ECONOMICS

Kasus Sirop Obat, Komunitas Konsumen Nilai Ada Potensi Kebohongan Publik oleh BPOM

Michelle Natalia 27/10/2022 13:44 WIB

Komunitas Konsumen Indonesia mengirimkan somasi kepada BPOM yang ditembuskan kepada Presiden Jokowi.

Kasus Sirop Obat, Komunitas Konsumen Nilai Ada Potensi Kebohongan Publik oleh BPOM. Foto: MNC Media.

IDXChannel - Komunitas Konsumen Indonesia menduga ada potensi terjadinya kebohongan publik terhadap pengumuman 133 nama sirop obat yang dinyatakan tidak menggunakan Propilen Glikol, Polietilen Glikol, Sorbitol, dan/atau Gliserin/Gliserol. 

Hal itu karena daftar yang diumumkan tersebut didasarkan atas registrasi awal, bukan hasil pengujian laboratorium.

Ketua Komunitas Konsumen Indonesia, Dr David Tobing, menyampaikan bahwa pada hari ini, Kamis (27/10/2022), pihaknya mengirimkan somasi berupa surat keberatan kepada BPOM yang ditembuskan kepada Presiden RI Joko Widodo.

Beberapa hal terkait Somasi kepada BPOM RI, yaitu: 

Pertama,  BPOM RI sebagai lembaga otoritas pengawas obat dan makanan dianggap lalai melakukan pengawasan pada pre-market dan post-market control. 

"Padahal sudah sangat jelas diatur Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 huruf d Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 Tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)," ungkap David.

Dalam pasal itu disebutkan BPOM mempunyai tugas menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan dan menyelenggarakan fungsi pelaksanaan pengawasan sebelum beredar dan selama beredar.

Kedua, sehubungan dengan penanganan kasus gagal ginjal akut, BPOM juga terbukti lalai dalam melakukan pengawasan. BPOM RI dinilai tidak melakukan pengawasan secara maksimal terhadap produk yang telah tergistrasi.

Hal ini ditunjukkan dengan pernyataan BPOM RI dalam press release-nya yang berbunyi, "Sesuai dengan peraturan dan persyaratan registrasi produk obat, BPOM telah menetapkan persyaratan bahwa semua produk obat sirup untuk anak maupun dewasa, tidak diperbolehkan menggunakan EG dan DEG."

"Jadi terbukti pada saat registrasi obat, BPOM tidak melakukan pengujian terhadap kandungan apa saja yang ada pada obat dan percaya begitu saja dengan keterangan yang diberikan produsen obat," papar dia.

Hal itu diperkuat setelah kasus gagal ginjal merebak dan diuji terhadap produk-produk yang diregistrasi, ditemukan zat pelarut tambahan yang mengandung EG dan DEG. Sehingga menurutnya, sangat jelas BPOM telah kecolongan.

David juga menyoroti pernyataan BPOM RI dalam rilisnya yang meminta semua industri farmasi yang memiliki sirop obat berpotensi mengandung cemaran EG dan DEG untuk melaporkan hasil pengujian secara mandiri. BPOM juga mengatakan upaya mengganti formula obat dan/atau bahan baku adalah bentuk maladministrasi. 

"Berarti jelas sekali BPOM tidak melakukan post-market control secara aktif dengan melakukan pengujian obat secara berkala bahkan sejak registrasi pengujian obat diberikan kepada perusahaan farmasi," tutur dia.

Padahal, BPOM RI memiliki kewenangan pengawasan obat dan makanan sehingga tindakan BPOM RI untuk melimpahkan post-market control kepada perusahaan farmasi adalah keliru dan tidak sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), yaitu Asas Kepastian Hukum dan Asas Profesionalitas karena pengujian produk sirop obat sebagai sediaan farmasi merupakan kompetensi atau kewenangan mutlak dari BPOM RI.

Ketiga, tindakan BPOM RI menerbitkan Lampiran I Penjelasan BPOM RI Nomor HM.01.1.2.10.22.172 tertanggal 22 Oktober 2022 Tentang Informasi Kelima Hasil Pengawasan BPOM Terkait Sirop Obat yang Tidak Menggunakan Propilen Glikol, Polietilen Glikol, Sorbitol, dan/atau Gliserin/Gliserol adalah diduga tidak berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan produsen maupun BPOM setelah merebaknya kasus gagal ginjal akut. Namun, hanya didasarkan registrasi obat yang telah dilakukan sebelumnya.

"Tindakan BPOM RI yang mengumumkan 133 obat yang tidak menggunakan Propilen Glikol, Polietilen Glikol, Sorbitol, dan/atau Gliserin/Gliserol berdasarkan registrasi berpotensi terjadinya kebohongan publik karena seharusnya jika dikatakan tidak mengunakan Propilen Glikol, Polietilen Glikol, Sorbitol, dan/atau Gliserin/Gliserol harus didasarkan pengujian secara menyeluruh yang dilakukan BPOM sendiri bukan berdasarkan registrasi awal," jelas David.

David menambahkan, seharusnya dalam rangka pengawasan post-market control, BPOM RI memiliki Balai Pengujian Khusus Obat dan Makanan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 30 Tahun 2019 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksanaan Teknis di Lingkungan Pusat Pengembangan Pengujian Obat dan Makanan Nasional Badan Pengawas Obat dan Makanan. 

Pasal tersebut berbunyi "Balai Pengujian Khusus Obat dan Makanan mempunyai tugas melaksanakan Pengujian Khusus Obat dan Makanan.”

David juga merujuk  pada Pasal 3 huruf g Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 Tentang Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang berbunyi, "Dalam melaksanakan tugas pengawasan Obat dan Makanan, BPOM menyelenggarakan fungsi: pelaksanaan penindakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengawasan Obat dan Makanan."

Dan untuk melaksanakan penindakan tersebut, BPOM RI harus melaksanakan sendiri pengujian dan tidak menyerahkan kewenangan kepada perusahaan farmasi.

David menyatakan  BPOM RI harus melakukan pengujian seluruh produk yang telah dikeluarkan izin edar secara mandiri. Termasuk mengumumkan kembali hasil-hasil uji produk sirop obat yang dilakukan oleh BPOM.

"Jadi bukan hasil pengujian oleh produsen Obat, dan kami menuntut BPOM RI meminta maaf kepada konsumen di Indonesia," pungkasnya. (NIA)

SHARE