ECONOMICS

Kaleidoskop Economic 2022: Surplus 30 Bulan, Perang sampai Resesi 2023 akan Ganggu Neraca Dagang RI?

Selfie Miftahul Jannah 14/12/2022 14:46 WIB

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kinerja sektor eksternal Indonesia masih positif hingga Oktober 2022.

Surplus 30 Bulan, Perang sampai Resesi 2023 akan Ganggu Neraca Dagang RI?. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kinerja sektor eksternal Indonesia masih positif hingga Oktober 2022. Bahkan, tren surplus neraca perdagangan terus berlanjut hingga memasuki bulan ke-30.

"Surplus neraca perdagangan di Oktober 2022 mencapai USD5,7 miliar, meningkat dibandingkan bulan sebelumnya," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KITA edisi November di Jakarta, Kamis (24/11/2022).

Dia menyebutkan, surplus ini berasal dari ekspor pada bulan Oktober 2022 yang tercatat sebesar USD24,8 miliar, meningkat 12,30% year-on-year (yoy), atau setara 30,97% year-to-date (ytd) dan 0,13% month-to-month (mtm).

Sri Mulyani mencatat bahwa impor di Oktober 2022 tercatat sebesar USD19,1 miliar, tumbuh 17,44% yoy, atau setara 27,72% ytd, namun menurun 3,40% mtm. Secara kumulatif, sambung dia, surplus neraca perdagangan di periode Januari-Oktober 2022 mencapai USD45,5 miliar.

"Angka ini lebih besar dari periode Januari-Oktober 2021 sebesar USD30,9 miliar dan  lebih tinggi dari tahun fiskal 2021 yang sebesar USD35,4 miliar," jelas dia.

https://www.idxchannel.com/economics/sri-mulyani-beberkan-kinerja-neraca-dagang-ri-surplus-30-bulan-beruntun/2

Namun, setelah berhasil tetap surplus selama masa pandemi neraca dagang Indonesia akan kembali menghadapi tantangan perdagangan pasca-Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Bali. Hal tersebut terjadi karena perang Rusia-Ukraina masih belum mereda.

Bahkan eskalasi perang kembali meningkat setelah terjadi salah sasaran rudal ke Polandia. Meskipun belum dipastikan bahwa rudal ini milik Rusia.Hal ini memicu negara anggota G7 dan NATO yang terdiri dari Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Britania Raya, dan Amerika Serikat melakukan emergency meeting.

Para pemimpin dunia akhirnya juga menyepakati Leaders Declarations pada KTT G20. Di sektor perdagangan, presidency G20 telah melahirkan sejumlah inisiatif kerja sama.

Menurut dokumen yang diterima Tim IDX Channel, isi kesepakatan para pemimpin G20 yang menyangkut perdagangan dan ekonomi makro, diantaranya berbunyi, akan tetap gesit dan fleksibel dalam merespons seluruh tantangan global dan kerja sama kebijakan ekonomi makro.

“Kami akan melakukan investasi publik dan reformasi struktural, mempromosikan investasi swasta, dan memperkuat perdagangan multilateral dan ketahanan rantai pasokan global, untuk mendukung pertumbuhan jangka panjang, transisi yang berkelanjutan dan inklusif, hijau dan adil,” kata dokumen tersebut.

Dalam kesepakatan tersebut para pemimpin G20 juga memastikan kesinambungan fiskal jangka panjang dengan bank sentral dan berkomitmen untuk mencapai stabilitas harga,” tulis dalam dokumen tersebut.

Lebih lanjut para pemimpin G20 juga berkomitmen untuk memperkuat kerja sama perdagangan dan investasi internasional untuk mengatasi masalah rantai pasokan dan menghindari gangguan perdagangan.

“Kami percaya bahwa kebijakan perdagangan dan iklim/lingkungan harus saling mendukung dan konsisten dengan WTO serta berkontribusi pada tujuan pembangunan berkelanjutan,” terang para pemimpin G20 dalam dokumen deklarasi.

Saat ini, Indonesia boleh jadi mendapat sorotan utama atas keberhasilannya menyelenggarakan KTT G20. Selain itu, bersamaan dengan terselenggaranya KTT G20, Indonesia melaporkan kinerja ekspor yang cukup menggembirakan pada Oktober 2022.

Sejak tahun 1970-an Indonesia telah mencatat surplus perdagangan yang konsisten karena pertumbuhan ekspor yang kuat.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan barang Indonesia dengan anggota G20 surplus dengan 9 negara dan defisit dengan 10 negara pada bulan Oktober 2022.

Neraca dagang RI secara keseluruhan surplus terutama berasal dari sektor non-migas USD7,66 miliar, penyumbang utamanya adalah bahan bakar mineral (HS 27), lemak dan minyak hewan/nabati, serta besi dan baja.

Sepanjang 2021, Indonesia masih merugi USD2,4 miliar dari perdagangan dengan Negeri Tirai Bambu.
Adapun dengan Arab Saudi, Pemerintah Indonesia sepakat mempererat kerja sama bilateral dengan menandatangani nota kesepahaman di bidang energi di sela KTT G20.

Perang ini diyakini masih akan menghambat perdagangan global di mana rantai pasok (supply chain) komoditas utama terancam terganggu.

Indonesia perlu memperkuat hubungan bilateral yang saling menguntungkan ketimbang melakukan hubungan multilateral yang lebih membutuhkan interaksi dan melibatkan lebih banyak aktor.
Hal inilah yang sempat disampaikan Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira pada Selasa (15/11/2022).

“Indonesia, perlu waspada karena perang mungkin akan terus berlanjut, dengan Putin tidak hadir, itu meniadakan adanya kerja sama multilateral untuk menyelesaikan masalah perang dan krisis secara global,” kata Bhima.

Dengan adanya perang, kata Bhima, harga komoditas dunia masih akan tinggi, yaitu energi dan pangan. Jika kerja sama multilateral tidak bisa menemukan kata sepakat, maka pemerintah diminta untuk memperkuat kerjasama bilateral antar negara.

Hal tersebut juga sebenarnya sudah diperingatkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ia menjelaskan ancaman resesi yang akan terjadi di Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa akan berdampak langsung ke Indonesia.

Berbagai permasalahan seperti kebijakan The Fed yang akan terus menaikan suku bunga, resesi di eropa imbas perang sampai pertumbuhan ekonomi China yang akan terhambat imbas COVID-19 akan mengganggu aktivitas ekspor Indonesia.

"Maka dari itu 2023 itu betul harus waspada. Saya harus optimis setuju, tapi hati hati dan waspada. Pertama menurut saya ekspor ini ekspor indonesia, yang tahun ini tahun lalu melompat tinggi, hati hati tahun depan bisa turun," jelas dia dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2022, di Jakarta Convention Center (JCC), Rabu (30/11/2022).

Kemudian ia menyinggung adanya pengetatan COVID-19 di China berpotensi membuat ekspor produk RI tersendat. Hal tersebut semakin memperparah proyeksi dari kondisi ekonomi RI di 2023.

"Kemudian karena problem di China yang belum selesai hingga ekonomi mereka juga turun karena COVID-19 ya. Uni eropa juga sama, pelemahan ekonomi pasti, resesi nya kapan kita tunggu saja tapi akan ada pelemahan ekonomi itu pasti.AS juga sama, Fed rate terus naik artinya rem pertumbuhan  ekonominya melemah sementara kita ke sana besar banget," tandasnya.

(SLF)

SHARE