juga termasuk yang paling terdampak gejolak geopolitik dan ekonomi global tahun ini.
Cereal price index yang merepresentasikan harga biji-bijian seperti gandum, jagung, beras yang sempat berada di angka tertinggi pada Mei dengan indeks 169,8.
Sementara untuk dairy proce index dan indeks daging sempat berada di posisi tertinggi pada Juni masing-masing dengan indeks 146,9 dan 123,2 dan gula pada April dengan indeks 118,9. Secara keseluruhan indeks bahan pangan tertinggi berada di bulan maret dengan indeks 156,3. (Lihat grafik di bawah ini.)
Adapun indeks harga ini disusun menggunakan Indeks Harga Gandum International atau International Grains Council (IGC).
Indeks Harga Sereal atau Cereals Price Index FAO turun 1,3% menjadi 150,4 poin pada November 2022, di tengah penurunan harga gandum sebesar 2,8% karena Rusia bergabung kembali dengan Black Sea Grain Initiative.
Inisiatif ini adalah perjanjian antara Rusia dan Ukraina yang dibuat dengan Turki dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selama invasi Rusia ke Ukraina tahun ini.
Pasca pecahnya perang, sebanyak 47 juta orang diperkirakan menderita kelaparan parah sebagai akibat dari melonjaknya harga pangan dunia sebagian karena dampak invasi Rusia ke Ukraina.
Negara-negara berkembang dan berkembang di Afrika, Asia, dan Amerika Latin paling terpengaruh oleh perang ini karena ketergantungan mereka pada biji-bijian dan bahan bakar impor.
Menurut UN Food and Agriculture Organization, Ukraina adalah salah satu pengekspor biji-bijian terkemuka dunia, menyediakan lebih dari 45 juta ton per tahun ke pasar global.
Sekitar 20 juta ton biji-bijian sempat tertahan di kota pelabuhan Odesa, Ukraina, akibat perang.
Hampir semua produk komoditas gandum, jagung, dan minyak bunga matahari dari Ukraina diekspor melalui pelabuhan Laut Hitam.
Baru-baru ini, terjadi penurunan permintaan impor untuk pasokan beberapa komoditas serelia dari AS karena harga yang tidak kompetitif, dan persaingan yang lebih besar di pasar global dengan pengiriman yang meningkat dari Rusia. (ADF)