ECONOMICS

Krisis Evergrande, Akankan Housing Bubble di Amerika Serikat Terulang Lagi?

Ajeng Wirachmi/Litbang 23/09/2021 13:28 WIB

Krisis keuangan yang dialami grup properti terbesar di China, Evergrande, telah menimbulkan gejolak terhadap perekonomian dunia.

Krisis Evergrande, Akankan Housing Bubble di Amerika Serikat Terulang Lagi? (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Krisis keuangan yang dialami grup properti terbesar di China, Evergrande, telah menimbulkan gejolak terhadap perekonomian dunia. Meski belum terdampak signifikan, namun pasar modal Amerika Serikat, Asia dan Eropa mengalami koreksi.

Krisis tersebut mengingatkan kembali ketika dunia pernah dilanda kondisi serupa pada 2007-2008. Melansir informasi yang ada dalam buku pegangan (handbook) Bappenas tahun 2009, krisis keuangan AS bermula ketika munculnya krisis kredit perumahan di negara adidaya itu.

Kondisi ini terjadi akibat kredit macet yang diakibatkan gagal bayarnya sejumlah kreditur atas pembelian properti, ataun dikenal sebagai housing bubble. Tentunya Amerika Serikat adalah negara yang parah terkena dampaknya.

Menilik ke belakang, AS sudah menetapkan UU tentang perumahan atau Mortgage di tahun 1925. Adapun peraturan itu sangat berkaitan erat dengan kredit kepemilikan rumah yang meringankan debitur dan juga berkaitan dengan sektor properti.

Saat AS sedang mengalami kenaikan harga properti besar-besaran, kemudahan pemberian kredit tersebut tetap berjalan. Ditambah, beragam lembaga keuangan pemberi kredit properti memberikan kesempatan kredit kepada mereka yang sebetulnya tidak layak mendapat kredit. Artinya, kredit disalurkan untuk masyarakat yang kemampuan ekonominya kurang baik.

Akibatnya, munculah kemandekan kredit dalam ranah properti yang dikenal dengan subprime mortgage, atau krisis hipotek subprima. Biang keladinya jelas, karena para debitur tak sanggup membayar kredit mereka.

Nilai properti semakin meningkat, hingga menimbulkan housing bubble (pembengkakan harga properti). Efek negatif dari krisis terus bergulir, hingga merubuhkan cukup banyak lembaga keuangan di AS.

Namun ternyata tidak hanya Amerika Serikat, krisis ternyata juga menjalar ke sejumlah negara, termasuk Indonesia. Hal ini terjadi karena banyak lembaga keuangan internasional yang menginvestasikan dananya ke AS, yang alhasil memantik terjadinya krisis keuangan global.

1. Yunani

Yunani yang masuk ke dalam Uni Eropa merasakan dampak langsung akibat krisis AS 2008. Ketika itu, pemerintah Eropa memiliki paket penyelamatan dari krisis ekonomi sebesar USD2,5 triliun.

Angka tersebut cukup merepotkan negara-negara yang memang menggunakan sistem utang, demi menjalankan pemerintahannya seperti Yunani.

Melansir artikel yang diproduksi oleh Universitas Kristen Satya Wacana bertajuk ‘Masa Depan Eropa Setelah Krisis Yunani’, negara itu gagal membayar utangnya di tahun 2008. Sementara itu, tingkat inflasi di Yunani sangat tinggi mencapai 6% dari PDB.

Bahkan, 2 tahun setelahnya yakni pada 2010, pemerintah Yunani tidak mampu membayar utang luar negeri sebesar USD532,9 miliar.

2. Indonesia

Indonesia tak ketinggalan terkena imbas akibat krisis AS itu. Mengutip artikel ‘Krisis Keuangan Global 2008-2009 dan Implikasinya Terhadap Perekonomian Indonesia’ yang diproduksi oleh IPB University, indeks saham BEI (Bursa Efek Indonesia) ketika itu merosot tajam.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga melambung. Akibatnya, perbankan mengalami kesulitan likuiditas. Pemerintah juga sangat sulit memperoleh pinjaman di pasar keuangan.

Guncangan ekonomi ini juga mengakibatkan terjadinya perlambatan ekonomi. PHK atau pemutusan hubungan kerja harus terjadi, sekitar tahun 2009 karena krisis ini.

3. China

Negeri tirai bambu ini memang merasakan dampak akibat krisis global AS. Artikel produksi Universitas Indonesia (UI) di tahun 2009 dengan judul ‘Kemampuan Ekonomi China dan Implikasinya’ mengutarakan pertumbuhan ekonomi China sedikit melemah menjadi 9,9 % di 9 bulan awal tahun 2008.

Hal ini cukup menggambarkan bahwa krisis ekonomi global saat itu berlangsung sangat sulit.

(TYO)

SHARE