ECONOMICS

Neraca Dagang RI-Australia Tekor, Saatnya Redefinisi Kerja Sama di KTT G20?

Maulina Ulfa - Riset 15/11/2022 14:16 WIB

Impor RI dari negeri Kanguru tercatat USD791 juta. Sementara, ekspor hanya mencapai USD257,2 juta.

Neraca Dagang RI-Australia Tekor, Saatnya Redefinisi Kerja Sama di KTT G20? (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan barang Indonesia dengan anggota G20 surplus dengan 9 negara dan defisit dengan 10 negara pada bulan Oktober 2022.

Neraca dagang RI secara keseluruhan surplus terutama berasal dari sektor non-migas USD7,66 miliar, penyumbang utamanya adalah bahan bakar mineral (HS 27), lemak dan minyak hewan/nabati, serta besi dan baja.

Neraca perdagangan nonmigas mengalami surplus, sedangkan neraca perdagangan migas mengalami defisit. Adapun defisit sektor migas senilai USD1,99 miliar dengan komoditas penyumbang adalah minyak mentah dan hasil minyak.

Dengan demikian, neraca perdagangan barang Januari-Oktober 2022 surplus USD45,52 miliar.

Adapun ekspor nonmigas menyumbang 94,46% dari total ekspor RI pada periode Januari hingga Oktober 2022.

Untuk golongan barang ekspor nonmigas utama Indonesia ke anggota G20 hingga Oktober 2022 adalah bahan bakar mineral, besi dan baja, lemak dan minyak hewan/nabati, bijih logam, terak dan abu dan mesin/perlengkapan elektrik dan bagiannya.

Dalam rilis resminya, Selasa (15/11), BPS menjelaskan negara penyumbang surplus terbesar adalah India, Amerika Serikat dan China. Adapun tiga negara penyumbang defisit terbesar adalah Australia, Brazil dan Korea Selatan.

Adapun pangsa ekspor non-migas terbesar RI adalah China dengan nilai USD6,25 miliar dan presentase 26,65%. Nomor dua diduduki oleh India, menggeser AS dengan nilai USD2,12 miliar dan presentase 9,04%. Sementara pangsa ekspor ke AS tercatat USD2,07 miliar atau 8,83%.

Sementara pangsa impor non-migas terbesar juga masih dari China dengan nilai USD 5,2 miliar.  Jepang menduduki peringkat 2 dengan nilai impor sebesar USD1,48 miliar. Ketiga diduduki oleh Korea Selatan dengan nilai USD890 juta dan Australia di posisi ke empat dengan nilai USD790 juta.

G20 Momentum Redefinisi Kerja Sama RI-Australia

Kontraksi paling dalam neraca dagang dengan negara G20 terjadi antara RI dan Australia. Nilainya mencapai minus USD 5,33 miliar dengan penyumbang terbesar dari sektor serealia atau biji-bijian sebesar minus USD0,2 miliar, bahan bakar mineral minus USD0,12 miliar dan binatang hidup minus USD62 juta.

Impor RI dari negeri Kanguru tercatat USD791 juta sementara ekspor hanya mencapai USD257,2 juta.

Sebelumnya, presiden Joko Widodo (Jokowi) mengajak Perdana Menteri Australia Anthony Albanese untuk dapat bekerja sama mengembangkan baterai listrik untuk kendaraan ramah lingkungan.

"Hilirisasi industrialisasi bahan-bahan mentah yang kita miliki memang harus kita stop untuk mendapatkan nilai tambah di dalam negeri baik yang berkaitan dengan pendapatan negara dan berkaitan dengan penciptaan lapangan kerja," ungkap Jokowi dalam sambutannya di B20 Summit Indonesia 2022, Bali, Senin (14/11/22).

Menurut Jokowi, Indonesia sudah memulai dengan nikel dalam rangka membangun sebuah ekosistem besar EV battery, baterai listrik untuk kendaraan listrik.

"Saya hanya menawarkan kepada prime minister Anthony Albanese di Australia ada litium, kita punya nikel kalau digabung sudah jadi baterai mobil listrik," jelas Jokowi.

Indonesia memiliki nikel dan Australia memiliki litium, Presiden Jokowi menyebut sangat cocok untuk bekerja sama menghasilkan baterai listrik.

Namun, sepertinya Indonesia perlu mendefinisikan ulang konsep perdagangan dengan negara tetangga ini. Mengingat perdagangan antara kedua negara seringkali tidak menguntungkan buat Indonesia.

Sebelumnya, kedua negara telah menyepakati Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA), yaitu perjanjian dagang non tarif yang diharapkan memperkuat hubungan kedua negara.

Sayangnya, neraca perdagangan RI-Australia selalu minus. Di tahun 2019 sebelum Pandemi Covid-19 menyerang, neraca dagang RI dengan Australia bahkan minus USD1,21 miliar.

Bahkan IA-CEPA disebut memperdalam defisit perdagangan antara Indonesia dan Australia. Terlihat data dari 2014 hingga 2018, tren defisit neraca dagang kedua negara meningkat hingga 50,05% atau defisit hingga USD3miliar USD pada tahun 2018.

Pada KTT G20 kali ini, menjadi momen krusial bagi Indonesia untuk menunjukkan bargain dengan Australia. Agar perdagangan antar kedua negara dapat menemukan win-win solution, bukan hanya menguntungkan satu pihak saja. (ADF)

SHARE