ECONOMICS

Nasib Minyak Sepanjang 2022, Tersengat Perang hingga Protes Anti-Lockdown China

Maulina Ulfa - Riset 29/11/2022 16:17 WIB

Nasib si emas hitam banyak dipengaruhi oleh peristiwa penting global tahun ini.

Nasib Minyak Sepanjang 2022, Tersengat Perang hingga Protes Anti-Lockdown China. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Harga minyak di tahun 2022 termasuk menjadi yang paling fluktuatif di tahun 2022. Nasib komoditas ini banyak dipengaruhi oleh peristiwa penting global tahun ini.

Di awal tahun, pecahnya perang Rusia-Ukraina sempat mendorong harga minyak ke level tertingginya setelah sebelumnya ‘nyungsep’ terhantam pandemi Covid-19.

Wacana pelarangan impor minyak dari Rusia oleh beberapa negara Barat membuat harga 'emas hitam' lebih dari USD100 per barel dan menjadi level tertingginya dalam 14 tahun terakhir.

Berdasarkan data Investing.com per 7 April 2022, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak April 2022 naik ke level USD120,76 per barel.

Harga ini melonjak 56,85% secara year-to-date (ytd) dibandingkan dengan posisi akhir tahun lalu yang masih berada di level USD76,99 per barel. Jika dibandingkan dengan 8 Maret 2021, harga tersebut juga telah melambung sebesar 79,81% (yoy).

Namun, meskipun harganya tinggi, adanya pembatasan akibat Covid-19 yang ketat di beberapa negara menyebabkan rantai pasok minyak juga sedikit terhambat.

Buntut panjang dari belum berakhirnya perang Rusia-Ukraina juga masih terasa hingga hari ini. Sanksi yang akan dijatuhkan negara-negara Barat terhadap hasil minyak negeri Beruang Merah masih akan dilanjutkan.

Pada hari pada hari Jumat (25/11), tujuh negara ekonomi terbesar Barat setuju untuk mengenakan batasan harga pada minyak Rusia. Hal ini sebagai upaya untuk mengurangi kemampuan Moskow untuk mendanai perangnya di Ukraina tanpa memicu inflasi global lebih lanjut.

Menteri keuangan dari kelompok negara G7 yang terdiri dari Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Jerman, Prancis, Italia, dan Inggris, akan melarang penyediaan layanan transportasi laut untuk minyak mentah dan produk minyak bumi lainnya asal Rusia secara global di atas batas harga yang akan ditetapkan bersama.

Harga maksimum akan ditetapkan berlaku bersamaan dengan serangkaian sanksi Uni Eropa lainnya, yang mencakup larangan impor minyak Rusia melalui laut mulai awal Desember.

Meningkatnya risiko resesi global juga menyebabkan harga komoditas energi ini naik turun. Kondisi diperparah dengan sikap tidak konsisten The Federal Reserves (The Fed) dalam memberikan sinyal kenaikan suku bunga.

Protes di China Sempat Tekan Harga Minyak

Pasar minyak dunia sedang khawatir atas melemahnya permintaan akibat protes yang terjadi di China. Kondisi ini dengan cepat mendorong harga minyak anjlok, ke level terendah 11 bulan terakhir. Patokan harga minyak internasional mengalami pelemahan tajam pada kemarin, Senin (28/11).

Mengutip Investing.com, harga minyak Brent berjangka turun 2,6% menjadi USD74,31 per barel di awal perdagangan bursa Asia pada Senin (28/11). Angka ini mendekati harga seperti di akhir tahun 2021.

Sementara minyak mentah West Texas Intermediate turun 2,4% menjadi USD81,69 per barel. Kedua kontrak tersebut memperpanjang sejarah penurunan harga yang tajam dari minggu lalu dan diperdagangkan pada level terlemah sejak awal Januari 2022.

Harga minyak yang turun tajam ini karena tertekan oleh sentimen meningkatnya protes di beberapa kota besar China yang menolak kebijakan lockdown zero Covid-19.

Peristiwa ini meningkatkan kekhawatiran atas gangguan ekonomi di negara importir minyak mentah terbesar dunia tersebut.

Diketahui bahwa China merupakan salah importir minyak mentah terbesar dengan volume mencapai 12,7 juta barel per hari pada 2021.

Mengutip Statista, peringkat pertama importir minyak terbesar adalah Eropa dengan volume sekitar 13,5 juta barel per hari.

China telah menjadi konsumen minyak terbesar kedua di dunia dengan produksi rata-rata empat juta barel per hari.

Namun, konsumsi minyak China meningkat sekitar tiga kali lipat sejak awal abad ini. Adapun permintaan minyak China tercatat bertumbuh dari tahun-ke-tahun hampir dua persen pada tahun 2020, meskipun ada pandemi virus corona.

Dengan latar belakang tersebut, wajar jika gonjang-ganjing yang terjadi di China membuat pasar minyak juga makin ketar-ketir. Protes yang terus berlanjut akan semakin membuat ekonomi China memburuk dan berdampak pada pelemahan permintaan minyak dari negeri Tirai Bambu tersebut.

OPEC sebagai Playmaker Harga Minyak

Sehari setelah protes China, fluktuasi harga minyak kembali terjadi setelah perusahaan konsultan Eurasia Group menyebutkan potensi melemahnya permintaan dari China dapat memacu Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk memangkas produksi.

Investor juga terus menunggu dampak dari pembatasan harga yang direncanakan oleh negara G7 pada minyak Rusia yang dikabarkan gagal mencapai konsensus tentang pembatasan tersebut pada Senin (28/11).

Harga minyak kini terpantau pulih di sesi hari berikutnya pada Selasa (29/11) karena pasar bertaruh bahwa OPEC akan turun tangan untuk mengkondisikan harga.

Kartel minyak ini akan bertemu pada 4 Desember mendatang dan disinyalir akan menghasilkan keputusan pemangkasan produksi untuk mengendalikan pasar minyak yang bergejolak.

Sebelumnya, OPEC mengumumkan pemotongan pasokan 2 juta barel per hari pada bulan Oktober lalu untuk menaikkan harga. Pengumuman tersebut sempat menempatkan harga minyak mendekati USD100 per barel.

Sebelumnya, data Tradingeconomics melaporkan, harga minyak mentah Brent berjangka stabil di angka USD83 per barel hingga Selasa (29/11) karena prospek permintaan yang melemah dan spekulasi bahwa OPEC+ akan melakukan pengurangan produksi dalam pertemuan bulan Desember.

Harga Brent melonjak hampir 2% menjadi USD85,14 per barel, sementara West Texas Intermediate datar di sekitar angka USD78,62 per barel pada pukul 14.22 WIB hari ini (29/11).

Menurut Investing.com, Lonjakan harga minyak pada hari Selasa ini juga didukung oleh sentiment sinyal hawkish dari The Fed yang disebut juga memperburuk prospek permintaan.

Teranyar, The Fed mengisyaratkan tetap akan menaikkan suku bunga meskipun sebelumnya disebutkan ‘mayoritas’ pengambil kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) tersebut akan sedikit ‘kalem’.

Sinyal Hawkish dari The Fed pada Senin kemarin mendorong dolar dan mengindikasikan tekanan pada ekonomi AS, yang dapat mengurangi permintaan untuk minyak mentah.

Anggota The Fed James Bullard dan John Williams keduanya mengatakan bahwa bank sentral kemungkinan akan mulai memangkas suku bunga di tahun 2024, dan kenaikan suku bunga lebih lanjut diperlukan untuk memerangi inflasi.

Naiknya suku bunga AS dan ancaman berkurangnya permintaan minyak dari China digadang akan menjadi hambatan terbesar bagi pasar minyak tahun ini.

Sementara jika suku bunga terus naik, akan membuat penguatan dolar lebih lanjut, Kondisi ini bisa berpotensi membuat pengiriman minyak mentah jadi lebih mahal bagi negara importir utama.

Berbagai ketidakpastian ini bisa jadi membuat harga minyak akan sulit mencapai all time high-nya seperti di awal tahun ini. (ADF)

SHARE