Mengapa Pakaian Impor Bekas yang Dilarang Masuk RI Datanya Tercatat Rapih di BPS?
Pemerintah Indonesia sudah melarang pakaian impor bekas masuk ke dalam negeri.
IDXChannel - Pemerintah Indonesia sudah melarang pakaian impor bekas masuk ke dalam negeri. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan atau Permendag Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas.
Kemudian ada juga aturan turunan lain yang masih di aturan permendag Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.
Meskipun sudah dilarang, mengapa data pakaian bekas impor masih terdata secara rapi di Badan Pusat Statistik (BPS)?
Tim Litbang MPI mencoba menelusuri hal tersebut di laman resmi BPS. Diketahui, sumber data yang digunakan untuk perhitungan komoditas ekspor dan impor berasal dari dokumen-dokumen Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Sejak tahun 2015, data ekspor juga berasal dari PT Pos Indonesia, hasil survei perdagangan lalu lintas batas laut, dan catatan instasi lain di perbatasan.
Dalam data BPS, pakaian usang dan barang usang lainnya memiliki kode harmonized system (HS) 63090000. Berbagai sumber menyebut bahwa kode tersebut berarti barang milik perorangan yang dikirim dari luar negeri melalui jasa pengiriman.
Barang tersebut dikirim bukan dengan tujuan untuk diperjualbelikan di Indonesia. Bukan hanya baju, barang tersebut juga dapat berupa buku dan sepatu.
Sepanjang tahun 2022, total volume pakaian bekas impor mencapai angka 26,22 ton dengan nilai hingga USD272.146 atau setara dengan Rp4,18 miliar.
Pada 15 Maret 2023 lalu, Presiden Joko Widodo menyoroti bisnis pakaian bekas impor atau thrif yang menurutnya sudah sangat mengganggu.
Ia langsung memerintahkan jajarannya untuk mencari pelaku bisnis tersebut. Sebab, keberadaannya mengusik usaha industri tekstil dalam negeri.
Untuk melakukan pencegahan bisnis pakaian bekas impor, Polri bersinergi dengan pihak Kemendag (Kementerian Perdagangan) dan Bea Cukai, serta para pemangku kepentingan lainnya.
Melansir Sindonews, Direktur Celios Bima Yudhistira mengungkapkan bahwa bisnis jual beli pakaian impor sudah merugikan negara hingga Rp4,2 miliar per tahun.
Aktivitas yang lebih beken dengan nama thrifting itu sudah lama digemari masyarakat Indonesia, terutama anak muda karena harga pakaiannya yang jauh lebih murah. Selain itu, mereka juga bisa mendapatkan pakaian branded atau bermerek dunia.
Seiring waktu, penjual pakaian bekas juga sangat menjamur, baik yang membuka toko fisik ataupun berjualan melalui platform dalam jaringan/online (daring).
Hal tersebut semakin memudahkan masyarakat untuk mendapatkan pakaian bekas impor. Maka dari itu, Bima meminta pemerintah untuk segera menetapkan langkah tegas agar bisnis tersebut tidak semakin menggurita.
Penolakan akan semakin berkembangnya bisnis pakaian bekas impor juga diutarakan Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki.
Senada dengan Jokowi, Teten menilai bahwa praktik tersebut bisa menghancurkan industri pakaian dan alas kaki dalam negeri.
Apabila terus terjadi tanpa adanya penindakan tegas, maka banyak UMKM yang akan bangkrut dan bermuara pada meningkatnya angka pengangguran.
Diketahui, industri tekstil dan produk tekstil, alas kaki, dan pengolahan kulit didominasi oleh sektor mikro dan kecil, yakni 99,64%.
Selain akan menenggelamkan UMKM, bisnis pakaian bekas impor juga dapat membuat menumpuknya limbah tekstil. Data di laman Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) menyebut bahwa tekstil turut andil 2,6% dari total sampah nasional berdasarkan jenisnya. Jika dikumpulkan, sampah tekstil terdata sebanyak 7.854,70 kg.
Sebelum bisnis thrifting ramai diperbincangkan, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno sudah terlebih dahulu menyinggungnya.
Menurut Sandi, bisnis thrifting yang sangat digemari anak muda ini bisa menjadi peluang usaha ekonomi kreatif dan mengedepankan prinsip keberlanjutan lingkungan.
Karena pakaian bekas impor sudah dilarang oleh pemerintah, maka pelaku usaha tidak boleh menjual pakaian asal luar negeri, melainkan harus dari dalam negeri sendiri.
Dengan menilik kesempatan dan peluang tersebut, maka pelaku ekonomi kreatif dapat membangun sentra pasar loak. Sandi juga menekankan agar UMKM bisa memproduksi produk busana dengan kualitas baik dan desain unik.
Prinsip-prinsip ramah lingkungan juga harus diterapkan dan mengarah pada sustainability fashion atau fesyen yang berkelanjutan.
Caranya adalah dengan menggunakan pewarna alami yang akan membuat masa pakai busana lebih lama. Selain itu, UMKM juga bisa mempekerjakan masyarakat sekitar, terutama kalangan ibu-ibu.
(SLF)