ECONOMICS

Pemerintah Prioritaskan Bangun Jaringan Transmisi dengan Harga Kompetitif untuk Genjot EBT

Atikah Umiyani 19/09/2024 19:00 WIB

Pemerintah berupaya menarik lebih banyak investor untuk mengembangkan Energi Baru Terbarukan (EBT), salah satunya pembangunan jaringan transmisi.

Pemerintah Prioritaskan Bangun Jaringan Transmisi dengan Harga Kompetitif untuk Genjot EBT. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Kementerian ESDM terus berupaya menarik lebih banyak investor untuk mengembangkan Energi Baru Terbarukan (EBT). Salah satu caranya yaitu dengan memprioritaskan pembangunan jaringan transmisi dan menawarkan harga yang kompetitif.

Langkah ini dinilai penting untuk mendorong pengembangan EBT yang selama ini terkendala oleh masalah infrastruktur dan keekonomian proyek.

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) menegaskan salah satu tantangan utama dalam pengembangan energi terbarukan, seperti panas bumi, yaitu lamanya proses perizinan dan keterbatasan infrastruktur transmisi. Hal ini menyebabkan investor malas dalam mengembangkan usaha bisnis panas bumi di Indonesia.

"Menunggu selesainya perizinan 5 hingga 6 tahun sejak masa konstruksi akan membuat investor tidak sabar, dan kalau investornya enggak sabar, enggak mungkin mau mengerjakan," ujar Presiden Jokowi dalam sambutannya di acara Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition (IIGCE) ke-10 di Jakarta, Rabu (18/9/2024).

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menambahkan salah satu kendala besar dalam pengembangan EBT di Indonesia yaitu terbatasnya jaringan transmisi yang menghubungkan pembangkit energi terbarukan ke jaringan listrik nasional. 

Meskipun Indonesia memiliki potensi EBT yang besar, pengembangannya sering terkendala karena jaringan listrik yang belum tersedia di lokasi-lokasi potensial. 

"Kemarin tanya kepada Dirut PLN, kenapa ini terjadi jadi ternyata sumber-sumber energi baru terbarukan kita itu besar, namun jaringannya yang belum terkonek. Contoh energi baru terbarukannya ada di Riau, tetapi jaringan listriknya yang belum ada di sana untuk menghubungkannya," tutur Bahlil.

Dia pun meminta PT PLN (Persero) untuk mempercepat pembangunan transmisi guna mendukung distribusi energi bersih dan mengatasi keterbatasan infrastruktur. "Tugas PLN sekarang adalah fokus untuk membangun transmisi, karena kalau tidak nanti transmisi dibangun oleh swasta dan itu melanggar undang-undang kelistrikan," kata dia.

Pemerintah menyadari infrastruktur transmisi merupakan kunci untuk menarik minat investor. Menurutnya, investor akan lebih tertarik jika proyek-proyek EBT tidak terhambat oleh keterbatasan jaringan listrik yang terhubung dengan konsumen.

Selain pembangunan infrastruktur, pemerintah juga menetapkan harga listrik berbasis EBT yang dinilai sudah cukup kompetitif untuk menarik minat investor. Bahlil mengatakan pengembangan proyek EBT kini lebih menguntungkan dengan periode break-even point yang cepat.

"Kemarin saya bersama tim sudah mengecek harga jual EBT, dan kita sudah hitung rata-rata 8-10 tahun break even point, kontraknya 30 tahun jadi 20 tahun panen. Jadi 8-10 tahun itu untuk break-even point. Dengan perhitungan seperti ini, tidak ada alasan lagi pengembangan listrik EBT tidak jalan," ujar Bahlil.

Dengan harga yang sudah ekonomis dan dukungan infrastruktur yang sedang digenjot, pemerintah berharap dapat mengatasi hambatan-hambatan yang selama ini menghalangi pengembangan EBT. Selain itu, proses perizinan yang lama juga akan dipercepat.

"Kami izin kepada Presiden, kami akan memangkas baik dari sisi syarat dan waktu, untuk mendorong teman-teman investor melakukan percepatan-percepatan investasi. Jadi investor tidak perlu ragu, kami akan melakukan reform berbagai langkah-langkah konstruktif dalam rangka percepatan," kata Bahlil.

Ia optimistis melalui upaya tersebut diharapkan dapat menjadi daya tarik bagi investor untuk berpartisipasi dalam pengembangan energi bersih di Indonesia. "Pemerintah juga berkomitmen untuk terus memperbaiki regulasi dan infrastruktur guna mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025 dan net zero emission pada tahun 2060," ujar dia.

(Febrina Ratna)

SHARE