Polusi Rugikan Negara hingga Rp14,7 T, Dewan Proper KLHK: Menyesatkan
informasi tersebut cenderung menyesatkan masyarakat awam, terutama yang belum memahami penggunaan teknologi satelit.
IDXChannel - Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) merilis Penilaian dampak kesehatan (health impact analysis/HIA) terhadap kerugian ekonomi dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya di Banten mencapai USD1,08 miliar, atau sekitar Rp14,7 triliun per tahun.
Menurut Dewan Proper Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Agus Pambagio, klaim atas asumsi kerugian negara tersebut sangat tendensius, sehingga patut diduga merupakan bagian dari agenda setting untuk kepentingan bisnis semata.
"Ya namanya dia (CREA) jualan, pasti memakai agenda setting. Dengan cara mem-publish di media massa tentang dampak polusi udara, maka akan terbentuk citra di masyarakat bahwa seolah-olah kerugian akibat polusi udara itu benar. Padahal bisa saja tidak seperti itu," ujar Agus, Rabu (14/9/2023).
Menurut Agus, studi dari CREA tersebut tidak memiliki dasar yang kuat. Karenanya, Agus menilai bahwa informasi tersebut cenderung menyesatkan masyarakat awam, terutama yang belum memahami penggunaan teknologi satelit.
"Masih banyak lagi lembaga yang berkedok penelitian, tapi sebenarnya mereka produsen alat atau software dan ingin produknya dibeli oleh pemerintah Indonesia," tutur Agus.
Agus menjelaskan, organisasi CREA terlalu memaksakan bahwa penyebab buruknya cuaca di Jabodetabek semata-mata disebabkan oleh keberadaan PLTU. CREA disebut Agus berulang kali merilis pernyataan demikian.
"Karena kalau PLTU yang disosialisasikan, maka akan menghasilkan bisnis besar di Indonesia. Padahal pemerintah dalam Ratas (Rapat Kabinet Terbatas) sudah mengatakan bahwa penyebab buruknya udara di Jabodetabek adalah karena kendaraan bermotor. Bukan PLTU," tutur Agus.
Untuk mengetahui kondisi polusi udara di wilayah Indonesia, khususnya di Jabodetabek, masyarakat disebut Agus bisa mengakses aplikasi bernama ISPUnet dari KLHK. Melalui aplikasi ISPUnet masyarakat bisa mengetahui kondisi kualitas udara setiap saat.
"Memang belum sempurna, karena di wilayah DKI Jakarta hanya enam titik pemantauan. Tapi ISPUnet sudah dapat diandalkan, tanpa perlu harus membeli peralatan atau teknologi impor yang mahal, namun belum mendapatkan sertifikat SNI. Ditambah lagi kandungan TKDN-nya juga rendah," tegas Agus. (TSA)