ECONOMICS

OPEC+ Pangkas Produksi Minyak, Rusia hingga Arab Saudi Paling ‘Cuan’

Maulina Ulfa - Riset 10/10/2022 13:57 WIB

Tak tanggung-tanggung, jumlah produksi yang akan dipangkas OPEC+ mencapai 2 juta barel per hari (bpd), setara dengan 2% dari pasokan global minyak mentah.

OPEC+ Pangkas Produksi Minyak, Rusia hingga Arab Saudi Paling ‘Cuan’. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Berbarengan dengan gemparnya beberapa negara dunia akibat mahalnya harga energi, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutu mereka (OPEC+) mengumumkan akan memangkas produksi harian minyak mentah.

Tak tanggung-tanggung, jumlah produksi yang akan dipangkas mencapai 2 juta barel per hari (bpd), setara dengan 2% dari pasokan global minyak mentah. Langkah ini merupakan pengurangan pasokan terbesar sejak 2020.

Langkah pemangkasan secara resmi diambil OPEC+ sejak Rabu (5/10/2022) lalu, dengan alasan untuk kembali menaikkan harga jual minyak, usai terus merosot dalam beberapa waktu terakhir, hingga berada di level terendah USD76,71 per barel pada 26 September lalu untuk minyak berjangka WTI dan USD84,6 barel untuk jenis Brent.

Hari ini, Senin (10/10/2022), harga minyak masih terpantau di bawah USD100 per barel mencapai USD91,91 untuk WTI. (Lihat tabel di bawah ini)

Sumber: Marketwatch

Langkah mengurangi pasokan dinilai tepat guna menyeimbangkan kembali pasar minyak internasional.

OPEC menyebut keputusan itu didasarkan pada kondisi ketidakpastian yang melingkupi ekonomi global dan prospek pasar minyak.

Melonjaknya inflasi di berbagai negara, embargo Uni Eropa atas pasokan energi dari Rusia karena perang, hingga kekhawatiran penguatan dolar dan kenaikan suku bunga disinyalir menjadi penyebab utama.

"Kami di sini sebagai kekuatan moderat untuk mewujudkan stabilitas," kata Menteri Energi Arab Saudi, Abdulaziz bin Salman, mengutip Aljazeera. Dia menekankan peran kelompok tersebut sebagai penjaga pasar energi yang stabil.

Namun, langkah tersebut justru ditentang oleh Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Eropa yang saat ini tengah kesulitan pasokan energi, hingga mengalami kenaikan harga gas berkali lipat. Bagi AS Cs, langkah yang ditempuh OPEC+ bakal menganggu stabilitas perekonomian global secara keseluruhan.

Presiden AS Joe Biden menyayangkan keputusan tersebut. Gedung Putih mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Biden kecewa dengan keputusan picik OPEC+ terkait pemangkasan kuota produksi ini. Sementara, ekonomi global menghadapi dampak negatif lanjutan dari invasi Putin ke Ukraina.

“Mengingat tindakan hari ini, Administrasi Biden juga akan berkonsultasi dengan Kongres tentang alat dan otoritas tambahan untuk mengurangi kontrol OPEC atas harga energi,” kata Gedung Putih.

Pertempuran Dominasi Minyak Dunia

Henry Kissinger, mantan Menteri Luar Negeri AS beberapa dekade lalu pernah berkata, ‘control oil and you control nations, control food and you control the people’.

Kalimat inilah yang mungkin tepat untuk menggambarkan keputusan OPEC saat ini untuk memangkas produksi minyak dunia. Sehingga, aksi Gedung Putih yang menyebut keputusan OPEC+ sangat picik bukan tanpa alasan.

Pasalnya, dominasi produksi minyak mentah global selama ini mayoritas dikuasai oleh perusahaan-perusahaan milik negara-negara anggota OPEC. Tak terkecuali Arab Saudi melalui Saudi Aramco dan Rusia melalui Gazprom.

Jika dilihat kapasitasnya, sekitar 43% dari produksi minyak dunia hanya berasal dari tiga negara di tahun lalu, yaitu AS, Arab Saudi, dan Rusia.

Pasar Eropa sangat bergantung pada ekspor minyak Rusia. Sementara AS adalah pengekspor minyak terbesar ketiga mencapai 8,17% dari ekspor global pada 2020.

Adapun Arab Saudi mewakili 15% dari ekspor minyak global dan menempatkannya menjadi produsen minyak utama pada OPEC dengan produksi hingga 11 juta bph pada 2021. (Lihat tabel di bawah ini)

Selama ini, pasar minyak internasional didominasi oleh perusahaan migas internasional (International Oil Companies/IOCs) dan perusahaan migas nasional (National Oil Companies/NOCs).

IOC dan perusahaan migas independen yang lebih kecil selama ini menghadapi tantangan pasar yang cukup berat. Hal ini karena NOC akan selalu memprioritaskan kebijakan mereka untuk memperluas pangsa pasar tanpa mempertimbangkan pemain lainnya dalam pasar.

Kondisi ini mendorong IOC seperti BP, Royal Dutch Shell dan ExxonMobil harus berjuang melawan dominasi pasar NOC yang mewakili perusahaan minyak milik negara seperti Saudi Aramco, Rosneft atau Gazprom.

Keputusan NOC ditentukan oleh negara dan belum tentu melihat pada pasar minyak global. Sementara keputusan IOC didorong oleh investor dan kemajuan teknologi.

Sementara, bisnis NOC juga didorong oleh motif politik yang signifikan. Kondisi ini seringkali dapat memberi mereka keuntungan dibandingkan IOC.

IOC berada pada posisi yang kurang menguntungkan karena sedikitnya akses terhadap cadangan minyak.

Menurut Forum Energi Internasional, IOC hanya memiliki akses ke sekitar 14% dari cadangan migas dunia dan hanya bergantung pada proyek yang memiliki nilai keekonomian, Sedangkan NOC tidak memperhitungkan kalkulasi untung rugi jika itu dapat mendukung posisi politik negara.

Inilah gambaran yang terjadi di Rusia dan Eropa. Gazprom memiliki kewenangan untuk tidak menyalurkan minyaknya ke Eropa dan mengancam benua Biru dengan kelangkaan energi menyusul dukungan Barat terhadap Ukraina.

Sementara Arab Saudi, sebagai pemimpin OPEC, memimpin pangsa terbesar pasar minyak hingga mendapat profit jumbo dari penjualan minyak senilai USD105,36 miliar.

Hingga April 2022, Gazprom juga memperoleh profit terbesar kedua mencapai USD25,44 miliar dibanding 11 perusahaan migas lainnya, mengutip Forbes Fortune 2000. (Lihat tabel di bawah ini)

Kondisi ini akan menghilangkan persaingan dan memungkinkan kartel, termasuk OPEC, untuk memiliki kontrol lebih besar atas pasokan dan penetapan harga global.

Terang saja Biden merespon aksi ini dengan reaksioner karena pemotongan produksi ini pasti akan berdampak pada terguncangnya stabilitas harga energi global, termasuk di AS.

Menurut analis Swissquote, Ipek Ozkardeskaya, pemotongan besar-besaran ini bisa menjadi bumerang bagi OPEC+ jika investor khawatir hal tersebut akan mendorong inflasi lebih tinggi dan memaksa bank sentral menaikkan suku bunga sehingga memicu resesi.

"Semakin tinggi harga energi, semakin tajam bank sentral harus menekan permintaan untuk menarik harga lebih rendah," katanya mengutip Aljazeera.

Langkah itu juga bisa menempatkan kawasan seperti Eropa dalam posisi yang sulit. Banyak negara Eropa telah memberlakukan batasan harga pada minyak Rusia. Tetapi Putin menahan ekspor ke negara-negara yang memberlakukan batasan tersebut.

Menurut analisis Financial Times, pemotongan produksi ini akan berdampak pada penurunan pasokan lebih lanjut. Langkah ini dapat menghambat upaya untuk menekan Rusia memperoleh pemasukan dari minyak setelah invasi Rusia ke Ukraina.

Profesor Adam Pankratz dari Universitas British Columbia, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa harga minyak mungkin akan naik dengan adanya pemangkasan produksi dan minyak akan menjadi komoditas yang langka. (ADF)

SHARE