Pangan Biru; Renjana Bangsa Pelaut yang Lama Tersesat di Darat
BMKG telah mengingatkan adanya potensi krisis pangan yang mengintai, yang diprediksi dapat terjadi pada 2050 mendatang,
IDXChannel – "Matilah engkau mati, Kau akan lahir berkali-kali." Kalimat itu menjadi pembuka sebuah novel bergenre historical fiction berjudul Laut Bercerita, yang terbit pada 2017 lalu.
Berkisah tentang perjuangan aktivis mahasiswa pra-reformasi di era 90-an, Sang penulis, Leila S Chudori, konon sengaja memilih diksi Laut untuk nama karakter utamanya, sebagai kiasan atas luasnya kisah yang dapat diceritakan tentang sejarah kelam dunia aktivisme saat itu.
Meminjam point of view Leila dalam novel tersebut, memang banyak kisah yang bisa dan perlu terus diceritakan tentang laut, agar tak lekang oleh waktu. Mendorongnya sebagai arus utama agar tak terpinggirkan oleh zaman. Seperti halnya nasib perekonomian biru (blue economy) yang hampir selalu tak menentu, bahkan di bumi Indonesia yang notabene telah sejak lama mengeklaim diri sebagai Bangsa Pelaut.
Padahal, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) kerap kali telah mengingatkan adanya potensi krisis pangan yang mengintai, yang diprediksi dapat terjadi pada 2050 mendatang. Saat itu, jumlah penduduk dunia diproyeksi bakal mencapai 10 miliar jiwa, dan masih ditambah dengan kondisi perubahan iklim, dengan tren peningkatan suhu yang terus terjadi, yang tentu membawa masalah besar di sektor pertanian.
"Dengan penduduk bumi makin banyak, lahan semakin terbatas, suhu bumi makin panas, maka pertanian darat sudah berada pada batas kemampuannya. Sebaliknya, laut menyimpan potensi luar biasa sebagai frontier berikutnya bagi produksi pangan berkelanjutan," ujar Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, saat tampil dalam International Sustainability Forum, di Jakarta, Jumat (10/10/2025) lalu.
Potensi Lestari
Maka pantas saja, dengan potensi luar biasa tersebut, ada sedikitnya tiga miliar orang di dunia yang mengandalkan pangan laut untuk memenuhi kebutuhan pangannya, dengan lebih dari 800 juta rumah tangga bahkan telah menggantungkan penghidupan di sektor tersebut.
Sedangkan di level nasional, data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga menyajikan fakta penguat, bahwa terdapat lebih dari 2.500 spesies biota laut yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan, dengan tingkat efisiensi konversi biota laut 1,3 hingga 1,8 kali lebih baik dibanding ternak darat.
Data ini sejalan dengan beragam data yang dimiliki sejumlah organisasi global, seperti United Nations Development Programme (UNDP) yang mengakui besarnya kekayaan laut Nusantara, dengan perkiraan mencapai 8.500 spesies ikan hingga 950 biota terumbu karang dan beragam potensi sejenis lainnya, sehingga dapat menyumbang 54 persen kebutuhan protein nasional dan bahkan 10 persen kebutuhan perikanan global.
Dari besarnya potensi tersebut, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP, Machmud, menyatakan bahwa Indonesia sejauh ini baru mampu memproduksi perikanan budidaya nasional sekitar 6,4 juta ton per tahun, jauh di bawah potensi lestari yang dimiliki, yang mencapai 100 juta ton.
Capaian ini jauh tertinggal dibanding sesama negara-negara maritim lain, seperti China, yang telah mampu memaksimalkan 78 juta ton produksi budidayanya.
Karenanya, dengan besarnya potensi yang belum tergarap tersebut, Sakti meyakini bahwa Indonesia memiliki ruang pengembangan sektor kelautan yang demikian luas untuk dapat membangun ketahanan pangan lautnya sendiri, bahkan beranjak tampil sebagai pusat pangan laut dunia.
Melalui pendekatan blue economy, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencoba mendorong upaya pengembangan tersebut dengan merumuskan sebuah paradigma baru dalam pengelolaan sumber daya laut, yang lebih menekankan keseimbangan antara kesehatan ekosistem, kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan ekonomi.
Keseimbangan dan Keberlanjutan
Paradigma yang coba dibangun KKP tersebut, pada dasarnya, telah lama diinisiasi oleh Gunter Pauli, fisikawan sekaligus ekonom asal Belgia, yang menjadi pencetus awal konsep blue economy. Lewat buku yang ditulis pada 2010, The Blue Economy, Pauli menekankan pentingnya konsep pembangunan berkelanjutan yang berorientasi pada pemaksimalan potensi laut, dengan memanfaatkan sumber dayanya secara efisien, dan tetap menjaga kesehatan dan keseimbangan ekosistem laut.
Sakti menjelaskan, upaya tersebut juga coba diwujudkan oleh KKP melalui lima program utama, yaitu perluasan kawasan konservasi laut, penguatan regulasi penangkapan ikan berkelanjutan dan pengembangan budi daya perikanan ramah lingkungan.
"Kami berfokus pada lima komoditas unggulan, yaitu udang, nila, kepiting, rumput laut dan lobster. Selain itu, ada juga program lain berupa pengawasan pariwisata bahari dan kegiatan ekonomi ekstraktif di wilayah pesisir, yang sering kali menyebabkan degradasi garis pantai dan juga pulau-pulau," ujar Sakti.
Tak hanya itu, Sakti menjelaskan, pihaknya juga melibatkan komunitas nelayan dan masyarakat pesisir dalam upaya menjaga kesehatan laut lewat pengumpulan sampah plastik secara kolektif. Di lain pihak, sedikitnya 20.000 hektar tambak terbengkalai di Jawa Bagian Utara juga sedang direvitalisasi menjadi kawasan budi daya nila terpadu.
Juga program modernisasi budi daya udang di Wayangapu, Nusa Tenggara Timur, serta rencana pembangunan 1.000 armada kapal perikanan skala kecil, untuk memastikan agar setiap ikan yang ditangkap dapat menjadi bagian dari rantai pasok pangan berkelanjutan.
Tak ketinggalan, KKP juga tengah menggarap program revitalisasi produksi garam nasional guna memperkuat produksi local, sekaligus mendukung target swasembada garam nasional.
"Melalui berbagai upaya, kami mendorong agar Indonesia tidak hanya sekadar berupaya memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, namun juga sekaligus berkontribusi terhadap ketahanan pangan global secara bertanggung jawab dan berkelanjutan," ujar Sakti.
Arus Utama
Dengan jumlah populasi mencapai 270 juta jiwa, termasuk di dalamnya sekitar 100 juta jiwa yang tinggal di kawasan pesisir, Sakti meyakini bahwa langkah mendorong Indonesia untuk go global melalui pendekatan blue food system sangat memungkinkan dan memang layak untuk diperjuangkan.
Caranya adalah dengan mendorong konsep blue food dan juga blue economy secara keseluruhan menjadi sebuah arus utama yang ada di masyarakat, dan juga narasi yang dikedepankan dalam setiap sektor kehidupan, mulai dari kehidupan sosial, budaya, pemerintahan, tata kota, sampai perekonomian dan segala macam bidang turunannya.
Dalam hal ini, Direktur Infrastruktur PT Perikanan Indonesia (Persero), Muhammad Rizali Umarella, memiliki pendekatan menarik. Lewat buku yang ditulisnya dengan judul Dari Laut untuk Manusia, Rizali menyoroti anomali yang selama ini terjadi di Indonesia, yang meski secara geografis merupakan negara kelautan (maritim), namun hampir seluruh kebijakan yang diambil justru menggunakan pendekatan berbasis daratan (agraris).
Misalnya saja sumber pangan yang semata-mata mengandalkan produk pertanian (bukan produk laut), alat penghubung antar pulau yang mengandalkan jembatan dan angkutan udara (bukan angkutan laut), hingga kebijakan perluasan daratan lewat kebijakan reklamasi.
Deretan fakta tersebut, menurut Rizali, menjadi bukti sahih bahwa potensi kelautan nasional selama ini selalu dinomorduakan dan tidak menjadi prioritas, sehingga ditempatkan di belakang.
"Kita bisa lihat, bahkan rumah-rumah yang ada di kawasan pesisir justru menempatkan laut di belakang. Mereka membelakangi laut. Sesuatu yang kita taruh di belakang itu pasti hal yang tidak penting. Bukan prioritas. Yang di belakang itu identik dengan sampah, jemuran atau gudang. Maka perspektif ini yang harus diubah. Laut itu masa depan, jadi harus ditempatkan di depan dan jadi arus utama," ujar Rizali, saat peluncuran bukunya tersebut, di Jakarta, Juni 2025 lalu.
Belajar Dari Code
Sejalan dengan pemikiran Rizali, pendekatan serupa juga pernah digunakan oleh budayawan sekaligus aktivis sosial, Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, saat menata ulang kawasan pemukiman di Bantaran Sungai Code, Yogyakarta, pasca banjir besar yang terjadi pada 1982 silam.
Sebelum diempas banjir, kawasan tersebut dikenal sebagai kampung kumuh yang penuh dengan bedeng-bedeng non permanen bersekat kardus dan tripleks, serta beratapkan terpal.
Para penghuni Kampung Code juga mayoritas kelompok urban, masyarakat pinggiran, kaum marjinal yang datang dari desa untuk mencari penghidupan, sehingga kerap kali tidak memiliki kartu identitas lantaran hidup nomaden.
Namun, pada 1984, pria kelahiran Ambarawa yang lebih akrab disapa Romo Mangun tersebut sukses membangun perubahan dengan menjadikan Kampung Code lebih tertata, dengan masyarakat yang lebih diberdayakan secara sosial dan ekonomi, hingga menarik perhatian internasional, dan mendapat penghargaan Aga Khan Award.
Caranya, pendekatan awal yang dilakukan Romo Mangun adalah mengubah posisi rumah-rumah di Kampung Code yang sebelumnya membelakangi sungai sehingga terlihat kumuh menjadi menghadap sungai, dengan harapan kawasan sungai tersebut menjadi lebih terawat karena menjadi 'simpul sosial'.
"Karena di depan mata, maka kali (sungai) jadi bersih. Nggak mungkin sinawang (dilihat) tiap hari kok nggak dibersihkan. Nah, karena (sungainya) bersih, maka bisa membawa manfaat, misal ada perahu untuk wisata, memancing, festival budaya, sehingga ada manfaat ekonomi juga untuk masyarakat di kiri-kanan kali (sungai). (Pendekatan) Ini semua harus dijaga, dan ditingkatkan," ujar Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, dalam sebuah Rapat Koordinasi dengan Pemkot Yogyakarta, pada Agustus 2025 lalu.
***
Dan pada akhirnya, banyak kisah yang telah terungkap tentang laut. Para pengambil kebijakan juga telah datang dan pergi. Para pemimpin lembaga yang mengurusi hajad kelautan telah silih-berganti. Beragam program telah tersaji. Beragam harap telah disandang. Seperti saujana surya tenggelam, selalu nampak indah namun terbentang di ufuk kejauhan.
Maka, seperti kata Leila di awal tulisan ini, meski kerap membentur dan mati suri, harapan tentang laut harus selalu dikisahkan, agar semangatnya terus lahir berkali-kali. Sebuah renjana kerinduan yang teramat-sangat, dari bangsa pelaut yang demikian lama tersesat di darat, untuk kembali dapat menggamit kedamaian dan kesejahteraan dari kampung halamannya; bahari.
(taufan Sukma)