ECONOMICS

Pengamat: Aneh, Pertamax Bukan BBM Subsidi Tapi Dijual di Bawah Harga Pasar

Taufan Sukma/IDX Channel 29/08/2022 12:29 WIB

posisi Pertamax yang merupakan BBM jenis RON 92 keluaran Pertamina dinilai turut menyumbang masalah.

Pengamat: Aneh, Pertamax Bukan BBM Subsidi Tapi Dijual di Bawah Harga Pasar (foto: MNC Media)

IDXChannel - Polemik terus bergulir di masyarakat terkait rencana pemerintah untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Langkah ini dinilai tak terelakkan lagi lantaran harga minyak dunia yang terus meroket, sehingga membuat anggaran subsidi semakin membengkak.

hal ini diperparah dengan masih maraknya praktik pemberian subsidi yang belum tepat sasaran, sehingga kuota BBM subsidi yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat bawah, justru lebih banyak dikonsumsi oleh kalangan menengah ke atas. Pun, posisi Pertamax yang merupakan BBM jenis RON 92 keluaran Pertamina dinilai turut menyumbang masalah lantaran tidak termasuk jenis BBM Subsidi namun turut 'menyedot' anggaran subsidi dari APBN.

"Sesuai putusan MK (Mahkamah Konstitusi) Nomor 002/PUU-I/2003, bahwa BBM adalah cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga harganya tidak boleh diserahkan sepenuhnya ke mekanisme pasar. Harus ada produk BBM yang disubsidi agar tidak sama dengan harga pasar," ujar Direktur Eksekutif Center for Energy Policy, M Kholid Syeirazi, Minggu (28/8/2022).

Atas dasar kebijakan tersebut, maka pemerintah memunculkan produk BBM bersubsidi, seperti minyak tanah, premium (dulu), pertalite (sekarang), solar, dan juga elpiji untuk jenis kemasan tabung tiga kilogram.

"Dari sana kita tahu bahwa Pertamax itu di atas kertas bukan merupakan BBM bersubsidi. Tapi faktanya harga pertamax saat ini masih dijual di bawah harga keekonomian. Pembuktiannya mudah, tinggal bandingkan harga BBM Ron 92 dengan harga BBM sejenis yang dijual SPBU swasta. Selisihnya lumayan (besar) itu," tutur Kholid.

Kondisi inilah, yang menurut Kholid, membuat pemerintah semakin pusing dan berada pada kondisi dilematis. Hal itu lantaran di satu sisi pemerintah masih punya kewajiban memberikan subsidi pada jenis-jenis BBM yang telah ditentukan, namun di lain sebagian dari anggaran subsidi tersebut malah terserap untuk jenis BBM Pertamax yang notabene tidak termasuk jenis BBM yang layak mendapatkan anggaran subsidi.

"Memang praktik subsidi atas barang itu dalam pengalamannya hampir selalu identik dengan penyimpangan. Karena memang tidak mudah. Bayangkan, produk yang sama punya dua harga. Ada solar subsidi, ada solar industri. Jenis dan kualitasnya sama. Elpiji ada yang disubsidi (tabung 3 Kg), ada yang dijual sesuai harga pasar. Logikanya, kalau ada yang murah, kenapa harus beli yang mahal?" keluh Kholid.

Dengan logika seperti itu, menurut Kholid, maka sangat bisa dipahami bila yang terjadi di lapangan pemberian subsidi tidak jatuh ke tangan masyarakat yang berhak, melainkan justru dinikmati oleh kelompok masyarakat kaya yang seharusnya tidak layak mendapatkan subsidi dari pemerintah.

"Praktiknya bisa dengan mudah kita temui di lapangan. Orang kaya tapi pakai elpiji tabung tiga kilogram. Orang punya mobil, mampu beli mobil, pakai BBM-nya pertalite dan biosolar. Pengusaha ikan tangkap, pemilik kapal-kapal besar itu justru tidak beli solar industri tapi menadah solar subsidi," tutur Kholid.

Akibatnya, berdasarkan hasil riset Badan Kebijakan Fiskal (BKF), 60 persen masyarakat terkaya menikmati 79,3 persen BBM subsidi. Sedangkan 40 persen masyarakat golongan bawah hanya mengonsumsi BBM subsidi sebanyak 20,7 persen saja.

Solar subsidi dinikmati 72 persen rumah tangga desil 6 teratas. Sementara masyarakat dengan desil 4 ke bawah hanya menikmati 21 persen. Studi Schuhbauer et al pada tahun 2020 bahkan menyebut solar subsidi hanya dinikmati tujuh persen nelayan skala kecil, dan selebihnya oleh sektor perikanan skala besar.

"Survei KNTI (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia) membuktikan bahwa 38,4 persen nelayan tidak memiliki surat rekomendasi untuk membeli solar subsidi. Lalu 36,2 persen bahkan tidak tahu ada BBM bersubsidi. Sedangkan sisanya 22,2 persen mengaku tidak adapenjual BBM bersubsidi di sekitar lokasinya," papar Kholid.

Rentetan data inilah, menurut Kholid, yang menjadi penyebab utama membengkaknya anggaran subsidi hingga Rp502 triliun untuk tahun ini. Bahkan bila tidak ada kebijakan lain untuk memperbaiki keadaan, diproyeksikan angka subsidi bakal semakin membengkak ke level Rp698 triliun.

"Padahal bila kita terus merelakan dana subsidi sebesar itu 'dibakar' untuk BBM, artinya kita akan kehilangan kesempatan memperbaiki infrastruktur pendidikan, kesehatan, dan ekonomi berbasis pengetahuan," keluh Kholid.

Karenanya, meski terkesan pahit untuk diterima, Kholid menilai bahwa kenaikan harga BBM subsidi tak terelakkan demi menyehatkan kondisi keuangan negara. Langkah tersebut menjadi solusi jangka pendek yang wajib dilakukan, sembari pemerintah juga harus menjalankan solusi jangka menengah dan juga jangka panjang.

"Untuk jangka menengah, kita harus menata sistem administrasi untuk memastikan subsidi tepat sasaran. Syaratnya kita harus punya SIN (Single Identity Number) yang andal. Langkah Pertamina merilis aplikasi MyPertamina adalah transisi untuk memastikan BBM subsidi tepat sasaran. Sedangkan jangka panjang, kita harus punya roadmap matang untuk segera berpindah dari energi mahal ke energi murah dan bersih," tegas Kholid. (TSA)

SHARE