Pelajaran dari Krisis Ekonomi Sri Lanka Usai Terima Bailout IMF Rp46 Triliun
Sri Lanka menjadi satu-satunya negara satu-satunya di Asia yang mengalami krisis ekonomi terparah sepanjang 2022 hingga awal 2023 ini.
IDXChannel - Sri Lanka menjadi satu-satunya negara satu-satunya di Asia yang mengalami krisis ekonomi terparah sepanjang 2022 hingga awal 2023 ini.
Dana Moneter Internasional (IMF) telah menyetujui bailout senilai hampir USD3 miliar atau Rp46 triliun untuk Sri Lanka, yang dapat membantu untuk mendapat pinjaman lain senilai hingga USD7 miliar dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB).
Dana talangan tersebut akan digunakan untuk menstabilkan ekonomi dan merestrukturisasi utang Sri Lanka.
Krisis Sri Lanka menyebabkan kekacauan politik yang meluas di negeri tersebut. Pada akhir Maret 2022, terjadi demonstrasi di kediaman pribadi Presiden Gotabaya Rajapaksa untuk memprotes kondisi ekonomi yang memburuk.
Menyusul bentrokan yang meluas antara pengunjuk rasa pro dan anti-pemerintah, Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa yang merupakan kakak dari presiden juga ikut mengundurkan diri.
Kekerasan di seluruh negeri bahkan menyebabkan sembilan orang tewas dan sekitar 300 terluka.
Korban Terparah Kenaikan Suku Bunga dan Perang
Ekonomi negara dengan jumlah penduduk sebanyak 22 juta jiwa itu terpukul akibat adanya kenaikan suku bunga dan perang Rusia-Ukraina yang berlangsung sepanjang 2022.
Menurut bank sentral Sri Lanka, angka inflasi tahunan di negara itu lebih dari 50% dan inflasi pangan mencapai 80%. Regulator listrik negara bahkan juga menaikkan tarif listrik sebesar 75%.
Nilai tukar mata uang rupee Sri Lanka juga terus tergerus terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Padahal, perdagangan internasional membutuhkan dolar sebagai mata uang.
Perang di Ukraina telah memicu harga pangan dan bahan bakar melonjak tajam.
Ini karena untuk memenuhi pasokan bahak bakar, Sri Lanka sangat bergantung pada impor. Namun Sri Lanka kesulitan membayar biaya impor minyak dan gas (migas).
Impor bahan bakar Sri Lanka bahkan mencapai 23% dari total impor dengan nilai mencapai USD3,99 miliar pada 2022.
Sementara itu, inflasi yang meroket dan tingginya suku bunga juga sangat membebani transaksi perdagangan internasional. Kondisi ini menyebabkan Sri Lanka tertatih dalam memenuhi kebutuhan dalam negerinya.
Sri Lanka juga terus mengalami defisit perdagangan sepanjang 2022 dengan nilai defisit terparah di awal tahun lalu mencapai minus USD858,5 juta. Defisit perdagangan ini menurun menjadi USD 410 juta pada Januari 2023. (Lihat grafik di bawah ini.)
Impor telah turun 29,2% year-on-year (yoy) menjadi USD 1,39 miliar, di tengah penurunan pembelian barang modal (-48,6%), barang konsumsi (-39,3%) dan barang setengah jadi (-20%).
Pada saat yang sama, ekspor merosot 11,3% menjadi USD 978 juta, karena penurunan pengiriman produk industri (-12,4%), barang pertanian (-6,6%) dan produk mineral (-15,8%).
Sebagai negara tujuan pariwisata, sektor ini menjadi salah satu penopang ekonomi Sri Lanka. Pada Desember 2019, pariwisata Sri Lanka menghasilkan pendapatan negara sebesar USD450 juta berdasarkan data bank sentral Sri Lanka.
Namun, pandemi Covid-19 membuat sektor pariwisata mati suri, di mana orang-orang dilarang untuk berpergian apalagi untuk berlibur. Pariwisata Sri Lanka menjadi salah satu yang paling terdampak akan kondisi ini.
Pada Desember 2021, bank sentral Sri Lanka melaporkan pendapatan bulanan sektor pariwisata menghasilkan sebesar USD233 juta di tengah upaya pemulihan pasca pandemi.
Pemerintah melakukan pembangunan secara besar-besaran dan banyak berinvestasi pada infrastruktur, seperti jalan dan pelabuhan pasca perang saudara yang berakhir pada 2009.
Dana infrastruktur itu berasal dari utang dan negara itu kini dibebani dengan beban utang sebesar USD51 miliar, termasuk di antaranya sebesar USD6,5 miliar merupakan utang ke pemerintah China.
Dengan dana talangan IMF, perekonomian Sri Lanka diperkirakan akan tumbuh lagi mulai akhir tahun ini dan pemerintah yang baru berharap negara itu akan keluar dari krisis ekonomi pada tahun 2026. (ADF)