ECONOMICS

Powell Diusung Pimpin The Fed Lagi, Ini Dampaknya Buat Indonesia

Dinar Fitra Maghiszha 23/11/2021 18:53 WIB

Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, kembali menominasikan Jerome Powell untuk menjadi Gubernur Bank Sentral/The Federal Reserve untuk masa jabatan empat tahun.

Powell Diusung Pimpin The Fed Lagi, Ini Dampaknya Buat Indonesia. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, kembali menominasikan Jerome Powell untuk menjadi Gubernur Bank Sentral/The Federal Reserve untuk masa jabatan empat tahun ke depan. Biden yakin pemulihan ekonomi dan lonjakan inflasi dapat diatasi Powell.

Sebagai kader dari Partai Republik, Powell juga dinilai mampu mengatasi gejolak ekonomi yang saat ini menekan Negeri Paman Sam seperti perubahan iklim, gangguan pasokan, naiknya harga energi terutama minyak mentah, hingga melambungnya batas utang (debt ceiling).

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira meyakini penunjukkan kembali Powell dapat mengurangi gemuruh sentimen di pasar global saat ini.

"Penunjukan kembali Jerome Powell setidaknya mengurangi turbulensi di pasar. Pelaku usaha tidak perlu mengkhawatirkan ketidakpastian kebijakan bank sentral AS. Saat ini efek dari kenaikan inflasi di AS, gangguan rantai pasok, naiknya harga minyak serta batasan utang (debt ceiling) sudah membuat investor khawatir kepastian pemulihan global. Setidaknya Powell mengambil satu poin kekhawatiran tersebut," kata Bhima kepada MNC Portal Indonesia, Selasa (23/11/2021).

Bhima menilai di bawah kepemimpinan Powell, agenda pengurangan pembelian aset atau tapering off dapat berjalan lebih mulus dan mampu meredam implikasi gejolaknya ke negara berkembang.

Sebagai catatan, Powell dan para pejabat Fed sebelumnya meyakini tingkat inflasi di AS hanya bersifat sementara. Hal ini menurut Bhima memberi sinyal kuat bahwa penyesuaian suku bunga -untuk merespons inflasi- dapat ditunda hingga tahun depan.

"Terkait kenaikan suku bunga The Fed apakah bisa lebih cepat dari perkiraan awal? Powell masih cukup yakin kenaikan inflasi hanya temporer, sehingga penyesuaian suku bunga bisa lebih ditunda hingga 2022," lanjutnya.

Lantas, bagaimana dampaknya terhadap dapur perekonomian Republik Indonesia?

Pada penutupan pasar sore ini, nilai mata uang Rupiah mengalami tekanan -8 poin di level Rp14.258, sejalan dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang ditutup terpuruk -0,68% di 6.677,876.

Namun, pelemahan keduanya sore ini bukanlah suatu sinyal yang dapat semakin memperburuk pasar mengingat sejumlah sentimen makro dalam negeri masih menjadi jangkar penyangga perekonomian domestik.

"Tentu efek penunjukkan Powell tetap dicermati dampaknya terhadap Indonesia. Stabilitas nilai tukar rupiah masih mungkin alami tekanan, meski sementara ini hanya kecil," tutur Bhima sembari memberikan saran kepada pemerintah dan pelaku usaha untuk mengambil kesempatan ini.

Menurut Bhima, masa jeda antara tapering off dengan kenaikan suku bunga dari Fed dapat menjadi pemacu pertumbuhan kredit. Hal ini perlu dilihat sebagai kesempatan yang baik bagi pemerintah dan pengusaha.

"Sebelum bunga pinjaman menjadi lebih mahal, bank harus menyalurkan pinjaman secara agresif ke sektor-sektor penghasil devisa seperti perkebunan, dan industri pengolahan. Dengan pertumbuhan ekspor yang lebih baik, cadangan devisa bisa diandalkan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah apabila gejolak besar terjadi pada 2022," tegasnya.

Bhima memberikan usulan taktis memanfaatkan momentum tersebut seperti, diantaranya dengan mendorong peningkatan devisa hasil ekspor (DHE) yang lebih besar ke Rupiah dan masuk ke rekening bank dalam negeri.

"Perusahaan yang mendapatkan windfall kenaikan harga batubara, dan CPO sebaiknya didorong percepat konversi DHE-nya untuk menambah supply valas," ucapnya.

Di samping itu, peningkatan laju invetasi langsung atau FDI, terang Bhima perlu ditingkatkan untuk sektor-sektor usaha produktif seperti industri manufaktur, konstruksi dan pertanian.

"Semakin besar porsi FDI nya maka daya tahan fundamental ekonomi jauh lebih baik. BI juga perlu lakukan pengawasan ekstra terhadap risiko gagal bayar utang luar negeri (ULN) swasta, terlebih utang valas yang belum dilakukan hedging atau lindung nilai," tutup Bhima. (TYO)

SHARE