Laba Industri Tertekan di Paruh Pertama 2023, Perusahaan Besar di China Ketar-ketir
aba perusahaan industri di China dilaporkan turun 15,5 persen sepanjang paruh pertama 2023 pada Senin (28/8/2023).
IDXChannel - Laba perusahaan industri di China dilaporkan turun 15,5 persen sepanjang paruh pertama 2023 pada Senin (28/8/2023). Laba industri di China tercatat menjadi CNY3.943,98 miliar dalam tujuh bulan pertama 2023 di tengah melemahnya pemulihan ekonomi, lemahnya permintaan, dan terus berlanjutnya tekanan margin.
Penurunan ini mengikuti koreksi sebesar 16,8 persen pada periode sebelumnya dan penurunan sebesar 4 persen pada 2022. Rinciannya, merosotnya laba ini terjadi pada perusahaan milik negara terkontraksi 20,3 persen dibanding 21,15 persen sepanjang Januari-Juni). (Lihat grafik di bawah ini.)
Sementara penurunan laba sektor swasta tertekan 10,7 persen versus 13,5 persen pada periode Januari-Juni.
Di antara 41 industri yang disurvei, 28 industri mengalami kerugian, yaitu peleburan dan pemrosesan rolling logam besi yang labanya tertekan 90,5 persen.
Ada juga industri sektor energi seperti minyak bumi, batubara dan bahan bakar lainnya labanya tertekan 87,0 persen, sektor produk kimia tertekan 54,3 persen, pengolahan, peleburan dan rolling logam non-ferrous tertekan 36,7 persen.
Pada industri sektor pengolahan pertanian dan makanan laba tertekan 32,6 persen, produk mineral non-logam tertekan 28,8 persen. Sementara laba sektor komputer, peralatan komunikasi & elektronik tertekan 26.4 persen. Laba sektor tekstil tertekan 20,3 persen.
Adapun pada Juli saja, keuntungan industri menyusut sebesar 6,7 persen.
Beberapa Perusahaan Besar Ketar-Ketir
Tak hanya itu, dilansir Bloomberg, Senin (28/8), perusahaan-perusahaan besar global berbasis di China mulai dari Nike Inc. Caterpillar telah melaporkan penurunan pendapatan mereka akibat perlambatan ekonomi di China.
Hal ini terlihat dari indeks MSCI yang melacak perusahaan-perusahaan global dengan eksposur terbesar terhadap China telah turun 9,3 persen pada bulan ini. Penurunan ini hampir dua kali lipat penurunan ukuran saham dunia yang lebih luas.
Indeks barang-barang mewah Eropa dan sektor perjalanan dan liburan di Thailand juga mencatat penurunan terhadap indeks acuan ekuitas dalam negeri China.
“Sektor-sektor tersebut merupakan cerminan tentang bagaimana investor global dapat berisiko paparan tidak langsung terhadap China dan prospeknya seiring dengan terus membebani perekonomian China,” kata Redmond Wong, ahli strategi pasar di Saxo Capital Markets di Hong Kong.
Perusahaan barang mewah seperti pembuat tas Louis Vuitton LVMH, pemilik Gucci Kering SA dan Hermes International juga sangat rentan terhadap goyahnya permintaan di China. Mengingat negara ini menyumbang pendapatan perusahaan secara signifikan.
LVMH melaporkan kinerja yang kuat pendapatan kuartal kedua yang dirilis pada 25 Juli lalu karena peningkatan permintaan di Asia dan Eropa.
Pendapatan di Asia, kecuali Jepang, meningkat 23 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, karena benua ini terus menjadi pasar yang menguntungkan bagi perusahaan
Penjualan di wilayah tersebut telah melonjak 14 persen pada kuartal pertama tahun ini seiring dengan dicabutnya lockdown Covid-19 di China. Adapun LVMH melaporkan 37 persen pendapatannya berasal dari Asia sepanjang 2022.
CEO dan ketua LVMH Bernard Arnault mengunjungi China pada Juni lalu. Miliarder Perancis dan orang terkaya kedua di dunia ini adalah salah satu dari beberapa kepala eksekutif yang berkunjung ke China pada Juni.
Pada Juni, LVMH membuka outlet Sephora di Shanghai, menandai upaya lain untuk memasuki pasar China.
Konsumen China bahkan diproyeksikan menghabiskan USD444,7 miliar untuk barang-barang mewah pada 2023, menurut firma riset pasar Euromonitor, seperti dilansir South China Morning Post. (ADF)