PHK Pekerja Digital, Waspada ‘Hysteresis’ hingga Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi Internet
Indonesia di satu sisi kekurangan talenta digital, tapi di sisi lain banyak tenaga kerja digital yang kena PHK.
IDXChannel - Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) mendera beberapa perusahaan digital unggulan RI. Fenomena layoff perusahaan teknologi ini kian marak terjadi akhir-akhir ini.
PT Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) secara resmi telah melakukan PHK pada Jumat (18/11/2022). Dilansir dari pernyataan resmi perusahaan, pihak GOTO mengurangi sejumlah 1.300 karyawan. Jumlah tersebut mencapai 12% dari total karyawan tetap GOTO Group.
"Kami harus fokus pada hal-hal yang berada dalam kendali perusahaan," tulis manajemen, dalam keterangan resmi tersebut.
Tak lama berselang, startup edutech (education technology) Ruangguru secara resmi juga umumkan PHK kepada ratusan karyawannya di hari yang sama.
"Hari ini Ruangguru melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan sebagian pegawai Ruangguru. Terdapat ratusan pegawai Ruangguru yang terdampak dari pemutusan hubungan kerja ini," tulis keterangan Corporate Communications team yang diterima MNC Portal, Jumat (18/11/2022).
Sebelumnya, Zenius, competitor Ruangguru juga melakukan PHK terhadap 200 karyawan mereka pada pertengahan tahun ini.
Shopee Indonesia juga mengumumkan PHK sejumlah karyawan perusahaan pada Senin (19/9). Sebanyak 3 persen karyawan perusahaan e-commerce ini dirumahkan.
Menurut data iPrice, jumlah karyawan perusahaan milik Sea Grup itu di Indonesia sebanyak 6.232 orang. Maka ada sebanyak 187 pegawai yang terdampak PHK. (Lihat grafik di bawah ini.)
Sementara itu, hanya dalam waktu enam bulan, perusahaan induk Shopee, Sea Ltd, juga melakukan PHK 7.000 pegawai yang mencakup 10% dari tenaga kerjanya.
Seorang bekas pekerja Ruangguru yang tak disebutkan namanya mengaku ingin beranjak ke luar dari pekerjaan industri startup karena dinilai masih belum stabil dalam menghadapi tantangan ekonomi.
"Udah kapok saya (di startup)," katanya kepada MNC Portal Indonesia, Rabu (23/11/2022).
Perempuan yang bekerja sebagai desain grafis lebih dari tiga tahun itu menyebut prestasi dan loyalitas tidak menjamin keberlangsungan karirnya di bekas perusahaannya.
Secara spesifik, dia menyebut Ruangguru masih kesulitan dalam memprediksi perkembangan pasar, sehingga berdampak terhadap kondisi internal, termasuk tenaga kerja.
Tak hanya di tataran lokal saja, sektor tekno sedang mengalami guncangan yang mendorong mereka melakukan PHK. Di Amerika Serikat, Amazon, hingga Meta, induk Facebook juga melakukan kebijakan PHK.
Terbaru, badai PHK menghampiri Alphabet, perusahaan induk Google yang akan merumahkan sekitar 10 ribu karyawan yang berperforma buruk.
Banyak tenaga kerja digital yang akhirnya menganggur dengan adanya keputusan ini. Kondisi ini dikhawatirkan akan berdampak pada pelemahan keahlian digital hingga ancaman terhadap pertumbuhan ekonomi digital di masa depan.
Paradoks Pekerja Digital, Penting tapi di-PHK
“The future of work will be a race between education and technology.” (Masa depan pekerjaan bakal menjadi perlombaan antara pendidikan dan teknologi.)
Begitulah kata Mauricio Macri, President of Argentina 2015-2019 dalam presidensi G20 Argentina 2018.
Artinya, perkembangan teknologi harus dibarengi dengan kesempatan pendidikan dan lapangan pekerjaan yang memadai untuk banyak talenta dan pekerja digital. Mengingat teknologi juga masih akan membutuhkan peran manusia di dalamnya.
Sayangnya, PHK di sektor digital menyebabkan para pekerja ini rentan kehilangan keahlian. Jika ekosistem bisnis digital terus-terusan terpuruk akibat ketidakpastian ekonomi global, maka para pekerja sektor ini berpotensi tidak dapat menyalurkan bakat digitalnya.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, hal ini berpotensi menimbulkan hysteresis atau pelemahan keahlian. Ia menilai tenaga kerja di bidang digital ini tak boleh menganggur terlalu lama.
"Karena korban PHK digital yang notabene adalah high-skilled worker (keahlian tinggi)," ujar Bhima, Senin, (21/11).
High-skilled worker ini memiliki peran penting dalam perekonomian. Jenis pekerja ini membantu mendorong pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia, menurut studi oleh OECD berjudul International Mobility of the Highly Skilled.
Sejak tahun 1970, pertumbuhan ekonomi AS didorong oleh salah satunya oleh High-skilled worker.
Sebanyak 75% pertumbuhan ekonomi negeri Paman Sam didorong oleh peningkatan produktivitas dan keterampilan pekerja, hingga pergeseran teknologi.
Perubahan ini juga secara mendasar terkait dengan kualitas tenaga kerja. Akibat adanya peningkatan tingkat pendidikan, upaya penelitian dan pengembangan yang inovatif, keterampilan kewirausahaan, dan keahlian digital.
Di Indonesia, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate mengatakan Tanah Air tengah menghadapi kebutuhan sumber daya manusia (SDM) andal di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) pada April tahun 2021 lalu.
Ironi berlanjut di mana PHK yang menimpa para pekerja digital ini memperburuk keadaan. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga, Indonesia di satu sisi kekurangan talenta digital, tapi di sisi lain banyak tenaga kerja digital yang kena PHK.
Merujuk data Bank Dunia, Johnny menjelaskan Indonesia tengah mengalami kesenjangan talenta digital atau digital talent gap yang meluas.
Penilaian bersama tahun 2018 oleh Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia menyoroti kekurangan keterampilan yang kritis di puluhan posisi manajerial dan profesional yang penting untuk inovasi teknologi, seperti arsitek solusi cloud dan desainer UI/UX.
Kekurangan bakat untuk pengembangan produk dan layanan baru telah mendorong platform digital untuk mencari kemampuan R&D di tempat lain.
Misalnya, GoJek telah mendirikan divisi Litbang dengan mengakuisisi tiga perusahaan teknologi India. Sementara pesaingnya Grab, juga telah mendirikan pusat Litbang di India karena alasan serupa.
“Indonesia membutuhkan sembilan juta talenta digital dalam 15 tahun atau rata-rata 600 ribu talenta digital per tahun,” ujar Johnny.
Kondisi ini menyebabkan ancaman bagi ekonomi ke depan. Kekurangan talenta digital diramalkan akan berdampak pada pertumbuhan PDB kumulatif sebesar USD11,5 triliun dalam sepuluh tahun ke depan di ekonomi negara G20.
Angka ini setara dengan kehilangan lebih dari satu poin persentase dari rata-rata tingkat pertumbuhan tahunan selama periode tersebut. (Lihat grafik di bawah ini.)
Jika persoalan digital talent gap tidak segera ditangani, maka akan berdampak bagi ekosistem industri tekno ke depan.
Kondisi Ekonomi Digital, Cerah Tapi Berpotensi Tersendat
Adopsi digital terus meningkat bahkan hingga hari ini. Meskipun kondisinya kian melambat jika dibandingan dengan puncak pandemi.
Beberapa negara ekonomi utama di Asia Tenggara mulai kembali ke kondisi normal sebelum pandemi.
Sementara angin yang mengguncang ekonomi global mulai bertiup. Kondisi ini mengancam gagalnya pemulihan ekonomi pasca pandemi Covia-19.
Kenaikan suku bunga dan tekanan inflasi yang tinggi juga berdampak signifikan pada permintaan konsumen, khususnya sektor utama yang menjadi inti ekonomi digital.
Laporan e-Conomy SEA 2022 menyebutkan, 'dekade digital' di kawasan Asia Tenggara baru saja dimulai.
Terlepas dari hambatan ekonomi makro ini, ekonomi digital Asia Tenggara tetap berada di jalur yang tepat dengan nilai pendapatan kotor USD200 miliar nilai GMV pada tahun 2022. Angka ini ditaksir bertumbuh 20% year-on-year (YoY). (Lihat grafik di bawah ini.)
Faktanya, ini setara dengan target tiga tahun lebih awal dari yang diperkirakan dalam laporan e-Conomy SEA 2016.
Jalan untuk mencapai pertumbuhan GMV lebih dari USD300 miliar pada tahun 2025 bergantung pada bentuk pemulihan di tengah ketidakpastian saat ini. Kondisi ini bergantung pada fundamental ekonomi Asia Tenggara.
Sementara Indonesia menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi digital tercepat di Asia Tenggara.
Ironisnya, hampir sebagian besar startup yang melakukan PHK massal di RI merupakan ‘Pandemic Darling’ atau perusahaan yang meraup kenaikan GMV atau Gross Merchandise Value selama puncak pandemi 2020-2021.
Karena valuasinya tinggi, maka mereka dipersepsikan mudah mencari pendanaan baru. Faktanya agresifitas ekspansi perusahaan digital ternyata saat ini tidak sebanding dengan kucuran dana investor.
“Banyak investor terutama asing menjauhi perusahaan dengan valuasi tinggi tapi secara profitabilitas rendah, atau model bisnis nya tidak sustain (berkelanjutan),” ujar Bhima.
Kini, jelas saja pengangguran di sektor digital akan kian bertambah akibat serangkaian PHK yang terjadi. Meskipun ekonomi digital tumbuh, tentu tidak akan ada artinya jika para bakat digital harus kehilangan keahlian akibat terlalu lama menganggur.
Apa Yang Dibutuhkan Pekerja Digital?
Dalam laporan Bank Dunia berjudul Beyond Unicorns: Harnessing Digital Technologies for Inclusion in Indonesia pada 2021 mengatakan, Indonesia saat ini tidak mengatur kondisi kerja dan kontrak platform digital dan pekerjanya.
Sehingga para platform itu sendiri yang mengatur kondisi kerja melalui perjanjian sesuai standar mereka.
Namun, seiring pertumbuhan ekonomi digital, dan semakin banyak pekerja memasuki pengaturan kerja ini, Indonesia mungkin perlu mengatur bentuk pekerjaan ini untuk memberikan perlindungan yang dibutuhkan pekerja.
Menurut studi Hardvard Business Review (HBR), serangkaian PHK massal yang baru-baru ini terjadi di Silicon Valley, termasuk pemecatan puluhan ribu pekerja Amazon dan Meta, telah menciptakan peluang luar biasa bagi perusahaan yang kekurangan bakat digital.
PHK saat ini telah menciptakan peluang besar bagi perusahaan konvensional. Dengan merekrut dan mempekerjakan mantan jajaran perusahaan digital terkemuka dunia, mereka dapat memperoleh akses ke bakat baru di pasar yang kurang kompetitif.
“Bakat ini dapat membantu mengubah model bisnis mereka yang stagnan menjadi model yang gesit secara digital, untuk mempersiapkan lingkungan bisnis yang semakin bergejolak,” kata laporan ini dikutip Kamis, (24/11).
Diperlukan tindakan untuk memastikan bahwa talenta digital Indonesia, terutama yang rentan PHK, dapat mengakses berbagai kesempatan pekerjaan baru. Tidak hanya di sektor bisnis digital, tapi juga bisa ditempatkan untuk perusahaan konvensional. (ADF)