KPP Beberkan Kasus Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang Masuki Skema Baru
KPP memaparkan kasus Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang lama versus skema baru.
IDXChannel - Pegiat Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP), Khudori memaparkan kasus Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang lama versus skema baru. Mulai dari pemerintah yang enggan membiayai kompensasi penyaluran CBP hingga penyaluran belum pasti.
Khudori menjelaskan, pada skema CBP yang lama tepatnya sebelum 2019, pemerintah membayar Rp 3 triliun dengan sistem prabayar untuk membeli beras Bulog sebagai CBP. Besaran biaya tersebut setara dengan membeli 250 ribu - 300 ribu ton beras.
"Pada waktu itu, stok beras bisa di jaga 1,5 juta ton karena ada penyaluran rutin setiap bulan terhadap Raskin (beras keluarga miskin)," ujar Khudori dalam webinar di FDB PATAKA, Selasa (30/8/2022).
Lebih lanjut dia menerangkan, setelah pemerintah menghapus penyaluran Raskin dan beras keluarga sejahtera (Rastra), kemudian diubah menjadi bantuan sosial non-tunai yang secara resmi berlaku sejak 2020.
Karena tidak ada lagi outlet Raskin, pemerintah mencoba skema baru. Sejak 2019, Bulog bisa membeli gabah/beras petani untuk CBP. Kemudian, pemerintah akan membayar kompensasi yang wajar atas penugasan penyaluran CBP atau dengan sistem pascabayar. Dengan kata lain, pada 2019, CBP berubah dari yang ada persediaan isi menjadi penggantian.
"Jadi setelah Bulog bekerja, baru dibayar atau diganti dengan kompensasi harga yang wajar," jelas Khudori.
Berikutnya, pada skema baru, Bulog diminta menjaga stok beras agar tersedia 1-1,5 juta ton setiap saat. Agar penyaluran CBP itu besar, maka dibuatlah outlet baru yang dinamakan Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH).
"Dalam pengertian sehari-hari, KPSH tidak ada bedanya dengan operasi pasar," imbuh Khudori.
Sementara, outlet lama tetap ada untuk kondisi darurat dan kerawanan pasca bencana, bantuan, dan kerjasama internasional.
Khudori memaparkan, agar KPSH bisa berjalan setiap hari, ketentuan yang mengatur trigger diturunkan. Dari semula 10 persen menjadi 5 persen.
"Kalau mengikuti logika itu, harus ada 1-1,5 juta ton setiap saat, kalau setiap 4 bulan sekali diadakan perputaran beras, artinya perlu outlet kira-kira 250-375 ribu ton/bulan. Ini cukup besar. Pertanyaannya sekarang, apakah outlet yang sekarang itu ada?," cetusnya.
Dengan demikian, Khudori menekankan, mengelola CBP tanpa outlet penyaluran pasti memerlukan anggaran besar. Sementara pemerintah tidak mau membiayai ini. Maka dari itu diubah menjadi skema penggantian.
"Pengelolaan CB tanpa outlet penyaluran pasti perlu perputaran stok yang cepat agar kualitas beras tidak turun dan stok tidak menumpuk. Tapi sampai saat ini outlet perputaran stok yang cepat, pasti, dan besar itu belum tersedia," tandasnya.
(NDA)