Konflik Israel-Palestina: Nasib Perdagangan Dunia, Inflasi, dan Harga Minyak
Konflik Israel dan Palestina yang masih berkecamuk di Timur Tengah diprediksi akan berdampak bagi perekonomian global.
IDXChannel - Konflik Israel dan Palestina yang masih berkecamuk di Timur Tengah diprediksi akan berdampak bagi perekonomian global. Bank Dunia memperingatkan saat ini perekonomian global berada pada ‘titik berbahaya’ karena eskalasi konflik Timur Tengah yang semakin meluas.
Kini, ketika serangan militer Israel meningkat dan perang di Gaza semakin memanas, kondisi ini dapat memukul perekonomian global dan menguji ketahanannya.
Eskalasi konflik Israel-Palestina ini membuat investor di seluruh dunia juga semakin khawatir akan dampak perang ini. Mengingat gambaran pertumbuhan ekonomi global yang sudah suram.
Serangan Hamas pada 7 Oktober lalu di Israel selatan adalah babak terbaru dari siklus kekerasan yang telah berlangsung di wilayah ini selama beberapa dekade dan, sayangnya, tampaknya belum akan berakhir.
Meskipun alasan di balik peristiwa-peristiwa ini rumit, potensi dampak ekonomi jangka pendek dan jangka panjang dari konflik ini lebih nyata untuk dilihat.
Tahun lalu, dunia sudah dibuat pusing dengan dampak ekonomi dari perang Rusia-Ukraina.
Saling ketergantungan rumit yang membentuk lanskap ekonomi dan geopolitik global membuat pecahnya perang Israel-Palestina kian membuat dunia semakin sulit.
Waspada Lonjakan Harga Minyak dan Komoditas Lainnya
Volatilitas harga minyak adalah indikator pertama yang harus dilihat sebagai tolok ukur arah perekonomian dunia.
Risiko geopolitik di Timur Tengah saat ini terus memberikan tekanan pada harga minyak.
Meski dalam perkiraan Bank Dunia, sejauh ini dampak konflik tersebut terhadap pasar komoditas global masih terbatas.
Berdasarkan perkiraan dasar Bank Dunia, harga minyak diperkirakan akan naik rata-rata USD90 per barel pada kuartal ini sebelum turun ke rata-rata USD81 per barel pada tahun depan seiring dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi global.
Saat ini, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) sudah naik di atas USD81 per barel dan Brent naik USD85,58 per barel pada Kamis (2/11/2023).
Harga minyak secara keseluruhan telah meningkat sekitar 6 persen sejak dimulainya konflik. (Lihat grafik di bawah ini.)
Namun, selain risiko geopolitik, ada ancaman lain berupa kenaikan suku bunga. Dalam pertemuan terbaru, The Federal Reserve (The Fed) Amerika Serikat (AS) menetapkan kebijakan jeda suku bunga kedua berturut-turut.
Meski demikian, ketua The Fed Jerome Powell masih tetap membuka peluang untuk melakukan pengetatan moneter lebih lanjut di tengah tingginya inflasi dan momentum ekonomi yang kuat.
Secara keseluruhan, menurut Bank Dunia, harga komoditas pertanian, sebagian besar logam, dan komoditas lainnya hampir tidak mengalami perubahan.
Harga komoditas secara keseluruhan diperkirakan turun 4,1 persen tahun depan.
Secara khusus, harga komoditas pertanian diperkirakan akan menurun pada tahun depan seiring dengan meningkatnya pasokan.
Harga logam dasar juga diperkirakan turun 5 persen pada 2024. Secara keseluruhan, harga komoditas diperkirakan akan stabil pada 2025.
Sebagai perbandingan, harga beberapa komoditas di atas sempat meroket dampak dari adanya perang Rusia-Ukraina tahun lalu.
Meski demikian, prospek harga komoditas akan cepat suram jika konflik Israel-Palestina akan semakin meningkat.
Laporan Bank Dunia menguraikan apa yang mungkin terjadi dalam tiga skenario risiko berdasarkan pengalaman historis sejak tahun 1970-an.
Dalam hal ini, dampaknya akan bergantung pada tingkat gangguan terhadap pasokan minyak.
Berdasarkan catatan sejarah, konflik di Timur Tengah cenderung menyebabkan lonjakan harga minyak tercermin dari krisis embargo minyak OPEC pada 1973-1974, revolusi Iran pada tahun 1978-1979, Perang Iran-Irak yang dimulai pada tahun 1980, dan Perang Teluk Persia pertama pada tahun 1990-1991. (Lihat grafik di bawah ini.)
Ini karena kawasan ini menyumbang hampir sepertiga pasokan minyak global.
Sehingga ketidakstabilan apa pun dapat menciptakan ketidakpastian pasar karena kekhawatiran akan terganggunya pasokan minyak global.
Untuk itu, Bank Dunia melihat tiga kemungkinan dalam prospek harga minyak ke depan dalam tiga skenario utama.
Pertama, dalam skenario “small disruption”, Bank Dunia memprediksi pasokan minyak global akan berkurang sebesar 500.000 hingga 2 juta barel per hari.
Angka ini kira-kira setara dengan pengurangan yang terjadi selama perang saudara di Libya pada 2011.
Dalam skenario ini, harga minyak pada awalnya akan meningkat antara 3 persen dan 13 persen relatif terhadap rata-rata kuartal saat ini, hingga kisaran USD93 hingga USD102 per barel.
Kedua, dalam skenario “medium disruption” yang kira-kira setara dengan perang Irak pada 2003, pasokan minyak global akan berkurang sebesar 3 juta hingga 5 juta barel per hari.
Kondisi ini akan mendorong harga minyak naik sebesar 21 persen hingga 35 persen pada awalnya, menjadi antara USD109 dan USD121 per barel.
Ketiga, dalam skenario “large disruption” yang sebanding dengan embargo minyak Arab pada 1973, pasokan minyak global diprediksi akan menyusut sebesar 6 juta hingga 8 juta barel per hari.
Hal ini akan mendorong harga naik sebesar 56 persen hingga 75 persen pada awalnya, menjadi antara USD140 dan USD157 per barel.
Perdagangan Global Dipertaruhkan
Ketegangan geopolitik global seringkali memainkan peran penting dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap pertumbuhan ekonomi.
Mengutip The Conversation, penelitian menunjukkan kekhawatiran terhadap isu-isu tersebut dapat menyebabkan masyarakat dan dunia usaha menjadi lebih berhati-hati dalam mengeluarkan uang dan berinvestasi, yang pada akhirnya dapat menyebabkan resesi ekonomi.
Konflik internal dan antar negara sering kali berdampak signifikan pada indeks pasar saham, nilai tukar, dan harga komoditas bahkan terkadang membuat harga menjadi lebih tinggi.
Namun, dampak ekonomi jangka panjang biasanya lebih rumit untuk dinilai. Dampak jangka panjang dari peristiwa yang tampaknya dramatis terhadap perilaku investor sulit diprediksi.
Oleh karena itu, dampak konflik Israel-Hamas terbaru terhadap pasar keuangan global akan bergantung pada keterlibatan negara-negara besar di kawasan lainnya.
Jika konflik antara Israel dan Hamas terus berlanjut, dampaknya mungkin akan terbatas dan hanya terjadi pada negara-negara yang memiliki hubungan perdagangan langsung dengan Israel atau Palestina.
Namun, jika konflik menyebar ke negara-negara penghasil minyak utama di kawasan seperti Iran, perekonomian global akan menghadapi dampak yang parah karena biaya energi bagi dunia usaha dan rumah tangga dapat melonjak jika pasokan terganggu.
Lembaga Hill Dickinson dalam laporannya Israel-Palestine conflict: The effect on the global shipping industry (1/11/2023) memperingatkan, industri pelayaran global juga bisa kembali mendapat pukulan dengan meningkatnya konflik Israel-Hamas secara tiba-tiba selama beberapa minggu terakhir.
Sebagai informasi, industri pelayaran dan pengiriman kargo sempat terpukul karena perang Rusia-Ukraina. Kondisi ini sempat berdampak pada mandegnya pengiriman barang-barang secara global.
Baru-baru ini, ketua Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Ngozi Okonjo-Iweala, memperingatkan bahwa kondisi saat ini akan mempunyai dampak yang sangat signifikan terhadap arus perdagangan global yang sudah lemah jika konflik terus meluas ke seluruh kawasan.
Meningkatnya kekerasan di Timur Tengah juga akan menambah faktor-faktor yang telah menghambat pertumbuhan perdagangan selama ini. Di antaranya termasuk era tingginya suku bunga, guncangan pasar properti China dan ekonominya yang masih belum bangkit, serta dampak perang Rusia di Ukraina yang masih terasa.
WTO juga telah menurunkan separuh perkiraan pertumbuhan perdagangan barang global tahun ini, menjadi 0,8 persen dari sebelumnya 1,7 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)
“Perlambatan perdagangan tampaknya terjadi secara luas, melibatkan sejumlah besar negara dan beragam barang, khususnya kategori manufaktur tertentu seperti besi dan baja, peralatan kantor dan telekomunikasi, tekstil, dan pakaian,” kata WTO dalam Outlook Perdagangan Global Oktober 2023.
Inflasi Bisa Memburuk
Inflasi secara umum didefinisikan sebagai kenaikan terus-menerus pada harga rata-rata barang dan jasa di suatu wilayah.
Menyusul inflasi global yang sangat tinggi yang dialami pada 1980 an dan 1990 an, inflasi global relatif stabil sejak pergantian milenium dan biasanya berkisar antara tiga dan lima persen per tahun.
Namun, Inflasi global kembali mengalami peningkatan tajam pada 2008 akibat krisis keuangan global.
Meski demikian, inflasi kembali stabil sepanjang tahun 2010-an, sebelum krisis inflasi yang dimulai pada 2021.
Memasuki 2020, meskipun terdapat dampak ekonomi dari pandemi virus corona, tingkat inflasi global turun menjadi 3,25 persen pada tahun pertama pandemi. Angka inflasi global kembali meningkat menjadi 4,7 persen pada 2021.
Peningkatan ini terjadi karena dampak dari tertundanya rantai pasokan mulai berdampak lebih besar pada konsumen dan meroketnya harga-harga.
Kemudian, perang Rusia-Ukraina pada 2022 memperburuk kondisi ekonomi global lebih lanjut.
Serangkaian masalah yang semakin rumit seperti kenaikan harga energi dan pangan, ketidakstabilan fiskal setelah pandemi, dan ketidakamanan konsumen telah menciptakan resesi global baru dengan inflasi tahun lalu mencapai 8,71 persen, tertinggi sejak 2000. (Lihat grafik di bawah ini.)
Sementara inflasi global pada 2023 diperkirakan mencapai 6,9 persen. Namun, dengan adanya konflik Israel-Palestina bisa saja angka inflasi ini meroket lebih tinggi.
Pierre-Olivier Gourinchas, kepala ekonom IMF, mengatakan sebenarnya terlalu dini untuk menilai dampak konflik yang telah berlangsung di Timur Tengah terhadap pertumbuhan ekonomi global.
Namun, dia mengatakan IMF memantau situasi dengan cermat dan mencatat kenaikan harga minyak ketika konflik dimulai.
Sementara itu, Presiden Bank Dunia Ajay Banga mengatakan bahwa konflik Israel-Hamas adalah tragedi kemanusiaan dan guncangan ekonomi global yang tidak perlu. Menurut Banga, kondisi ini akan mempersulit bank sentral untuk mencapai soft landing – sebuah perlambatan yang menghindari resesi – di banyak negara jika konflik tersebut menyebar.
“Bank-bank sentral mulai merasa sedikit lebih yakin bahwa ada peluang untuk melakukan soft landing, dan hal ini justru mempersulitnya,” kata Banga di sela-sela pertemuan Bank Dunia di Marrakesh.
Mengutip Statista, jika tak terjadi guncangan berarti, inflasi global diperkirakan akan moderat pada tahun 2023-2024. Tingkat inflasi global diperkirakan akan turun menjadi 4,4 persen pada 2024.
Namun, di tengah konflik yang terjadi saat ini antara Israel dan Palestina, dan kemungkinan merembetnya konflik menyeret negara lain, bukan berarti segala prediksi di atas akan kembali berubah. (ADF)