ECONOMICS

Menakar Peran SBN sebagai Penopang Ekonomi Indonesia 2023

Maulina Ulfa - Riset 03/03/2023 08:00 WIB

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menekankan ketahanan performa ekonomi makro Indonesia pada 2023 akan bergantung pada obligasi.

Menakar Peran SBN sebagai Penopang Ekonomi Indonesia 2023. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menekankan ketahanan performa ekonomi makro Indonesia pada 2023 akan bergantung pada obligasi.

Perry menegaskan, dampak kenaikan Fed Fund Rate tidak akan langsung berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia, terutama nilai tukar. Adapun yang akan paling terpengaruh sebenarnya adalah yield (imbal hasil) Surat Berharga Negara (SBN).

Ini karena portfolio inflow ke Indonesia akan dipengaruhi perbedaan yield dalam dan luar negeri, US Treasury dan yield SBN, bukan karena kebijakan suku bunga.

“Jadi mari kita lihat yield differential-nya. Itulah yang kami kerjakan bersama bu Menteri Keuangan adalah untuk menjaga yield diffenecial antara US Treasury dan government bond tetap menarik di mata investor. Sebanyak Rp45,5 triliun SBN masuk tahun ini, karena kami berdua menjaga yield diffenetial,” kata Perry dalam Economic Outlook 2023, Selasa (28/2).

BI mencatat sebanyak Rp45,50 triliun modal asing telah mengalir ke pasar Surat Berharga Negara (SBN) hingga 16 Februari 2023.

“Selama tahun 2023, berdasarkan data setelmen hingga 16 Februari 2023, nonresiden beli neto Rp45,40 triliun di pasar SBN,” kata Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono dalam keterangan resmi, Minggu (19/2/2023).

Perry menambahkan, fluktuasi nilai tukar bukan hanya terdampak karena policy rate, tapi juga dipengaruhi faktor fundamental. Untuk melakukan intervensi terhadap nilai tukar, BI akan mengeluarkan peraturan terkait valuta asing (valas).

“Maret ini kita akan menerbitkan term deposit valas. Kami telah berdiskudi dan sejumlah bank dan eksportir telah menandatangani aturan yang di buat ini. Salah satunya adalah rekening khusus untuk Dana Hasil Ekspor (DHE), tentunya dengan mekanisme pasar yang menarik. Untuk eksportir kami akan berikan suku bunga kompetitif luar negeri. Sehingga eksportir yang menaruh dana lebih lama di Indonesia akan memperoleh benefit, untuk bank kami akan memberikan fee agent sebagai insentif,”imbuh Perry.

Perry juga menegaskan setidaknya terdapat lima alasan nilai tukar akan menguat setelah guncangan kenaikan suku bunga The Fed:

  1. Prospek ekonomi Indonesia
  2. Inflasi akan kembali rendah di bawah 4%
  3. Yield differential yang terus menarik
  4. Kondisi neraca perdagangan surplus
  5. Komitmen BI menstabilkan nilai tukar rupiah

Sepanjang 2022, Bank Sentral AS The Federal Reserve (The Fed) telah menaikkan suku bunga acuan 425 basis poin atau 4,25% jadi 4,25% - 4,5% dan menjadi kenaikan paling agresif dalam 41 tahun terakhir.

Untuk mengimbanginya, BI merespons dengan kenaikan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebanyak 200 basis poin atau 2% sepanjang 2022 ini menjadi 5,5% pada Desember 2022. Di awal 2023, BI kembali menaikkan suku bunga walaupun kenaikannya melambat ke level 25 bps menjadi 5,75% mengikuti kenaikan The Fed.

Kondisi Yield Differential SBN Pemerintah RI

Dilaporkan BI, Menjelang akhir tahun 2022, investor asing berbondong-bondong beralih membeli SBN RI, karena imbal hasil (yield) yang tinggi, sementara fundamental ekonomi Indonesia yang masih dilihat solid. 

Yield SBN RI ini dinilai masih menarik, meskipun The Fed cukup agresif menaikkan bunga acuannya. 

Adapun yield differential atau lebih dikenal sebagai yield spread adalah perbedaan antara imbal hasil pada instrumen utang yang berbeda dengan variasi jatuh tempo, peringkat kredit, penerbit, atau tingkat risiko, yang dihitung dengan mengurangi imbal hasil satu instrumen dari instrumen lainnya. Perbedaan ini paling sering dinyatakan dalam basis poin (bps) atau poin persentase.

Guna melihat perbandingan yield obligasi, melansir data Trading Economics, beberapa kinerja obligasi pemerintah di negara-negara maju masih mengalami kenaikan hingga awal Maret 2023. Di antaranya AS, Inggris, Jepang, Australia hingga Jerman. (Lihat tabel di bawah ini.)

Beberapa negara ini dikenal menarik bagi investor karena menawarkan yield obligasi yang stabil dan dianggap cenderung kebal dengan guncangan ekonomi global. Namun, kekhawatiran inflasi dan resesi tahun ini bisa jadi menjadi game changer yang menentukan pasar obligasi beberapa negara ini.

Data yield obligasi pemerintah (US Treasury) Amerika Serikat (AS) terbaru menunjukkan kenaikan dalam perdagangan awal Maret 2023. Adapun yield Treasury tenor 10 tahun pemerintah AS yang dijadikan patokan atau benchmark obligasi  naik 0,028 bp ke 4,024% pada hari ini, Kamis (2/3) dari perdagangan kemarin di level 3,996%, Rabu (1/3).

Sementara, Imbal Hasil Obligasi Indonesia 10 Tahun juga mengalami kenaikan ke level 6,94% atau naik 0,051% setelah sehari sebelumnya berada di level 6,88%. (Lihat grafik di bawah ini.)

Mengutip kajian Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tingkat imbal hasil obligasi negara jangka panjang domestik di 26 negara berkembang, termasuk Indonesia, sangat dipengaruhi  oleh  ekspektasi  investor  atas  indikator-indikator  ekonomi  makro.

Dalam hal ini, inflasi dan pertumbuhan  Produk  Domestik  Bruto  (PDB)  riil,  serta  risiko  gagal  bayar  yang  dilihat  dari  level  defisit anggaran, defisit neraca berjalan, dan rasio utang pemerintah terhadap PDB.

Seiring dengan itu, pemerintah negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, perlu cermat dan waspada dalam menjaga keseimbangan fiskal, terutama dalam situasi ekonomi positif. Mengingat, situasi yang dihadapi dapat berubah dengan cepat dan berpengaruh pada tingkat imbal  hasil obligasi  negara.

Tingkat imbal hasil obligasi negara dengan tenor jangka panjang di negara emerging market dapat dipengaruhi oleh antara lain ekspektasi tingkat nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing dan faktor-faktor domestik seperti inflasi, pertumbuhan PDB, neraca fiskal, dan spread credit default swap (CDS).

Adapun, per 16 Februari 2023, premi risiko investasi atau CDS Indonesia dalam 5 tahun tercatat turun ke 88,73 bps dari 89,30 bps per 10 Februari 2023.

Dari dalam negeri, menurut catatan Kemenkeu, setidaknya empat faktor yang dapat memengaruhi yield SBN domestik, yakni likuiditas yang diwakili oleh tingkatan cadangan devisa Bank Indonesia, indikator ekonomi makro seperti inflasi, nilai tukar, dan BI Rate, kinerja obligasi yang diwakili indeks obligasi, dan harga komoditas yang diwakili harga minyak dunia.

Kinerja SBN 2022 hingga Awal 2023

Era suku bunga tinggi menyebabkan pasar obligasi sejumlah negara cukup kompetitif di sepanjang tahun lalu, tak terkecuali Indonesia hingga akhir 2022 dan bahkan memasuki awal 2023.

Investor asing tampaknya lebih memilih memarkir dananya di pasar obligasi pemerintah RI ketimbang di bursa saham saat ini.

Potensi resesi pada 2023 kemungkinan turut menjadi alasan asing berinvestasi di aset berisiko rendah.

Berdasarkan data Kemenkeu, pasar SBN RI berkinerja positif sepanjang triwulan IV tahun 2022 yang tercermin dari terjaganya imbal hasil (yield) SBN di tengah melonjaknya yield surat utang negara-negara emerging markets atau negara dengan ekonomi rendah menuju menengah.

Menurut catatan Kemenkeu, hingga akhir 2022, asing hanya memiliki SBN sekitar belasan persen saja. Per akhir Desember tahun lalu, kepemilikan asing di SBN mencapai 14,36% atau sebesar Rp762,2 triliun. 

Memasuki 2023, pasar SBN terpantau kembali bergeliat. Kepemilikan asing dalam SBN yang diperdagangkan tercatat menurun per akhir Februari 2023. Tercatat jumlah uang asing masuk sebesar Rp804,32 triliun per Februari, turun dari Januari yang tercatat sebesar Rp 811,89 triliun. Ini artinya, dalam sebulan, asing kabur sebanyak Rp7,57 triliun.

Apabila dilihat secara year to date (YTD), RI mengalami capital inflow (aliran dana asing masuk) dari SBN sebesar 5,53% atau hingga akhir Februari 2023.

Ini sejalan dengan proyeksi BI tentang pentingnya peran SBN sebagai penopang ekonomi RI.

Menurut proyeksi Trading Economics, Obligasi Pemerintah Indonesia tenor 10 Tahun diperkirakan akan diperdagangkan pada yield 6,85 persen pada akhir kuartal ini, menurut model makro global Trading Economics dan ekspektasi analis.

Ke depan, obligasi pemerintah RI diperkirakan akan diperdagangkan pada level yield 7,03 persen dalam waktu 12 bulan. (ADF)

SHARE