ECONOMICS

Produksi Berlimpah, Pemerintah Dinilai Tak Perlu Larang Ekspor Listrik EBT

Rizky Fauzan 11/10/2022 10:33 WIB

dengan mengekspor listrik EBT, Fabby menilai hal itu secara tidak langsung bakal dapat mendorong kematangan (maturity) dari pasar EBT nasional.

Produksi Berlimpah, Pemerintah Dinilai Tak Perlu Larang Ekspor Listrik EBT (foto: MNC Media)

IDXChannel - Wacana larangan ekspor terhadap listrik yang bersumber dari energi baru terbarukan (EBT) sempat mencuat ke publik dalam beberapa waktu terakhir. Namun sejauh ini belum ada kepastian dari pemerintah terkait penerapan kebijakan tersebut.

Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, pemerintah tidak perlu melakukan pelarangan atas aktivitas ekspor listrik EBT. Pandangan tersebut menurut Fabby didasarkan pada kondisi faktual yang ada di lapangan, di mana sumber daya EBT yang tersedia di Indonesia relatif sangat berlimpah.

Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, Indonesia memiliki potensi listrik dari EBT sebesar 3.600 gigawatt (GW). Angka tersebut sangat cukup, bahkan relatif berlebih, karena target pengembangan pembangkit EBT hanya 700 GW hingga tahun 2060 mendatang.

Selain itu, dengan mengekspor listrik EBT, Fabby menilai hal itu secara tidak langsung bakal dapat mendorong kematangan (maturity) dari pasar EBT nasional, yang selama ini hanya bergantung kepada PLN sebagai single offtaker.

"Kalau mau mengembangkan EBT tergantung kepada PLN bisa beli atau enggak, dan ini jadi masalah. Kenapa jadi lambat? Karena PLN tidak mampu beli EBT. Alasannya mahal, macam-macam," ujar Fabby, dalam keterangan resminya, Senin (10/10/2022).

Karena itu, Fabby meminta jika ada negara lain yang ingin membeli pasokan listrik EBT, pemerintah tidak melakukan pelarangan, karena selain dapat mendatangkan keuntungan, juga dapat mendongkrak kematangan pasar EBT, sekaligus juga bisa meningkatkan pertumbuhan pasar.

"Selain itu jika ada larangan, malah bisa saja membuat para investor melihatnya sebagai risiko berinvestasi EBT di Indonesia," tutur Fabby.

Dengan menurunkan risiko berinvestasi tersebut, menurut Fabby, maka biaya atau financing cost dari investasi di sektor tersebut juga bisa lebih rendah.

"Kalau (biaya investasi) lebih rendah maka PLN sebenarnya juga diuntungkan, karena dia bisa dapat pinjaman dengan bunga yang lebih rendah, dan nanti harga listriknya dari EBT di lain waktu juga akan jauh lebih rendah," ungkap Fabby.

Dicontohkannya, pada 2019 lalu Singapura pernah mendeklarasikan rencana 25 persen bauran energi, atau setara 4 GW di tahun 2035, akan berasal dari EBT. Salah satu upayanya adalah dengan membuka lelang proyek EBT di Indonesia.

Lelang tersebut berbuah nota kesepahaman (MoU) perusahaan EBT Singapura, Sunseap Group, akan membangun PLTS di Kepulauan Riau (Kepri) pada 2021 lalu. Proyek tersebut berkapasitas 7 gigawatt-peak (GWp), termasuk PLTS terapung sebesar 2,2 GWp yang akan dibangun di pulau Batam.

Fabby mengatakan, proyek tersebut sangat potensial untuk pengembangan EBT di Indonesia di tengah kondisi kelebihan pasokan atau oversupply listrik PLN yang menghambat penyerapan listrik EBT.

"Sekarang kita belum mampu akselerasi EBT karena masih over capacity, dalam 2-3 tahun ini ya biarin saja ekspor ke Singapura, dan Singapura butuh 4 GW. Kalau Indonesia bisa ekspor 2 GW, masuk separuhnya saja, itu bisa menumbuhkan itu dan menurut saya ada cascading effect ke market kita, biaya investasi bisa turun, risiko turun, dan ujungnya PLN juga yang senang," papar Fabby.

Sebagaimana diketahui, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, mengungkapkan pemerintah akan memastikan ketersediaan pasokan listrik dari EBT cukup terlebih dahulu di dalam negeri, sehingga tidak akan diekspor.

Walaupun menutup keran ekspor EBT, Bahlil memastikan Indonesia tidak akan tertutup dari investasi asing untuk membantu pengembangan EBT di daerah mana pun Indonesia. Sebab, yang penting adalah pasokan EBT bisa melimpah.

"Silakan investasi, di Kepri monggo, tetapi kita belum terpikir untuk mengekspor energi baru terbarukan kepada negara mana pun. Karena kita akan pakai dulu di dalam negeri, cukup dulu, silakan kalau berinvestasi dalam negeri," ungkap Bahlil saat Road to G20 Investment Forum. (TSA)

SHARE