Menakar Efektivitas Perputaran Dana Rp200 Triliun di Himbara, Seberapa Cepat Dampaknya ke Ekonomi?
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa resmi mengucurkan dana Rp200 triliun ke enam Bank Himpunan Milik Negara (Himbara).
IDXChannel - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa resmi mengucurkan dana Rp200 triliun ke enam Bank Himpunan Milik Negara (Himbara). Perputaran uang dari dana tersebut diproyeksi bisa mencapai 10 kali lipat.
Namun, jika melihat perekonomian saat ini, seberapa cepat kebijakan tersebut berdampak ke perekonomian?
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bima Yudhistira menilai dampak langkah tersebut ke eknomi akan bergantung pada permintaan kredit dan daya beli.
Dia menjelaskan, pencarian dana tersebut perlu melihat juga dari data permintaan kredit yang masih melambat belakangan ini.
Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Juli 2025, penyaluran kredit mencapai Rp8.043,2 triliun. Angka ini tumbuh 7,03 persen secara tahunan, namun melambat dari bulan sebelumnya.
"Likuiditas masuk ke bank Himbara dari skema Rp200 triliun, tapi yang jadi pertanyaan apa permintaan kreditnya naik signifikan? Ini tergantung dari beberapa faktor, daya beli masyarakat, kepercayaan dunia usaha, dan kebijakan pajak," ujarnya saat dihubungi IDX Channel, Minggu (14/9/2025).
Bima menjelaskan perlambatan pertumbuhan kredit ini merupakan cerminan dari aktivitas daya beli masyarakat yang melemah. Para pelaku usaha masih cenderung enggan untuk melakukan ekspansi di tengah tekanan daya beli hingga pajak.
Sehingga menurutnya, tidak cukup jika sekedar uang diletakkan di Bank Himbara, tetapi diperlukan juga stimulus fiskal tambahan agar menjadi pemantik aktivitas konsumsi di masyarakat.
Dia menyebut pajak pertambahan nilai (PPn) semestinya bisa diturunkan dari 11 persen menjadi 8 persen. Cara ini diyakini bisa mendorong geliat ekonomi masyarakat.
Bima menilai, pemerintah pun tidak perlu terlalu mengkhawatirkan soal penerimaan negara yang melambat imbas pemangkasan PPn. Sebab, menurutnya, penurunan pajak justru akan menggeliatkan aktivitas industri, menyerap lebih besar tenaga kerja, sehingga pajak penghasilan bakal meningkat di tengah pemangkasan PPn.
"Kita rekomendasikan ke pak Purbaya tarif PPN dipangkas dari 11 persen ke 8 persen, PTKP dinaikkan jadi Rp7 juta per bulan, dan serapan anggaran terutama terkait transisi energi. Kalau prakondisi itu dijalankan, maka pasokan dan permintaan akan sama-sama naik," kata Bima.
Lebih lanjut, Bima meniai penurunan tarif PPN bukan semata langkah populis yang mengorbankan penerimaan negara dalam jangka pendek, tetapi perlu menjadi momentum perombakan struktur pajak yang lebih seimbang.
Menurutnya hal tersebut akan memperkuat daya beli rumah tangga, terutama kelas menengah bawah yang menjadi penopang utama konsumsi domestik.
Peningkatan konsumsi rumah tangga selanjutnya dapat memacu pertumbuhan sektor ritel, produksi domestik, dan distribusi logistik. Akselerasi produktivitas ekonomi pada gilirannya akan menciptakan basis penerimaan negara yang lebih merata dan berkelanjutan.
Berdasarkan riset Celios, skenario penurunan tarif PPN 8 persen diproyeksikan dapat meningkatkan konsumsi masyarakat sebesar 0,74 persen dan mendorong pertumbuhan PDB hingga Rp133,65 triliun.
Dampak ganda ini akhirnya turun meningkatkan kontribusi terhadap penerimaan pajak bersih hingga mencapai Rp1 triliun per tahun.
"Dari hasil modelling Celios akan terdapat kenaikan Rp1 triliun penerimaan negara sebagai efek kenaikan pajak dari aktivitas produksi dan permintaan masyarakat. Jadi PPN turun, tapi sumbangan PPh 21-nya akan naik sebagai kompensasi," kata Bima.
(NIA DEVIYANA)