ECONOMICS

Pebisnis AS Pesimistis Terhadap Keberlangsungan Bisnisnya di China

Nia Deviyana 29/10/2022 17:00 WIB

Hanya 55% dari 307 perusahaan yang disurvei yang menggambarkan diri mereka optimis tentang prospek bisnis lima tahun mendatang.

Pebisnis AS Pesimistis Terhadap Keberlangsungan Bisnisnya di China. Foto: MNC Media.

IDXChannel - Survei tahunan menunjukkan optimisme pebisnis Amerika Serikat (AS) di China turun mencapai rekor terendah. 

Turunnya optimisme disebabkan meningkatnya tantangan kompetitif, ekonomi, peraturan yang menambah tekanan, serta kebijakan nol-Covid yang sedang diberlakukan di Beijing.

Melansir Reuters, Sabtu (29/10/2022), hanya 55% dari 307 perusahaan yang disurvei oleh Kamar Dagang Amerika di Shanghai dan konsultan PwC China yang menggambarkan diri mereka optimis tentang prospek bisnis lima tahun mendatang.

Angka tersebut adalah yang terendah dalam sejarah 23 tahun survei, dan lebih buruk daripada tahun 2020, ketika covid-19 pertama kali muncul, dan selama perang dagang antara Beijing dan Washington pada 2019.

Selain itu, sekitar setengah dari perusahaan mengatakan kepercayaan kantor pusat mereka terhadap manajemen ekonomi China telah jatuh pada tahun lalu, dan hanya 18% yang menempatkan China sebagai nomor satu dalam rencana investasi global perusahaan mereka, turun dari 27% dari tahun lalu.

Responden yang disurvei antara 14 Juli dan 18 Agustus 2022 menyebutkan persaingan domestik sebagai tantangan utama mereka selama lima tahun ke depan, diikuti oleh ketegangan AS-China, perlambatan ekonomi, dan pembatasan serta penguncian perjalanan terkait Covid-19.

"Apa yang membuat banyak bisnis tetap terjaga di malam hari adalah persaingan dan meningkatnya persaingan dari para pesaing China," ujar Ketua Majelis Kamar Dagang AS di China, Sean Stein.

Ia juga mengatakan bahwa saat ini persaingan semakin sulit, karena persaingan lalu hanya menghadapi perusahaan China yang dibantu oleh negara, namun saat ini pemain perusahaan swasta lokal telah menguasai pasar di China.

China telah menekan perusahaan lokal untuk berjuang lebih keras dalam menguasai pasar karena adanya ketegangan geopilitik antara Taiwan yang didukung oleh Amerika Serikat, invasi Rusia ke Ukraina dan adanya pencegahan transfer teknologi semi konduktor ke perusahaan China oleh Amerika Serikat.

Kebijakan nol-Covid19 yang dilakukan oleh China juga telah membuat pertumbuhan ekonomi China menurun drastis dan berdampak buruk terhadap keberlangsungan bisnis.

Stein juga mengatakan bahwa optimisme terhadap investasi di China akan kembali naik apabila pemerintah China melonggarkan kebijakan nol-Covid19. Kebijakan nol-Covid19 telah menyebabkan terhambatnya peluang proyek yang bisa dijalankan oleh perusahaan luar negeri. Nmmun ia juga mengatakan bahwa melonggatkan kebijakan nol-Covid saja tidak cukup untuk mengembalikan optimisme seperti semula.

Survei juga menyatakan hanya terdapat 17% perusahaan yang sedang mempertimbangkan untuk keluar dari pasar China dalam kurun waktu satu hingga tiga tahun ke depan. Hal ini terjadi karena pasar yang sangat berpotensi dan dukungan Sumber Daya Manusia (SDM) yang membuat perusahaan banyak yang memutuskan untuk bertahan.

Dia menambahkan di masa lalu, saingan utama mungkin adalah China yang didukung negara, tetapi pemain digital swasta kini juga semakin dominan di pasar lokal.

Beijing mendesak industri utamanya untuk menjadi lebih mandiri terutama karena ketegangan dengan Amerika Serikat tumbuh atas kebijakan China terhadap Taiwan, hubungannya dengan Rusia dan, baru-baru ini, upaya AS untuk mencegah transfer teknologi semikonduktor ke perusahaan China.

Selain itu, sementara banyak negara telah melonggarkan pembatasan, China terus memerangi penyebarannya dengan penguncian, pengujian massal, dan karantina, yang turut memukul pertumbuhan ekonomi dan menyebabkan gangguan signifikan pada bisnis.

Stein mengatakan pelonggaran kebijakan Covid akan mampu meningkatkan optimisme, meskipun tidak dapat membawa sentimen kembali ke level tertinggi di masa lalu.

Survei juga menemukan ada 53 perusahaan atau 17% yang mengindikasikan mereka masih mempertimbangkan untuk keluar dari China dalam satu hingga tiga tahun ke depan. 

Sebab, ukuran pasar yang besar, kumpulan bakat yang terampil, serta rantai pasokan yang kuat membuat sebagian besar bisnis masih berkomitmen ke China meskipun ada tantangan. (NIA)

Penulis: Ahmad Dwiantoro

SHARE