Pengusaha Sebut Tiga Kebijakan Prioritas Ini Bisa Bantu Pemerintah Atasi Deflasi
Fenomena deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut di Indonesia perlu dikaji dari dua sudut pandang ekonomi.
IDXChannel - Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani menilai fenomena deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut di Indonesia perlu dikaji dari dua sudut pandang ekonomi, yaitu sisi permintaan (demand) dan sisi penawaran (supply). Dengan begitu, bisa terlihat kesimpulan yang lebih komprehensif.
Ajib menuturkan, dari sisi permintaan, indikator-indikator ekonomi menunjukkan daya beli masyarakat sedang menurun. Hal ini terungkap dari data yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang menyebutkan pajak kelas menengah terus mengalami penurunan, hanya sekitar 1 persen dari penerimaan pajak secara agregat.
Sedangkan dari sisi penawaran, kata dia, data ekonominya juga menunjukkan tekanan, yaitu dari data Purchase Managers' Index (PMI), yang menjadi gambaran kondisi bisnis di sektor produksi barang. Tercatat, sejak April 2024, PMI terus mengalami penurunan, dan bahkan sejak Juli 2024 mengalami konstraksi, yaitu indikator PMI yang turun di bawah 50.
"Daya beli masyarakat yang menjadi faktor konsumsi ini menjadi penopang signifikan pertumbuhan ekonomi, sehingga pemerintah harus cepat memberikan insentif tepat sasaran agar daya beli kembali terjaga," ujarnya kepada IDXChannel, Jakarta, Senin (7/10/2024).
Lebih lanjut dia menerangkan, paling tidak ada tiga hal utama yang perlu menjadi prioritas kebijakan. Pertama adalah kebijakan fiskal.
Menurutnya, kuartal keempat ini menjadi landasan perekonomian Indonesia yang akan memasuki tahun 2025, di mana pemerintah mempunyai ruang fiskal yang begitu sempit untuk bisa menggunakan kebijakan fiskal sebagai pengatur perekonomian, karena pemerintah membutuhkan dana yang besar untuk kebutuhan APBN.
Ajib bilang, kondisi ini yang kemudian menimbulkan kebijakan kontraproduktif terhadap perekonomian dan daya beli.
"Contohnya adalah narasi dan kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada tanggal 1 Januari 2025. Kondisi ini tentunya perlu dipertimbangkan ulang oleh pemerintah, karena masih banyak opsi lain dalam menambal keuangan negara tanpa membebani masyarakat luas," kata dia.
Kedua, lanjut Ajib, kebijakan moneter. Pada September 2024, Bank Indonesia (BI) sudah melakukan penyesuaian tingkat suku bunga acuan menjadi 6 persen.
Dia menilai, dunia usaha berharap pada kuartal IV-2024 ini, BI kembali melakukan penyesuaian, misalnya diturunkan 25 basis poin. Sebab, dengan tingkat suku bunga acuan di bawah 6 persen, maka potensi likuiditas akan lebih banyak mengalir di sistem perekonomian indonesia.
"Dan daya beli masyarakat akan mengalami kenaikan ketika kemudian perbankan juga mengikuti dengan menurunkan suku bunga kreditnya," ujar dia.
Ketiga adalah kebijakan investasi yang lebih berkualitas dan mampu menyerap tenaga kerja. Hal ini sejalan dengan konsep ekonomi yang masuk dalam Program Asta Cita pemerintahan Prabowo, yaitu penyediaan lapangan pekerjaan. Penyediaan lapangan kerja yang masif ini menjadi prasyarat agar pertumbuhan ekonomi bisa eskalatif di masa selanjutnya.
"Pengangguran yang menyentuh angka 7 juta orang perlu diserap dengan kebijakan investasi yang padat karya," ujarnya.
Secara umum, jelas Ajib, kondisi perekonomian tahun 2024 mengalami fluktuasi yang harus dimitigasi dengan baik oleh pemerintah. Kuartal pertama, pertumbuhan ekonomi cukup agresif di angka 5,11 persen.
Kuartal kedua mengalami penurunan menjadi 5,05 persen. Kemudian pada kuartal ketiga, perkiraan tidak akan lebih baik dari kuartal kedua.
"Kuartal keempat menjadi momentum pertumbuhan ekonomi lebih agresif dengan momentum pilkada serentak ini. Sehingga target asumsi dasar ekonomi makro dalam APBN 2024 yang mematok target pertumbuhan ekonomi 5,2 persen secara agregat bisa tercapai," kata Ajib.
(Dhera Arizona)