ECONOMICS

Konflik Rempang Eco City Diyakini Bakal Happy Ending, Begini Janji Jokowi

Taufan Sukma/IDX Channel 26/09/2023 17:54 WIB

konflik yang muncul dalam proyek Rempang Eco City dapat menjadi preseden buruk bagi Indonesia di mata investor luar negeri.

Konflik Rempang Eco City Diyakini Bakal Happy Ending, Begini Janji Jokowi (foto: MNC Media)

IDXChannel - Konflik yang muncul seiring rencana pemerintah membangun kawasan Rempang Eco City, di Pulau Rempang, diyakini bakal segera berakhir dengan baik (happy ending).

Hal ini seiring dengan perintah langsung yang disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, agar penyelesaian konflik Rempang dilakukan dengan mengedepankan kepentingan masyarakat sekitar.

Perintah tersebut disampaikan Jokowi kepada seluruh jajarannya, dalam rapat terbatas, di Istana Merdeka, Jakarta, Senin(25/9/2023).

Menurut Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio, perintah langsung tersebut memang pantas disampaikan Jokowi, karena permasalahan Rempang dapat berimbas pada iklim investasi secara keseluruhan di Indonesia.

"Yang pertama tentu kerugiannya, yaitu nilai kerugian dari investasi yang batal ditanamkan, jika memang proyek (Rempang Eco City) tidak jadi (dikerjakan). Artinya, perencanaan produksi dan segala macamnya juga hilang. Opportunity costnya besar," ujar Agus, Selasa (26/9/2023).

Tak hanya itu, menurut Agus, konflik yang muncul dalam proyek Rempang Eco City dapat menjadi preseden buruk bagi Indonesia di mata investor luar negeri.

Karenanya, sebelum membuka dan menawarkan peluang investasi, pemerintah harusnya sudah memastikan segala sesuatunya siap dijalankan.

Termasuk, misalnya, terkait studi dan kajian antropologi, identifikasi kemungkinan konflik hingga rencana antisipasi yang telah disiapkan untuk mengatasi hal tersebut.

"Ada nggak studi soal antropologinya, kemudian identifikasi kemungkinan konflik, bisa juga diperkirakan antisipasinya, sehingga nanti juga mitigasinya lebih terukur, agar proses investasi dapat berjalan lancar dan aman di Rempang," tutur Agus.

Yang jadi masalah, Agus melihat, sejauh ini tidak terlihat adanya studi antropologi di setiap program pembangunan infrastruktur atau investasi yang dicanangkan oleh pemerintah.

Padahal, output dari studi itu disebut Agus sangat penting untuk kelanjutan program yang sedang dikerjakan.

"Saya tidak pernah lihat. Padahal itu (penting) untuk mengetahui kalau mereka, misalnya, harus dipindahkan, maka apa sih dampaknya? Lalu bagaimana cara bicara dengan mereka (masyarakat setempat), gitu," ungkap Agus.

Hal tersebut perlu dilakukan lantaran tidak semua masyarakat di kawasan Rempang memiliki surat atau sertifikat yang diterbitkan oleh pemerintah melalui Kementerian Agraria.

Di lain pihak, Agus mengakui bahwa upaya untuk mengungkap hal tersebut pasti tidaklah mudah untuk dapat dilakukan.

Hal tersebut lantaran Agus meyakini pasti ada pihak-pihak lain di belakang masyarakat setempat, 
yang mengeklaim kepemilikan tanah di kawasan Rempang.

"Mereka ini pasti punya 'orang kuat' di politik, pemerintah dan aparat penegak hukum. Pasti ada yang membekingi. Jadi sekarang terserah Presiden, mau bagaimana. Panggil saja semuanya untuk rapat kabinet terbatas, tetapkan, lalu buat Keppresnya," tegas Agus.

Di lain pihak, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, dalam keterangannya di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta selepas rapat kabinet terbatas menyebut bahwa Presiden dalam arahan rapat pertama adalah untuk penyelesaian masalah Rempang harus dilakukan secara baik, secara betul-betul kekeluargaan.
 
"Dan tetap mengedepankan hak-hak dan kepentingan masyarakat di sekitar di mana lokasi itu diadakan," ujar Bahlil.

Diakui Bahlil, pihaknya juga telah berkunjung langsung ke Pulau Rempang beberapa hari lalu untuk bertemu dengan masyarakat di sana.

Berdasarkan hasil kunjungannya tersebut, lanjut Bahlil, pihaknya menemukan solusi yakni dengan melakukan pergeseran rumah warga ke area yang masih berada di Pulau Rempang, bukan relokasi atau penggusuran.
 
"Tadinya kita mau relokasi dari Rempang ke Galang. Tapi sekarang hanya dari Rempang ke kampung yang masih ada di Rempang," tutur Bahlil.

Menurut Bahlil, warga terdampak akan dipindahkan ke Tanjung Banun, dan sudah ada 300 kepala keluarga (KK) dari total 900 KK yang bersedia dipindahkan.

Di samping itu, masyarakat juga akan diberikan penghargaan berupa tanah seluas 500 meter persegi berikut dengan sertifikat hak miliknya, serta dibangunkan rumah dengan tipe 45.
 
"Bila ada rumah yang lebih dari tipe 45 dengan harga Rp120 juta, bila ada yang lebih, nanti dinilai oleh KJPP (Kantor Jasa Penilai Publik) nilainya berapa. Itu yang akan diberikan," ungkap Bahlil.
 
Dalam rapat tersebut, Bahlil juga melaporkan bahwa dari 17 ribu hektare area Pulau Rempang, hanya sekitar delapan ribu hektare lahan saja yang akan dikelola terlebih dahulu.

"Karena itu, kami laporkan bahwa dari 17 ribu hektare areal Pulau Rempang, yang akan dikelola terlebih dahulu hanya tujuh ribu (hektare) lebih hingga delapan ribu (hektare). Selebihnya masih hutan lindung. Dan kami fokus pada 2.300 hektare tahap awal untuk pembangunan industri yang sudah kami canangkan tersebut untuk membangun ekosistem pabrik kaca dan solar panel," tegas Bahlil. (TSA)

SHARE