ECONOMICS

Pengusaha Tekstil Sebut PP Pengupahan Bisa Jadi Pisau Bermata Dua, Ini Sebabnya

Dhera Arizona Pratiwi 19/12/2025 15:15 WIB

Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mendorong pemerintah untuk mengawasi implementasi PP Nomor 49 tahun 2025 tentang Pengupahan.

Pengusaha Tekstil Sebut PP Pengupahan Bisa Jadi Pisau Bermata Dua, Ini Sebabnya. (Foto Istimewa)

IDXChannel - Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mendorong pemerintah untuk mengawasi implementasi PP Nomor 49 tahun 2025 tentang Pengupahan. Sebab, PP ini bisa menjadi pisau bermata dua yang membahayakan pihak pekerja dan pihak dunia usaha.

Menurut API, PP yang dikeluarkan pada 17 Desember 2025 tersebut bisa menjadi pisau bermata dua yang bisa melukai kedua belah pihak yaitu kalangan buruh sekaligus kalangan dunia usaha. Meskipun dalih yang digunakan pemerintah adalah menjaga daya beli pekerja atau buruh, namun pemerintah seharusnya juga menjaga daya tahan dunia usaha.

”Jadi, pada intinya, menjaga daya beli pekerja adalah penting, namun daya tahan dunia usaha juga harus diperhatikan. Karena pada dasarnya, pemberi kerja adalah dunia usaha, bukan pemerintah secara langsung, sehingga kalau pemerintah hanya memperhatikan kepentingan pekerja atau buruh secara sepihak, maka dunia usaha akan tidak mampu bertahan dan akhirnya mengurangi jumlah pekerja dan kemudian dampaknya pastilah pemutusan hubungan kerja serta penyerapan tenaga kerja semakin merendah,” ujar Direktur Eksekutif API Danang Girindrawardana dalam keterangannya, Jumat (19/12/2025).

Dia menuturkan, pengaturan pengupahan di Indonesia tidak membedakan jenis industri. Padahal, sektor padat karya dan sektor padat teknologi adalah dua dimensi yang berbeda.

Sektor padat karya menampung pekerja dalam jumlah besar dan lentur dengan ketersediaan tenaga kerja berpendidikan rendah menengah. Sedangkan sektor padat teknologi membutuhkan tenaga kerja selektif berpendidikan tinggi dan dalam jumlah yang lebih sedikit.

"Karena itu, semestinya saat ini pemerintah bisa menerbitkan kebijakan yang berbeda untuk sektor yang berbeda. Hal ini tetap akan bisa dilakukan tanpa mengesampingkan kesejahteraan pekerja,” katanya.

Terkait dengan industri padat karya tekstil dan garmen, secara khusus Danang menyampaikan kekhawatiran massal dari para pengusaha tekstil dan garmen.

Setidaknya ada tiga hal yang harus benar-benar dipertimbangkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo.

Pertama, pada tahun lalu pemerintah sudah menerbitkan kebijakan kenaikan upah pekerja sebesar 6,5 persen. Menurut Danang, itu sudah mengakibatkan keruntuhan beberapa industri tekstil dan garmen skala nasional.

"Apalagi ditambah kenaikan nanti pada tahun 2026, berapa lagi korban industri tekstil dan garmen yang akan berjatuhan? Korban pertama adalah para pekerja, alih alih mendapatkan kenaikan pendapatan, justru malah kehilangan mata pencaharian," kata dia.

Kedua, produk-produk tekstil dan garmen dari impor akan semakin merajalela di pasar domestik. Hal ini akan menghantam produk industri padat karya dalam negeri karena akan terjadi predatory pricing yang tidak akan mampu dikontrol pemerintah. 

Produsen tekstil dan garmen akan secara alami terdorong untuk mengurangi kerugian dari dampak kenaikan biaya produksi dan banjir importasi barang jadi.

Ketiga, terkait penggunaan alfa sebagai amanat PP 46 tahun 2025 dengan rentang nilai alpha (α) sebesar 0,5-0,9 itu didelegasikan kepada gubernur dan masukan bupati dan wali kota.

Dia menerangkan, hal delegatif ini akan mengakibatkan terjadinya lagi potensi politisasi upah menjadi bagian politik praktis demi kekuasaan, bukan benar benar dilandasi kepentingan pertumbuhan iklim investasi dan ekonomi.

"Artinya, pemerintah pusat masih gamang menetapkan kebijakan nasional yang kokoh dalam politik pembangunan ekonomi negara," ujarnya.

Tiga hal tersebut, menurut Danang perlu mendapatkan atensi setulusnya dari berbagai kalangan, termasuk pemerintah dan pekerja. 

Dia menegaskan, kepentingan nasional adalah menciptakan iklim investasi, serapan tenaga kerja dan diiringi pertumbuhan ekonomi yang mampu menyejahterakan semua kalangan masyarakat, baik pekerja maupun pengusaha.

"Dalam forum tripartit nasional, dunia usaha sudah mengusulkan agar nilai alpha (α) berada pada kisaran 0,1 hingga 0,5, hal ini sudah memperhatikan kepentingan pekerja," ujar Danang.

"Lagipula, kenaikan upah meskipun diarahkan kepada pekerja tahun pertama, pasti akan dibarengi dengan kenaikan upah sundulan berdasarkan skala SUSU (Struktur dan Skala Upah), dan kenaikan upah pasti dibarengi dengan kenaikan tunjangan wajib misalnya BPJS yang saat ini masih berdasarkan prosentase penghasilan. Jadi, tambahnya beban perusahaan tidak hanya dari kenaikan upah, tetapi kenaikan-kenaikan lain yang diakibatkannya," kata dia.

(Dhera Arizona)

SHARE