Kemenhub Sebut Rencana Penetapan Tarif KRL Berbasis NIK Batal Diterapkan
Kebijakan tersebut masih memerlukan diskusi lanjutan yang lebih mendalam agar tidak menambah beban biaya masyarakat pengguna transportasi publik.
IDXChannel - Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Risal Wasal menegaskan wacana pengenaan tarif KRL berbasis NIK batal dilakukan tahun ini maupun 2025.
Risal menjelaskan, kebijakan tersebut masih memerlukan diskusi lanjutan yang lebih mendalam agar tidak menambah beban biaya masyarakat pengguna transportasi publik.
"Kita masih belum ke arah sana, masih dalam kajian untuk NIK dan lain-lain (tahun depan 2025) juga belum (diterapkan)," kata Risal saat ditemui usai konferensi pers Capaian Kinerja Sektor Transportasi selama 10 Tahun, di Jakarta, Selasa (1/10/2024).
Sebelumnya, rencana penetapan tarif KRL berbasis NIK muncul sebagai bagian dari upaya pemerintah mengurangi beban subsidi bagi masyarakat mampu, serta mengalihkan bantuan tersebut kepada kelompok masyarakat yang benar-benar membutuhkan.
Melalui kebijakan ini, tarif KRL akan diatur berdasarkan status ekonomi pengguna yang terdata dalam NIK, di mana masyarakat dengan status ekonomi rendah tetap akan mendapatkan subsidi penuh atau tarif murah, sementara pengguna dengan penghasilan lebih tinggi akan dikenakan tarif normal.
Sistem ini diharapkan mampu menciptakan subsidi yang lebih adil dan efektif dalam mendukung masyarakat berpenghasilan rendah.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang, menilai pengenaan tarif KRL berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) bisa menimbulkan dampak sosial bagi para penumpang.
"Makanya kalau diaplikasikan akan timbul semacam segregasi sosial, yang merasa disubsidi, ada kelas sendiri, dan tidak disubsidi ada kelas sendiri," ujarnya saat dihubungi, Sabtu (31/8/2024).
Padahal, dikatakan Deddy, esensi dari transportasi umum sendiri adalah bebas digunakan oleh siapapun lapisan masyarakat. Sehingga perbedaan kelas antara yang mendapat subsidi dengan yang tidak sangat tidak relevan diaplikasikan di transportasi umum.
"Mungkin juga bisa berdampak secara bermacam-macam, sekarang dengan tarif yang sama pun, ada gejolak misal rebutan tempat duduk, nanti apalagi kalau ada yang merasa bayar mahal, dia tentu akan merasa lebih berhak karena bayar mahal, kamu kan tidak bayar," kata Deddy.
(NIA DEVIYANA)