Ketika AS dan Eropa Bimbang Hadapi Rusia, Resesi Atau Ngotot Beri Sanksi
Agresi militer yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina membuat negara-negara barat berang.
IDXChannel - Agresi militer yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina membuat negara-negara barat berang. Sejumlah hukuman atau sanksi telah dijatuhkan agar Presiden Vladimir Putin menarik kembali keputusannya untuk menginvansi tetangganya sendiri.
Ternyata, langkah tersebut tidak serta merta membuat Putin menyerah, meski hampir seluruh sektor keuangan dan perdagangannya diblokade oleh Amerika Serikat (AS) dan sekutunya di Eropa.
Tak ingin menyerah, AS sebagai pemimpin negara-negara sekutu mencari sejumlah cara guna menekan Rusia. Mereka lantas melirik kemungkinan untuk melarang ekspor minyak dan gas (migas) dari negeri Beruang Merah ke Eropa.
Rusia sebelumnya sudah menghasilkan pemasukan besar dari sektor energi, bahkan tetap tinggi seperti sebelum invasi berlangsung pada akhir Februari lalu. Justru sebaliknya, inflasi justru mengancam sejumlah negara di dunia, khususnya AS dan Eropa.
Alhasil, tekanan politik pada para pemimpin seperti Presiden AS Joe Biden, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dan Presiden Prancis Emmanuel Macron kian memuncak.
Guna mengatasi hal tersebut, para pemimpin dari negara-negara ekonomi saat ini tengah berkumpul di Jerman untuk menghadiri KTT G7. Mereka akan mencoba sejumlah cara untuk mencari langkah-langkah yang tepat dalam menghadapi Putin, saat ini pilihan jatuh terhadap minyak mentah.
Sebelumnya, mereka sudah melakukan beberapa langkah mulai dari pembatasan harga impor energi Rusia, pembelian terpusat oleh Uni Eropa, larangan asuransi kapal, dan penargetan negara-negara yang terus membeli komoditas dari Moskow.
"Ada alat yang tersedia untuk bekerja lebih keras setelah Rusia, tetapi mereka datang dengan biaya yang signifikan langsung ke konsumen di AS dan Eropa," kata peneliti senior di Columbia Center for Global Energy Policy, Robert Johnston, seperti dikutip dari CNN International, Senin (27/6/2022).
Pemberlakuan sanksi terhadap negara-negara yang terus meraup volume besar minyak mentah Rusia, termasuk China dan India, akan mendatangkan malapetaka di pasar global yang sudah berada di bawah tekanan berat.
Sementara Menteri Keuangan Janet Yellen baru-baru ini mengatakan Amerika Serikat ingin membahas pembatasan harga minyak Rusia, mekanisme kompleks seperti itu mungkin bukan perbaikan yang dicari Barat.
"Ini mendistorsi pasar pada saat pasar pasti perlu berfungsi dengan baik, dan ada terlalu banyak solusi," kata Johnston.
Usulan untuk menjatuhkan sanksi sudah diumumkan oleh AS, Inggris dan Kanada yang akan melarang impor minyak mentah dari Rusia. Tapi alih-alih melarang, justru yang terjadi Eropa akan membelinya dengan pengiriman melalui laut, mengingat ketergantungan mereka terhadap produk energi dari Beruang Merah.
Namun demikian, Blok ini menegaskan larangan tersebut akan berlaku terhadap 90 persen impor minyak Rusia pada akhir tahun. Di saat bersamaan pelanggannya juga telah mengalami penurunan, sehingga ekspor migas turun menjadi 3,3 juta barel per hari pada Mei, atau turun 170.000 barel per hari dibandingkan bulan sebelumnya, terang Badan Energi Internasional.
Namun, Rusia tak habis akal. Mereka lantas beralih ke pasar Asia, khususnya China untuk menutupi kerugian akibat kehilangan pembeli dari benua biru. Bahkan China mengambil keuntungan dari diskon harga yang besar dengan impor mencapai 2 juta barel per hari untuk pertama kalinya.
Impor di India juga melonjak, mendekati 900.000 barel per hari pada Mei lalu.
"Kami secara aktif terlibat dalam reorientasi arus perdagangan kami dan kontak ekonomi asing menuju mitra internasional yang dapat diandalkan, terutama negara-negara BRICS," kata Putin Rabu, mengacu pada blok ekonomi berkembang yang juga mencakup Brasil, India, Cina dan Afrika Selatan. (TYO)