ECONOMICS

Kebijakan Fiskal Hulu Migas Perlu Disempurnakan untuk Mencapai Target Produksi Migas Nasional

Yanto Kusdiantono 04/12/2025 16:13 WIB

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, perlu penyempurnaan kebijakan fiskal hulu migas untuk mencapai produksi migas nasional.

Kebijakan Fiskal Hulu Migas Perlu Disempurnakan untuk Mencapai Target Produksi Migas Nasional. (Foto: istimewa)

IDXChannel - Produksi minyak dan gas (migas) nasional saat ini bergantung pada lapangan existing yang sebagian besar berada pada kondisi mature. Hal ini menjadi salah satu penyebab turunnya produksi migas nasional selama periode 2014–2024. 

Berdasarkan data yang dihimpun lembaga riset ReforMiner, secara rata-rata produksi minyak selama periode tersebut turun 3,42 persen per tahun, sementara produksi gas turun sekitar 1,72 per tahun per tahun. Potensi penurunan itu diperkirakan terus berlanjut apabila tidak ada kebijakan yang mendorong produksi industry hulu migas

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, perlu penyempurnaan kebijakan fiskal hulu migas yang akan menjadi kunci utama untuk dapat mencapai target produksi migas nasional. 

“Perbaikan kebijakan fiskal akan menjadi faktor penentu utama dalam meningkatkan investasi hulu migas nasional. Perlu ada penyempurnaan regulasi, khususnya pada aspek fiskal, agar kembali selaras dengan konsep Production Sharing Contract (PSC) dan dilakukan secara menyeluruh, baik pada level praktis maupun pada aspek-aspek fundamental,” kata Komaidi dalam diskusi daring di Jakarta, Rabu (3/12/2025) malam.

Komaidi menambahkan, mengutip laporan IHS Markit (S&P Global) pada Juni 2025, tercatat bahwa overall attractiveness iklim investasi hulu migas Indonesia menempati peringkat ke-9 dari 14 negara di Asia Pasifik.  Dari empat indikator penilaian, yaitu legal and contractual, fiscal systems, oil and gas risk, serta activity & success, Indonesia tercatat memperoleh rating rendah pada aspek fiscal systems (5,11) dan legal & contractual (5,34).

Sementara itu, dua indikator lainnya yaitu oil and gas risk dan activity & success mendapatkan rating masing-masing sebesar 5,53 dan 6,03.

Menurut Komaidi, munculnya permasalahan pada aspek fiskal di sektor hulu migas nasional akibat hilangnya elemen fundamental dari regulatory framework pada sektor hulu migas yaitu penerapan prinsip assume and discharge.  Pasalnya, sebagai landasan hukum utama dalam kegiatan hulu migas, Undang – Undang Migas No.22/2001 tidak lagi menerapkan asas lex specialis (assume and discharge).

“Melalui Pasal 31, UU Migas No.22/2001 menyebutkan bahwa perlakuan perpajakan di sektor hulu migas disesuaikan dengan ketentuan Undang–Undang Perpajakan yang berlaku,” kata dia.


Sementara itu, ujar Komaidi, pada tataran praktikal, perbaikan dapat dilakukan melalui penyempurnaan kebijakan fiskal pada skema PSC Cost Recovery, yang mencakup pengembalian prinsip assume & discharge untuk menjamin kepastian atas pajak tidak langsung; revisi PP 79/2010 jo. PP 27/2017 dengan menyederhanakan proses pengajuan insentif perpajakan tanpa persyaratan keekonomian yang berlapis; serta penegasan ketentuan fiskal terkait PBB, PPN, dan PPNBM melalui regulasi yang lebih konsisten dan otomatis. Penyusunan pedoman insentif berbasis parameter objektif (marginal field, frontier, mature field) juga diperlukan.

Penyempurnaan kebijakan fiskal pada skema PSC Gross Split juga diperlukan di antaranya melalui revisi PP 53/2017 dengan memperluas pembebasan pajak tidak langsung hingga tahap eksploitasi; pemberlakuan mekanisme pembebasan otomatis, khususnya untuk PPN/PPNBM; penyediaan fasilitas perpajakan tanpa persyaratan surat keterangan fasilitas perpajakan (SKFP); serta pengurangan PBB 100 persen untuk seluruh tahapan operasi secara otomatis.

Menurutnya, perlu dilakukan penyempurnaan mekanisme transisi fiskal terkait perubahan skema kontrak dan pengelolaan Tax Loss Carry Forward (TLCF), dengan memastikan kompensasi kerugian tetap berlaku dalam skema baru; pemberlakuan surut; penyediaan formula transisi untuk mencegah lonjakan beban pajak dan menghindari peningkatan Direct Tax Loss (DTL); serta penegasan bahwa biaya komitmen pasti (K3P) dapat diakui kembali sebagai biaya operasi dalam skema Cost Recovery.

Komaidi menjelaskan, dalam tataran fundamental, penyelesaian segera atas proses revisi Undang-Undang Migas yang ada menjadi kebutuhan mendesak. Dua prinsip utama yaitu assume and discharge dan lex specialis, perlu ditegaskan kembali sebagai landasan fiskal dalam pengusahaan PSC.

Prinsip assume and discharge (A/D) menetapkan bahwa kontraktor hanya menanggung pajak langsung, sementara pajak tidak langsung dibebaskan dan ditanggung oleh pemerintah. Dengan demikian, porsi bagi hasil antara negara dan kontraktor merupakan penerimaan bersih karena seluruh komponen pajak telah diperhitungkan melalui mekanisme ini.  Sedangkan penerapan azas lex specialis diperlukan untuk menegaskan bahwa ketentuan perpajakan hulu migas mengikuti ketentuan UU Migas secara khusus.

Penerapan kedua asas ini di dalam sistem perpajakan hulu migas diharapkan memberikan kepastian hukum lebih baik di dalam aspek fiskal pelaksanaan Kontrak Kerja Sama (PSC).

Komaidi mencontohkan, Brasil dan Malaysia merupakan negara yang berhasil melakukan reformasi fiskal untuk menjaga stabilitas dan meningkatkan produksi migas, khususnya pada lapangan-lapangan yang telah memasuki fase mature.

Brasil, misalnya, menerapkan sejumlah insentif seperti penurunan royalti hingga 5 persen untuk lapangan mature, percepatan depresiasi, tax deductibility untuk proyek EOR, serta mekanisme rebid untuk lapangan mature. 

“Kebijakan tersebut mendorong Brasil menjadi salah satu dari lima produsen migas terbesar dunia pada 2023, dengan pertumbuhan produksi minyak rata-rata 3,8% per tahun selama 2013–2023,” terang dia.

Malaysia juga termasuk negara yang berhasil menjaga tingkat produksi minyaknya di atas 500 ribu barel per hari sejak 2000 lalu.

Untuk lapangan mature, Pemerintah Malaysia menyediakan beberapa jenis kontrak khusus seperti skema Risk Service Contracts (RSC) yang menawarkan insentif berupa pembebasan dan pengurangan tarif pajak.

Sedangkan untuk lapangan mature dengan sumber daya kurang dari 30 juta barel, Malaysia menerapkan PSC Late Life Assets (LLA), yang memungkinkan biddable item untuk porsi kontraktor serta memberikan kepastian pengembalian investasi melalui persentase hasil produksi yang tetap. Pada lapangan berukuran kecil—kurang dari 15 juta barel minyak atau 200 BSCF gas—diterapkan PSC Small Field Assets (SFA), yang juga menggunakan mekanisme bidding untuk menentukan bagian negara dan kontraktor.

Belajar dari sejumlah negara, termasuk Brasil dan Malaysia, Komaidi menyatakan, penyempurnaan kebijakan fiskal terutama melalui pemberian insentif fiskal menjadi kunci dalam meningkatkan atau bahkan sekadar untuk dapat mempertahankan tingkat produksi migas pada lapangan migas mature field.

Untuk dapat mempertahankan produksi migas pada mature field yang telah mengalami penurunan keekonomian seringkali pilihannya hanya dengan memberikan insentif fiskal agar keekonomian lapangan migas yang diusahakan dapat memenuhi batas minimal toleransi bisnis terpenuhi atau tidak ada produksi lagi.

(Yanto Kusdiantono)

SHARE