Mayoritas Iuran Tapera akan Masuk ke Obligasi Negara, Strategi Pemerintah Danai Belanja Ekspansif?
Polemik Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) masih terus bergulir. Banyak kelas menengah di Indonesia yang mengeluhkan program ini.
IDXChannel - Polemik Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) masih terus bergulir. Banyak kelas menengah di Indonesia yang mengeluhkan program ini. Terlebih, kondisi ekonomi yang menantang dan di tengah ketidakpastian global.
Polemik Tapera semakin memanas karena gaji pekerja swasta akan dipotong sebagai bagian dari iuran Tapera.
Bahkan, pemerintah mendorong program ini terealisasi paling lambat hingga 2027 mendatang.
Serikat buruh juga menegaskan penolakannya terhadap program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Pada Kamis (6/6/2024), elemen buruh menggelar unjuk rasa memprotes Tapera di Patung Kuda, Monas, Jakarta.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, aksi buruh tidak hanya berhenti pada unjuk rasa, melainkan akan mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kami juga mempersiapkan dua minggu ke depan ke MK terhadap UU Tapera," kata Iqbal.
Iuran Tapera ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 yang merevisi PP Nomor 25 Tahun 2020 mengenai Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) besaran iuran Tapera ditetapkan sebesar 3 persen.
Untuk besaran nilai pemotongan iuran Tapera bagi pekerja sebesar 2,5 persen per bulan dari gaji dan iuran yang ditanggung perusahaan mencapai 0,5 persen per bulan.
Masuk ke Instrumen Obligasi
Nantinya, dana Tapera akan masuk ke instrumen obligasi negara. Hal ini disampaikan langsung oleh komisioner BP Tapera Heru Pudyo Nugroho.
Ia mengatakan dana kelolaan Tapera akan ditempatkan di berbagai instrumen investasi, namun mayoritas portfolio investasi atau sekitar 80 persen ditempatkan di obligasi negara.
“Dari peserta Bapertarum kita optimalkan melalui Kontrak Investasi Kolektif (KIK), yang itu dijalankan oleh para manajer investasi, dan portfolionya ini kurang lebih 80 persen ya Itu di obligasi,” kata Heru saat konferensi pers di Gedung Kantor Staf Kepresidenan di Jakarta, Jumat (31/5/2024).
Jika melihat komposisinya, utang pemerintah selama ini didominasi oleh surat berharga negara (SBN) dengan denominasi rupiah. Ini artinya, jika dana Tapera masuk ke instrumen obligasi negara, maka bisa dipastikan akan menjadi piutang APBN.
APBN KiTa edisi April 2024 mencatat, utang pemerintah hingga 30 April 2024 tercatat Rp 8.338,43 triliun.
Secara nominal, posisi utang pemerintah tersebut bertambah Rp 76,33 triliun atau meningkat sekitar 0,92 persen dibandingkan posisi utang pada akhir Maret 2024 yang sebesar Rp 8.262,1 triliun.
Sementara itu, rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 38,64 persen, turun dari rasio utang terhadap PDB bulan sebelumnya yang mencapai 38,79 persen.
Secara rinci, utang pemerintah didominasi oleh instrumen SBN yang kontribusinya sebesar 87,94 persen.
Hingga akhir April 2024, penerbitan SBN tercatat sebesar Rp 7.333,11 triliun. Penerbitan ini juga terbagi menjadi SBN domestik dan SBN valuta asing (valas). SBN Domestik tercatat sebanyak Rp 5.899,2 triliun yang terbagi menjadi Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp 4.714,08 triliun serta Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebesar Rp 1.185,12 triliun.
Per 4 Juni 2024, posisi kepemilikan SBN rupiah yang dapat diperdagangkan mencapai Rp5.740,1 triliun. Angka ini terdiri dari SUN yang mencapai Rp4.599,47 triliun dan SBSN mencapai Rp1140,63 triliun. (Lihat tabel di bawah ini.)
Melansir hasil kajian Algo Research (5/6/2024), dengan asumsi implementasi penuh Tapera dengan 50 juta pekerja terdaftar, perkiraan kontribusi dana tahunan akan sekitar Rp115 triliun. Jumlah ini 15 kali lipat dari dana kelolaan yang dikelola BP Tapera sebesar Rp7,7 triliun.
“Jadi, jika BP Tapera terus menerapkan strategi alokasi dana yang sama ke depannya, diperkirakan akan ada Rp43 triliun untuk obligasi pemerintah, Rp23 triliun untuk obligasi & deposito korporasi, dan hanya Rp11 triliun untuk hipotek atau KPR, Rp30 triliun untuk renovasi, dan Rp3,6 triliun untuk pembangunan rumah. Sisanya sebesar Rp12 triliun untuk cadangan,” tulis riset Algo.
Melansir Algo merujuk laporan keuangan BP Tapera, alokasi dana kelolaan disalurkan ke instrumen investasi mencapai 54 persen, dana cadangan 10 persen dan hanya sisanya digunakan untuk pemberian kredit perumahan 36 persen. Alokasi untuk investasi naik dari 37 persen, sedangkan perumahan turun dari 50 persen.
Manajemen BP Tapera juga menyebutkan, dari 54 persen tersebut digunakan untuk investasi, sekitar 65 persen untuk pembelian obligasi pemerintah dan 35 persen untuk obligasi korporasi, deposito, dan instrumen pendapatan tetap lainnya.
“Hal ini berarti sekitar 35 persen (54 persen x 65 persen) dari total dana yang dikelola kemungkinan besar akan digunakan untuk pembelian obligasi pemerintah alias utang, yang selanjutnya dapat digunakan untuk keperluan lain seperti bantuan sosial (bansos), IKN, atau program makan siang gratis,” tambah riset Algo.
Namun, jika menggunakan asumsi bahwa 80 persen dana Tapera masuk ke obligasi negara seperti yang disampaikan komisioner BP Tapera Heru Pudyo Nugroho, ada sekitar 43 persen (54 persen x 80 persen) dari total dana kelolaan, maka dana SBN yang bisa dihimpun mencapai Rp52,74 triliun. (ADF)