Menelaah Masa Depan Ekspor Impor RI di Tengah Lesunya Ekonomi Global
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor Indonesia di Maret 2023 mencapai USD23,50 miliar.
IDXChannel - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor Indonesia di Maret 2023 mencapai USD23,50 miliar. Angka ini naik 9,89% dibanding ekspor Februari 2023.
Namun, angka tersebut menurun 11,33% year-on-year (yoy) dibandingkan Maret 2022.
Tercatat, neraca perdagangan Indonesia Maret 2023 mengalami surplus sebesar USD2,91 miliar terutama berasal dari sektor nonmigas USD4,58 miliar.
Sebelumnya, berdasarkan data BPS, surplus neraca perdagangan Indonesia pada Februari 2023 meningkat dari USD3,88 miliar pada Januari 2023 menjadi USD5,48 miliar. (Lihat grafik di bawah ini.)
Ekspor non migas menyumbang 94,30% dari total ekspor Maret 2023. Ekspor non migas Maret 2023 mencapai USD22,16 miliar, naik 9,71% dibanding Februari 2023. Namun, angka ini tercatat menurun 11,70% jika dibanding ekspor nonmigas Maret 2022.
Kenaikan tersebut utamanya dipengaruhi oleh kenaikan ekspor komoditas bahan bakar mineral dan logam mulia dan emas/permata.
Sejalan dengan kenaikan ekspor, pada Maret 2023 impor juga mengalami kenaikan sebesar 29,33% (mtm) menjadi sebesar USD20,59 miliar dan lebih tinggi dari kenaikan ekspor.
Kenaikan tersebut utamanya disebabkan oleh kenaikan impor barang modal sebesar 34,35%. Kenaikan impor barang modal dan bahan baku/penolong ini disebut dapat berpengaruh terhadap kinerja ekspor.
Waspada Turbulensi Ekonomi Global
BPS mencatat, nilai neraca perdagangan RI sepanjang paruh pertama 2023 mencapai USD12,26 miliar.
Deputi Bidang Metodologi dan Informasi Statistik Badan Pusat Statistik (BPS), Imam Machdi, menyebutkan neraca perdagangan Indonesia melanjutkan tren surplus selama 35 bulan berturut-turut di Maret 2023.
Dalam tiga tahun terakhir, pertumbuhan ekspor secara month-to-month (mtm) tertinggi pada bulan Maret. Namun pertumbuhan Maret 2023 jauh lebih rendah dari tahun 2022 dan 2021.
"Namun, surplus neraca perdagangan ini mengalami perlambatan dibandingkan Februari 2023 karena peningkatan impor yang lebih tinggi dibandingkan ekspor. Hal ini karena sebagian barang modal dan bahan baku yang diimpor digunakan untuk produksi barang yang diekspor," ujar Imam dalam Rilis BPS di Jakarta, Senin (17/4/2023).
Menurut Bank Indonesia, surplus neraca dagang penting untuk menjaga ketahanan eksternal perekonomian Indonesia.
Surplus neraca perdagangan Maret 2023 utamanya juga didorong berlanjutnya surplus neraca perdagangan nonmigas. Ekspor nonmigas yang tetap kuat terutama bersumber dari peningkatan ekspor produk manufaktur seperti mesin dan perlengkapan elektrik, dan ekspor berbagai produk kimia.
Namun, pada komoditas berbasis sumber daya alam, seperti CPO ekspor juga masih mengalami kontraksi. Ditambah sektor pakaian jadi dan tekstil hingga alas kaki juga mengalami tekanan. Adapun secara keseluruhan, sektor industri pengolahan yang mengalami kontraksi terdalam sebesar 13,67%.
Ekspor CPO tercatat terkontraksi 11,34% dan pakaian jadi dan tekstil terkontraksi 21,04% secara yoy. Adapun ekspor sepatu olah raga terkontraksi paling dalam sebesar 27,24% pada periode yang sama. (Lihat grafik di bawah ini.)
Berdasarkan negara tujuan, ekspor nonmigas ke China meningkat USD637,2 miliar atau meningkat 12,66% pada komoditas bahan bakar mineral, besi baja dan logam lainnya.
China, Amerika Serikat, dan Jepang tetap menjadi kontributor utama terhadap pangsa pasar ekspor Indonesia.
Selain ekspor nonmigas, surplus neraca perdagangan juga dipengaruhi sedikit meningkatnya ekspor migas sebesar USD4,01 miliar yoy sepanjang Januari hingga Maret 2023.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, sebelumnya memproyeksikan neraca dagang mengalami penyusutan surplus menjadi USD3,7 miliar pada Maret 2023.
“Penurunan surplus dipengaruhi oleh tekanan pada harga dan volume komoditas ekspor. Sebagai contoh batubara yang turun 39% dalam satu tahun terakhir, disusul bijih besi yang anjlok 20,2%,” kata Bhima saat dihubungi IDXChannel.com, Senin (17/4).
Ia menambahkan, tekanan ekspor komoditas dipengaruhi ekspektasi naiknya suku bunga Fed Fund Rate (FFR) dan perlambatan ekonomi di negara tujuan ekspor tradisional termasuk Amerika Serikat (AS).
Menurut Bhima, tantangan perdagangan ke depan akan muncul dari efektivitas kebijakan pemangkasan produksi minyak OPEC+, gejolak geopolitik China-Taiwan, dan ekspektasi pemulihan krisis energi di Eropa.
“Dari sisi impor perlu dicermati naiknya permintaan bahan baku industri sejalan dengan normalisasi aktivitas ekonomi paska lebaran. Impor migas juga akan menyebabkan tekanan sejalan dengan volume impor yang naik dan harga minyak yang fluktuatif. Komoditas yang masih akan menyumbang ekspor adalah mesin, emas, alas kaki, CPO dan batubara,” pungkas Bhima. (ADF)