Legitnya Dodol Nurhayati Hasilkan Cuan hingga Rp150 Juta saat Ramadan
Saat memasuki Bulan Ramadan, Nurhayati bisa melakukan produksi sampai lima kali dalam sehari saja.
IDXChannel - "Ducunt volentem fata, nolentem trahunt (Takdir membimbing mereka yang mau dan menyeret mereka yang tak mau)."
Petuah tersebut disampaikan oleh Seneca, dramawan Romawi yang hidup di era Zaman Perak sastra Latin, tentang kekuatan takdir dalam menentukan arah hidup seorang manusia.
Petuah tersebut, sepertinya, dirasakan betul oleh Nurhayati, seorang pengajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Ikhwanul Muslimin, Bojonggede, Kabupaten Bogor.
"Saya dan suami adalah keluarga pengajar. Saya guru di MI, sedang suami jadi ustadz di (Pondok) Pesantren Hidayatullah, di Depok. Sama sekali nggak ada pikiran untuk bisnis, apalagi melanjutkan bisnis keluarga jadi pengusaha dodol," ujar Nurhayati, saat ditemui di kediamannya, di Kampung Masjid, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, beberapa waktu lalu.
Estafet
Ya, selain bekerja sebagai guru, Nurhayati juga diketahui merupakan generasi ketiga yang kini memegang estafet pengelolaan bisnis dodol Bojonggede Muhaya, yang telah dirintis oleh Sang Nenek sejak 1950-an silam.
Estafet pengelolaan tersebut mulai diterima dan dijalankan oleh Nurhayati sejak kesehatan ibunya, Hajjah Muhaya, menurun pada 2021 lalu. Hingga pada akhirnya, setelah cukup lama dirawat, Sang Ibunda meninggal, beberapa bulan lalu.
"Jadi (rumah) ini sebenarnya rumah Ibu, bukan (rumah) saya. Rumah saya di sebelah (rumah ini). Cuma memang tiap hari, (saya) lama di sini untuk produksi (dodol), karena dari keluarga sepakat di sini kita jadikan pusat produksinya dodol Muhaya," tutur Nurhayati.
Rumah produksi tersebut, menurut Nurhayati, setiap harinya sudah akan aktif sejak pukul 07.00 WIB, di mana karyawan pengaduk dodol mulai beroperasi di bagian dapur, sisi belakang rumah.
Proses produksi di atas tungku dilakukan hingga pukul 10.30 WIB. Selanjutnya, dodol yang sudah matang akan didinginkan lebih dulu sampai jam 1 siang. Berikutnya, Nurhayati yang telah pulang dari mengajar akan lanjut pada proses pembungkusan, dengan dibantu oleh 3 karyawan.
Berkembang
"Alhamdulillah, pas jaman Ibu dulu, (proses) produksi biasanya sekali seminggu. Sejak saya pegang, jadi 2 hingga 3 kali seminggu. Sekali produksi menghasilkan 36 kilogram dodol. Jadi rata-rata (kapasitas produksi) sekitar 100 kilogram per bulan," ungkap Nurhayati.
Tak hanya dari segi kapasitas, harga jual dodol Muhaya juga telah beberapa kali mengalami penyesuaian. Sempat dijual dengan harga Rp35 ribu sampai Rp40 ribu per kilogram di era Sang Ibunda, sejak 2021 para pedagang dodol Bojonggede sepakat bahwa harga jual dinaikkan menjadi RP45 ribu per kilogram.
Terbaru, pada 2024 ini, harga jual dodol Muhaya adalah sebesar Rp48 ribu per kilogram untuk reseller dan Rp50 ribu per kilogram untuk pembeli yang langsung datang ke toko (end buyer).
Dari harga jual tersebut, dengan mengasumikan semua penjualan melalui reseller saja, maka dapat disimpulkan bahwa pendapatan yang mampu diraup Nurhayati dari bisnis dodol Bojonggede ini adalah sekitar Rp4,8 juta per minggu, atau mencapai Rp19,2 juta per bulan.
"Karena (harga) bahan baku kan juga terus naik ya. Mungkin di jaman Ibu saya dulu, modal sekali produksi masih sekitar Rp500 ribuan. Sekarang sudah RP860 ribu sekali produksi, sudah termasuk pegawai, kayu bakar dan tentu bahan bakunya, yaitu tepung ketan, gula jawa dan santan," papar Nurhayati.
Ramadan
Omzet dan jumlah produksi sebanyak itu, dikatakan Nurhayati, bakal semakin melonjak ketika memasuki momen Ramadan dan Lebaran.
Termasuk juga saat warga Bojonggede merayakan perayaan Lebaran khas Bojonggede, yang biasa disebut Lebaran Dongdang, yang biasa digelar tiga bulan pasca Lebaran dalam kalender Islam.
Jika pada hari-hari biasa proses produksi dalam seminggu dilakukan sekitar 2-3 kali, maka saat memasuki Bulan Ramadan, Nurhayati bisa melakukan produksi sampai lima kali dalam sehari saja.
"Jadi kalau di bulan-bulan biasa (produksinya) 400 kilogram, saat puasa bisa sampai 2.000 hingga 3.000 kilogram, dalam sebulan saja," tandas Nurhayati.
Dengan mengasumsikan penjualan lebih banyak didominasi oleh pembeli akhir (end buyer) yang datang langsung ke toko, maka omzet penjualan Dodol Muhaya selama Ramadan bisa ditaksir mencapai Rp100 juta hingga Rp150 juta.
Karenanya, dengan gelimang cuan yang demikian besar tersebut, pantas saja bila Nurhayati yang semula sama sekali menekuni dunia bisnis, kini tertarik dan bahkan mulai menggeluti lebih dalam tentang seluk-beluk industri jajanan tradisional ini.
Salah satunya, dengan kebiasaan dunia belajar-mengajar yang selama ini Ia geluti, Nurhayati pun kini mulai bersemangat 'bersekolah' kembali, dengan aktif mengikuti berbagai pelatihan dan kursus tentang pemasaran.
"Biasanya Disdagin (Dinas Perdagangan dan Perindustrian) Kabupaten Bogor itu rutin bikin pelatihan. Lalu Dinas UKM juga. Saya ikutin terus, buat nambah pengetahuan soal pemasaran," ungkap Nurhayati.
Tembus Ekspor
Dengan berbekal ilmu dari pelatihan tersebut, Nurhayati berharap suatu saat kelak dia bisa mendorong perkembangan industri dodol Bojonggede ini agar dapat semakin maksimal.
Tak hanya Dodol Hajjah Muhaya miliknya saja, melainkan seluruh ekosistem penjual dodol Bojonggede, diharapkan Nurhayati bisa tumbuh bersama, sehingga dapat lebih eksis seperti halnya dodol-dodol dari daerah lain, seperti Dodol Tenjo, dodol Cibinong, dan sebagainya.
Jika nantinya keinginan itu terwujud, Nurhayati pun yakin suatu saat harapan para penjual dodol Bojonggede untuk bisa merangsek masuk ke pasar ekspor, dapat terlaksana.
"Karena sebelum ke sana (ekspor), kan kita harus dikenal dulu. Makanya saya bilang ke temen-temen (sesama penjual Dodol Bojonggede), kita gak bisa jalan sendiri-sendiri. Harus bergerak bareng, berusaha bareng, sehingga nanti bisa maju bareng," urai Nurhayati.
KUR BRI
Guna menopang harapan untuk terus berkembang hingga dapat Go International tersebut, Nurhayati pun telah mendapatkan dukungan fasilitas pinjaman permodalan dari PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), atau Bank BRI.
Fasilitas tersebut didapat melalui Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang merupakan program permodalan bersubsidi dari pemerintah, yang dikucurkan melalui bank-bank nasional yang telah ditunjuk.
Pinjaman tersebut, menurut Nurhayati, telah didapat pada 2020 lalu, saat Sang Ibunda masih hidup, dengan nilai pinjaman sebesar Rp100 juta, dan dengan tenor tiga tahun.
"Setahu saya Ibu sudah beberapa kali (dapat pinjaman KUR), tapi saya tidak tahu pasti nilainya. Cuma yang terakhir ini saja (yang saya tahu). Dapatnya Rp100 juta, tenor tiga tahun. Sempat berhenti karena COVID-19, jadi sekarang baru akan lunas beberapa cicilan lagi," tukas Nurhayati.
Suntikan permodalan tersebut, oleh Nurhayati, lebih banyak dimanfaatkan untuk maintenance peralatan produksi, seperti bejana dari tembaga yang merupakan salah satu ciri khas yang membedakan Dodol Bojonggede dengan jenis dodol dari daerah lain.
Karena jumlah perajinnya yang saat ini sudah semakin langka, harga dari bejana tembaga itu disebut Nurhayati cukup mahal, yaitu mencapai Rp5 juta per unit.
Lantaran demikian, dengan harganya yang mahal, maka tersedia juga jasa reparasi, ketika bagian-bagian dari bejana tersebut mengalami kerusakan. Namun lagi-lagi, karena jumlah perajinnya terbatas, maka untuk reparasi saja juga tarifnya dikatakan Nurhayati cukup menguras kantong.
Selain itu, dana pinjaman dari BRI juga digunakan Nurhayati untuk memperbanyak jumlah tungku yang ada di dapur, sehingga jumlah produksi dapat lebih dimaksimalkan.
"Memang khasnya Dodol Bojonggede itu masaknya di atas bejana tembaga, dan dimasak pake tungku. Bukan kompor biasa. Itu sangat berpengaruh di rasa," tegas Nurhayati.
Pagu 2024
Menyimak kisah Nurhayati dalam meneruskan bisnis keluarga besarnya dalam melestarikan budaya jajanan tradisional Dodol Bojonggede, seolah memperpanjang catatan keberhasilan Program KUR dalam mendorong perkembangan UMKM di Indonesia secara keseluruhan.
Karenanya, pemerintah pun tak ragu untuk terus memaksimalkan pengalokasian anggaran negara, guna menopang pelaksanaan Program KUR secara nasional.
Seperti halnya pada 2024 ini, pemerintah melalui Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian telah memasang target penyaluran hingga mencapai Rp300 triliun sampai akhir tahun.
Dari total target tersebut, BRI sebagai salah satu bank penyalur telah diberikan jatah pagu hingga Rp165 triliun. Dengan pagu tersebut, BRI tercatat sebagai bank penyalur KUR terbesar secara nasional.
"Kami berkomitmen penuh untuk dapat memenuhi target tersebut sebagai bentuk konkret dukungan perusahaan atas pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah di Indonesia," ujar Direktur Bisnis Mikro BRI, Supari, dalam kesempatan terpisah.
Menurut Supari, pihaknya optimistis bahwa target tersebut cukup realistis untuk dipenuhi, mengingat telah tersedianya infrastruktur perusahan secara memadai.
Terlebih, BRI disebut Supari juga telah memiliki sumber pertumbuhan baru melalui Ekosistem Ultra Mikro bersama Pegadaian dan PNM.
"Dari sisi infrastruktur, saat ini kami telah memiliki BRISPOT yang terus dioptimalisasi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pekerjaan tenaga pemasar (mantri). Lalu, kami juga akan mengoptimalkan potensi dari ekosistem model bisnis baru seperti PARI dan Localoka," tutur Supari.
Di sepanjang 2023 lalu, BRI tercatat berhasil merealisasikan penyaluran Program KUR hingga Rp163,3 triliun. Nominal penyaluran sebesar itu disalurkan kepada sedikitnya 3,5 juta debitur.
"Penyaluran (KUR) mayoritas dari sektor produksi, dengan kontribusi mencapai 57,38 persen terhadap total nilai yang terealisasi," tegas Supari. (TSA)