ECONOMICS

Kebijakan Power Wheeling RUU EBT Picu Liberalisasi, Pengamat: Langgar UUD 1945

Rizky Fauzan 25/10/2022 11:31 WIB

Power wheeling atau penggunaan jaringan listrik bersama dinilai akan membebani rakyat dan APBN. Kebijakan tersebut tertuang dalam RUU EBT.

Kebijakan Power Wheeling RUU EBT Picu Liberalisasi, Pengamat: Langgar UUD 1945. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Power wheeling atau penggunaan jaringan listrik bersama dinilai akan membebani rakyat dan APBN. Kebijakan tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBT).

"Penerapan konsep MBMS diatur dalam pasal 47A, butir 3b RUU EBT tentang power wheeling, yang merupakan mekanisme pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik milik PLN melalui open source," kata Pengamat Ekonomi Energi UGM, Fahmy Radhi, melalui keterangan tertulis, Selasa (25/10/2022).Ia mengatakan kritik tersebut usai mendengarkan pernyataan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Suparno, RUU EBET akan dimasukkan konsep multi buyers-multi sellers (MBMS).

Selama ini, kata Fahmy, perusahaan swasta melalui Independent Power Producers (IPP) diperbolehkan membangun pembangkit listrik, tetapi menjual seluruh listrik yang dihasilkan kepada PLN sesuai dengan konsep multi buyer-single seller (MBSS).

Fahmy menjelaskan konsep MBMS sesungguhnya merupakan pola unbundling yang diatur dalam UU Nomor 20 tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Pola tersebut sudah dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) karena bertentangan dengan UUD Pasal 33. Lalu, UU itu diganti dengan UU No 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, dengan menghilangkan unbundling.

Sehingga, Fahmy menilai skema power wheeling dan open source merupakan bentuk liberalisasi kelistrikan, lantaran pembangkit EBT swasta boleh menjual langsung kepada konsumen dengan menggunakan jaringan transmisi dan distribusi milik PLN.

"Liberalisasi pada konsep MBMS yang diterapkan melalui power wheeling sesungguhnya bertentangan dengan UU No 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan dan keputusan MK tentang unbundling. Bahkan berpotensi melanggar pasal 33 ayat (2) UUD 1945," ungkap Fahmy.

Fahmy menambahkan penetapan tarif liberal berdasarkan mekanisme pasar, yang bergantung demand and supply. Pada saat demand tinggi dan supply tetap, ia mengatakan tarif listrik otomatis akan dinaikkan.

Selain itu, kata Fahmy, skema power wheeling juga berpotensi menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30 persen, dan permintaan pelanggan non-organic dari konsumen tegangan tinggi hingga 50 persen.

"Penurunan jumlah pelanggan PLN, selain dapat memperbesar kelebihan pasokan PLN, juga dapat membengkakan beban APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN," jelas Fahmy.

Dengan begitu, Fahmy menganggap power wheeling yang merupakan bentuk liberalisasi kelistrikan, melanggar UU dan UUD 1945, serta berpotensi memberatkan beban rakyat dan APBN. Ia meminta Kementerian ESDM menarik kembali usulan memasukkan skema tersebut dalam RUU EBET.


(SLF)

SHARE