ECONOMICS

Mengulik Kebijakan Subsidi Upah Rp1 Juta, Sudah Ideal?

Michelle Natalia 03/08/2021 16:39 WIB

Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai Bantuan Subsidi Upah Rp1 juta oleh Kemnaker masih belum ideal.

Mengulik Kebijakan Subsidi Upah Rp1 Juta bagi yang Terimbas Pandemi, Sudah Ideal? (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Hingga saat ini, pemerintah terus berupaya untuk mengantisipasi dan menekan dampak negatif pandemi, baik dari aspek kesehatan, ekonomi, dan sosial. Untuk membantu ekonomi dan daya beli pekerja/buruh di masa pandemi, terlebih dikarenakan, adanya penurunan aktivitas masyarakat akibat pemberlakuan PPKM, pemerintah kembali menetapkan untuk memberikan BSU bagi pekerja/buruh pada 2021.

BSU ini besarannya berbeda dengan BSU 2020, dimana BSU 2021 sebesar Rp500 ribu untuk dua bulan akan diberikan sekaligus kepada pekerja. Sehingga, pekerja terdampak pandemi Covid-19, khususnya PPKM darurat, akan menerima bantuan sebesar Rp1 juta secara total dari pemerintah.

Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai bahwa BSU Rp1 juta oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) masih kurang ideal.

Ada beberapa yang harus diperbaiki, salah satunya adalah terkait jumlah BSU dinilai terlalu sedikit dan tidak mencukupi jika hanya 500 ribu per bulan atau 1 juta selama 2 bulan.

"Sementara tidak sedikit pekerja yang bahkan dirumahkan tanpa digaji selama ppkm darurat. Idealnya Rp1,5 juta rupiah itu untuk satu bulan dan total minimum 5 juta rupiah dalam 3 bulan karena efek PPKM dirasakan bisa sampai 3 bulan kedepan," ujar Bhima kepada MNC Portal Indonesia di Jakarta, Senin (2/8/2021).

Dia mengatakan, BSU seakan hanya condong pada pekerja sektor formal padahal sebanyak 59% pekerja atau 78 juta orang bekerja di sektor informal. Syaratnya, BSU harus mencakup pekerja informal.

"Jangan hanya pekerja yang terdaftar di BPJS ketenagakerjaan saja, tapi perhatikan pekerja informal yang tidak punya BPJS," ungkapnya.

Bhima menyarankan agar penerima BSU sebaiknya ditambah menjadi 20-30 juta orang dari sebelumnya 8,8 juta orang. Hal ini berdasar dampak dari PPKM mengakibatkan risiko PHK massal di berbagai sektor.

Bahkan, dia menambahkan bahwa program BSU dan program Prakerja tidak perlu digabung. Secara konsep, keduanya berbeda, terlebih lagi diwajibkan ikut pelatihan terlebih dulu baru mendapat insentif.

"Yang dibutuhkan sekarang adalah cash dan ditransfer secepatnya, dan transfer langsung ke karyawan. Kalau via pengusaha khawatir realisasinya lambat dan ada moral hazard dimana dana bisa dipakai dulu untuk operasional selain gaji pegawai," pungkas Bhima.

Dihubungi secara terpisah, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan bahwa terkait BSU Rp1 juta ini bentuknya adalah tambahan. "Jadi, bantuan ini akan optimal jika penerimanya tidak mengalami PHK, sehingga mereka masih mendapatkan dua sumber pendapatan, yaitu gaji dan subsidi," ungkap Yusuf.

Tetapi, senada dengan Bhima, yang juga perlu dikritisi dari BSU tersebut adalah durasi pemberian BSU. Saat ini, pemberian bantuan ini diperuntukkan ketika pemerintah menjalankan program PPKM darurat dan juga PPKM level 4.

"Yang perlu dipastikan adalah, bantuan ini seharusnya masih diberikan ketika PPKM darurat atau level 4 masih diberlakukan oleh pemerintah," tambah Yusuf.

Artinya, BSU ini tidak langsung dicabut ketika PPKM darurat atau PPKM level 4 ini selesai diberlakukan oleh pemerintah. Karena, setelah PPKM ini dicabut, tentu aktivitas perekonomian dan kondisi daya beli belum langsung tiba-tiba kembali seperti sebelum PPKM diberlakukan oleh pemerintah.

"Jadi, menurut saya durasi menjadi penting. Saya kira, tambahan 1-2 bulan di luar yang diberikan pemerintah saat ini menjadi penting agar BSU Rp 1 juta ini bisa lebih optimal," pungkasnya. (FHM)

SHARE