Mantan Gubernur BoE Sebut Brexit Awal Mula Kehancuran Inggris
Keputusan Britania Raya Exit (Brexit) telah membuat mata uang poundsterling menjadi lemah dan membuat harga-harga melonjak tinggi.
IDXChannel - Mantan Gubernur Bank of England (BoE), Mark Carney, menilai keputusan Britania Raya Exit (Brexit) telah membuat mata uang poundsterling menjadi lemah dan membuat harga-harga melonjak tinggi.
Hal itu sangat menyulitkan masyarakat Inggris.
Mark mengatakan penurunan nilai poundsterling dan pertumbuhan ekonomi setelah Inggris meninggalkan Uni Eropa menambah tekanan inflasi.
BoE telah memperingatkan Inggris akan menghadapi resesi terburuk sepanjang sejarah.
Demi mengatasi lonjakan harga, BoE menaikkan suku bunga dari 2,25% menjadi 3%. Kebijakan tersebut merupakan kenaikan tertinggi semenjak 1989.
Invasi yang dilakukan Rusia ke Ukraina telah menaikkan harga makanan dan energi, karena pasokan terganggu oleh perang. Sementara itu, Amerika Serikat (AS) dan Eropa mencoba menghentikan pembelian energi minyak dan gas Rusia sebagai sanksi atas invasinya.
Namun, menurut Mark, Brexit juga berkontribusi memicu inflasi dan telah memperlambat laju pertumbuhan ekonomi.
Dia mengatakan poundsterling telah jatuh secara drastis terhadap mata uang lain setelah referendum Brexit pada 2016 dan belum pulih hingga saat ini.
"Jika saya benar-benar dapat mengingat kembali beberapa tahun yang lalu, inilah yang kami katakan akan terjadi, yaitu nilai tukar akan turun, akan tetap turun, itu akan menambah tekanan inflasi," katanya dilansir BBC, Kamis (10/11/2022).
"Kapasitas ekonomi akan turun untuk jangka waktu tertentu karena Brexit, yang akan menambah tekanan inflasi, dan kita akan memiliki situasi - yang merupakan situasi kita hari ini - di mana Bank of England harus menaikkan suku bunga meskipun ada fakta bahwa ekonomi sedang menuju resesi," tambahnya.
Dia juga mengeklaim Inggris telah mengalami penurunan besar pada produktivitas dan Inggris harus mengambil beberapa keputusan sulit untuk mengembalikan produktivitas.
Tetapi, Perdana Menteri Inggris cenderung menyalahkan dampak pandemi Covid dan perang di Ukraina atas masalah ekonomi Inggris.
"Apa yang kami lihat adalah tantangan yang disebabkan oleh pandemi dan perang di Eropa yang telah menjadi faktor pendorong dalam hal inflasi, dan kami melihat inflasi yang tinggi di sejumlah negara di seluruh dunia," kata juru bicara PM Inggris.
Saat ia ditanya mengenai apakah dia menyangkal Brexit telah menyebabkan masalah keuangan, ia menjawab "Fokus kami adalah memastikan kami memiliki stabilitas dan kredibilitas fiskal. Itulah yang menjadi fokus kanselir dan perdana menteri daripada pada keputusan yang diambil beberapa tahun lalu di mana orang membuat keputusan yang jelas".
Penurunan nilai poundsterling mengakibatkan barang dan jasa yang diimpor dari luar negeri menjadi lebih mahal, sementara ekspor menjadi lebih kompetitif.
Pada September 2022, poundsterling jatuh ke nilai terendah terhadap dolar AS, setelah Kanselir Kwasi Kwarteng mengumumkan pemotongan pajak. (NIA)
Penulis: Ahmad Dwiantoro