ECONOMICS

Masih Layak Konsumsi, Mentan Minta Harga Beras Premium Oplosan Diturunkan

Iqbal Dwi Purnama 20/08/2025 04:14 WIB

Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengatakan, beras oplosan atau beras tidak sesuai mutu yang belakangan ramai di masyarakat tetap layak konsumsi.

Masih Layak Konsumsi, Mentan Minta Harga Beras Premium Oplosan Diturunkan. (Foto iNews Media Group)

IDXChannel - Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengatakan, beras oplosan atau beras tidak sesuai mutu yang belakangan ramai di masyarakat tetap layak konsumsi. Hanya saja ada pemalsuan terkait merek yang dijual dengan isi produknya.

Mentan menuturkan, beras premium oplosan di ritel modern tidak perlu ditarik peredarannya. Namun, dijual dengan harga lebih murah atau disesuaikan dengan standar mutu beras yang ada di dalam kemasan.

Misalnya, kata dia, beras yang diberi label premium ketika ditemukan punya tingkat beras patah 30-40 persen, maka harus dijual di harga medium.

"Ini standarnya harusnya dijual Rp12 ribu, karena broken-nya 30-40 persen, bahkan 59 persen. Harusnya dijual Rp12 ribu, kenapa dijual Rp17 ribu? Yang dijual hanya kemasannya saja," ujarnya kepada awak media di Tambun, Kabupaten Bekasi, Selasa (19/8/2025).

Menurutnya, berdasarkan hasil pemeriksaan beras-beras di ritel modern meskipun terindikasi tidak sesuai standar mutu yang dijual tetap layak konsumsi. Sebab, sudah melewati proses pembuktian secara langsung oleh aparat penegak hukum.

"Itu hasil pemeriksaan (beras oplosan layak dikonsumsi), hasil dari pemeriksaan penegak hukum," kata dia.

Sebelumnya, Amran mengungkapkan temuan hasil sidak dan investigasi yang dilakukan Satgas Pangan bersama jajaran Kementan, ditemukan 212 merek beras yang diduga merupakan beras oplosan, yakni campuran antara beras medium dan premium.

"Kami tidak akan mentolerir praktik curang seperti ini. Jangan permainkan rakyat dengan mengoplos beras dan menjualnya dengan harga premium. Ini bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga moral," katanya dalam keterangan resmi.

Amran menjelaskan, modus yang digunakan tidak hanya merugikan konsumen dari sisi kualitas, tetapi juga menimbulkan potensi kerugian negara hingga Rp99 triliun. Kalau pun praktik ini sudah berjalan 10 tahun, potensi kerugian negara diperkirakan tembus hampir Rp1.000 triliun.

"Kalau ini terjadi selama 10 tahun, kerugiannya bisa mencapai Rp1.000 triliun. Ini harus kita selesaikan bersama," ujar dia.

(Dhera Arizona)

SHARE