Peternak Unggas Rugi Rp5,4 triliun Sejak 2019, Ini Penyebabnya
Peternak ayam mengalami kerugian hingga Rp5,4 triliun sejak 2019 hingga 2022.
IDXChannel - Anggota Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia Parjuni mengatakan, peternak ayam mengalami kerugian hingga Rp5,4 triliun sejak 2019 akibat anjloknya harga ayam di pasar.
Menurut Parjuni, kerugian itu banyak dialami oleh para peternak mandiri. Sebab Harga Pokok Produksi (HPP) ayam milik peternak mandiri sebesar Rp19.000, sedangkan di pasar hanya dihargai Rp16.000/kg untuk ayam hidup.
"Pada 2019, secara total untuk peternak mandiri saja itu hampir Rp2 triliun, ada covid saja sudah rugi sekitar Rp1 triliun, hingga akhir 2022 kemarin ruginya sekitar Rp5,4 triliun," kata Parjuni usai melakukan demonstrasi di Komnas HAM, Senin (13/3/2023).
Parjuni menjelaskan, beberapa tahun kebelakang, misalnya dari 2019 hingga 2022, harga jual ayam peternak tidak pernah lebih tinggi dari HPP peternak.
Padahal jika mengacu pada Permendag Nomor 07 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen, harga yang ada cukup mepet dengan HPP peternak yaitu Rp19.000-Rp21.000 per kg untuk ayam hidup ditingkat peternak.
Sedangkan untuk peternakan milik perusahaan besar, dikatakan Parjuni mereka masih bisa mengambil untung, sebab memiliki HPP yang lebih rendah yaitu Rp16.000/kg. Menurutnya hal itu disebabkan karena peternakan besar bisa memproduksi bibit sendiri, sedangkan peternak mandiri harus beli sendiri.
Bahkan setiap satu ekor ayam yang di panen, para peternak harus menanggung kerugian sebesar Rp3.000/ekor. Hal itu yang juga dirasakan langsung oleh Parjuni. Peternak asal Karanganyar dan Sragen itu setidaknya sudah 8 bulan kerap mengalami kerugian.
"Pada 2022 Agustus sampai dengan hari ini, itu peternak rugi per ekor sampai Rp3 ribu, jadi kalau misal saya punya populasi 100 ekor itu, saya rugi setiap bulan Rp300 juta, selama 8 bulan, itu untuk saya saja," pungkasnya.
Kerugian itu karena harus menyesuaikan harga ayam di pasaran yang dibentuk oleh peternakan besar. Padahal menurut Parjuni perusahaan besar itu seharusnya cukup menjadi supplier produsen olahan unggas, tidak perlu membanjiri pasar tradisional, yang bisa di isi oleh produk milik peternak mandiri.
"Kita rugi karena harganya dibawah pasar dan yang menguasai pasar perusahaan besar itu, kami tidak memiliki pasar," pungkasnya.
(DES)