Menilik Rencana Pertemuan Pemerintah Jepang dan BOJ Soal Target Inflasi
BOJ ditekan untuk lebih fleksibel dalam menetapkan kebijakan moneter, terutama dalam menaikkan suku bunga.
IDXChannel - Pemerintah Jepang akan mempertimbangkan untuk merevisi joint statement pada 2013 dengan Bank of Japan (BOJ) yang mengikat bank sentral demi memenuhi target inflasi 2% di tahun depan.
Mengutip seorang narasumber kepada Reuters, Senin (19/12), revisi ini disebut akan dilakukan setelah gubernur BOJ baru ditunjuk pada April tahun depan. Kondisi ini disebut sebagai langkah yang dapat meningkatkan kemungkinan perubahan kebijakan moneter ultra-longgar yang selama ini dijalankan gubernur incumbent Haruhiko Kuroda.
“Tidak ada konsensus di dalam pemerintah tentang perubahan apa yang dapat dilakukan, karena banyak yang akan bergantung pada pandangan gubernur BOJ yang baru,” kata empat pejabat pemerintah dan partai berkuasa yang mengetahui masalah tersebut mengutip Investing.com, Senin (16/12).
Tetapi sumber tersebut menyebutkan beberapa pejabat pemerintahan Perdana Menteri Fumio Kishida tertarik untuk merevisi pernyataan satu dekade lalu yang berfokus pada langkah-langkah untuk mengalahkan deflasi, tujuan yang dianggap tidak sinkron dengan kenaikan inflasi baru-baru ini.
"Mengingat kita akan memiliki gubernur BOJ yang baru, kemungkinan besar akan ada pernyataan baru. Tapi belum ada keputusan tentang seperti apa kebijakan yang baru nati," kata sumber itu.
Kantor berita Kyodo melaporkan pada Sabtu bahwa pemerintah akan merevisi pernyataan bersama untuk membuat target inflasi BOJ menjadi target yang lebih fleksibel dengan beberapa kelonggaran.
Yen Menguat, Saham Nikkei Anjlok
Yen Jepang merespons dengan melonjak sebanyak 0,6% menjadi 135,8 per dolar pada hari Senin menyusul laporan tersebut. (Lihat grafik di bawah ini.)
Sumber: Yahoo Finance, diolah tim riset IDX Channel, Desember 2022
Yen selama ini harus berada di bawah tekanan karena The Federal Reserve (The Fed) Amerika Serikat (AS) mengeluarkan kebijakan suku bunga yang lebih hawkish daripada yang diproyeksi pasar. Kebijakan ini tentu saja sangat berdampak pada penguatan dolar terhadap nilai tukar mata uang lain.
Banyak analis menyarankan agar BOJ memperluas pilihan kebijakan untuk menyesuaikan dengan perkembangan ekonomi.
Kepala strategi kredit BNP Paribas Jepang Mana Nakazora, baru-baru ini juga mengatakan kepada Reuters bahwa bank sentral harus mengubah pernyataan kebijakan untuk memberi dirinya lebih banyak ruang untuk menyesuaikan suku bunga.
Sementara itu, pasar saham juga merespon dengan penurunan rata-rata saham Nikkei 1% dan obligasi pemerintah Jepang berada di bawah tekanan jual pada hari Senin karena investor menganggap berita tersebut meningkatkan kemungkinan penarikan stimulus.
Ketika ditanya tentang laporan Kyodo, Kepala Sekretaris Kabinet Hirokazu Matsuno mengatakan kepada wartawan pada hari Senin bahwa tidak ada kebenaran pemerintah akan merevisi joint statement tersebut.
Tetapi pasar penuh dengan spekulasi yang sangat mempengaruhi pasar karena masa jabatan Kuroda berakhir pada bulan April mendatang.
Di samping itu, BOJ juga memiliki kewenangan terkait kebijakan yield curve control (YCC) atau kebijakan kontroversial yang menggabungkan target suku bunga jangka pendek negatif dengan batas 0% pada imbal hasil obligasi 10 tahun.
Secara khusus, YCC yang telah dijalankan Jepang selama enam tahun terakhir bertujuan untuk memacu ekonomi dengan mempertahankan suku bunga rendah. YCC menargetkan suku bunga jangka panjang dengan menetapkan yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun di sekitar 0%.
Tetapi imbal hasil obligasi sepanjang tahun ini telah menghadapi tekanan karena suku bunga naik secara global. Sehingga BOJ melakukan intervensi dengan membeli obligasi dalam jumlah tak terbatas dari pasar untuk menjaga angka ini di bawah batas atas 0,25%.
Pentingnya Perubahan Fokus BOJ
Secara historis, di bawah tekanan kuat dari Perdana Menteri Shinzo Abe, pada 2013 pemerintah Jepang mengambil langkah lebih berani untuk mengendalikan deflasi. BOJ menandatangani pernyataan bersama dengan pemerintah pada tahun tersebut dan berkomitmen untuk mencapai target inflasi 2% "sedini mungkin".
Pernyataan itu juga menjabarkan peran yang akan dimainkan pemerintah, seperti menempatkan keuangan negara pada pijakan yang sehat, dan melakukan deregulasi dan reformasi struktural untuk mendorong potensi pertumbuhan ekonomi.
Namun, dalam setahun terakhir, inflasi telah melampaui target BOJ 2% selama tujuh bulan berturut-turut di bulan Oktober. Merespon hal ini, Kuroda menyerukan perlunya mempertahankan kebijakan ultra-longgar sampai upah pekerja dapat naik lagi.
Diketahui tingkat inflasi tahunan di Jepang naik menjadi 3,7% pada Oktober 2022, kenaikan tertinggi sejak Januari 1991 dan naik dari bulan sebelumnya sebesar 3% di tengah tingginya harga komoditas mentah impor dan pelemahan yen yang terus-menerus.
Harga konsumen inti naik 3,6% secara year on year (yoy), terbesar sejak Februari 1982. Angka ini juga lebih tinggi dari perkiraan 3,5% dan di atas target 2% BOJ untuk bulan ketujuh berturut-turut. Secara bulanan, harga konsumen naik 0,6% di bulan Oktober, kenaikan tertajam sejak April 2014, setelah naik 0,3% di bulan September.
Hal ini berdampak pada pemerintahan Kishida yang saat ini menemui tantangan berat dalam ekonomi Jepang. Kondisi ini karena meningkatnya kemarahan publik atas meningkatnya biaya hidup, yang disebabkan salah satunya oleh kebijakan suku bunga ultra-rendah BOJ dan memicu penurunan yen yang meningkatkan biaya impor.
Mantan Deputi Gubernur BOJ Hirohide Yamaguchi, yang dianggap sebagai kandidat kuat untuk menggantikan Kuroda, mengatakan kepada Reuters bahwa bank sentral harus siap menaikkan target imbal hasil obligasi jika ekonomi dapat menahan risiko eksternal.
"Ada kemungkinan inflasi konsumen inti akan bertahan sekitar 3-4% untuk jangka waktu yang cukup lama. Begitu ekspektasi inflasi mengakar, sangat sulit bagi bank sentral untuk mengendalikannya. Itu risiko yang harus diperhatikan oleh BOJ," kata Yamaguchi. (ADF)