Prospek Ekonomi Hijau Global pada 2025
Prospek ekonomi hijau tidak terlepas dari pengaruh kebijakan politik, terutama dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat.
IDXChannel – Ekonomi hijau atau green economy menjadi salah satu strategi utama untuk menghadapi tantangan perubahan iklim global dan mendorong pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Pada 2025, ekonomi hijau diproyeksikan terus berkembang seiring meningkatnya kesadaran pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat global akan pentingnya keberlanjutan.
Dalam green economy, yang menjadi fokus utama adalah pengurangan emisi karbon, efisiensi penggunaan sumber daya alam, dan inklusivitas sosial. Akan tetapi, berbagai faktor geopolitik dan dinamika kebijakan, termasuk kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih, dapat memengaruhi prospek ekonomi hijau global di masa depan.
Ekonomi hijau menawarkan peluang besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus melindungi lingkungan. Investasi dalam energi terbarukan, teknologi rendah karbon, dan praktik bisnis yang berkelanjutan menjadi motor utama penggerak transisi ini.
Organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menggalakkan inisiatif global untuk mendukung ekonomi hijau, termasuk melalui perjanjian multilateral seperti Perjanjian Paris. Namun, implementasi green economy menghadapi tantangan seperti kebutuhan investasi awal yang besar, resistensi dari industri berbasis bahan bakar fosil, dan ketimpangan akses teknologi di negara berkembang.
Salah satu aspek penting dalam ekonomi hijau adalah bursa karbon, yang memungkinkan perdagangan kredit karbon sebagai cara mengelola emisi secara efisien. Pasar karbon global diperkirakan akan tumbuh pesat, memberikan insentif finansial untuk proyek-proyek pengurangan emisi seperti reforestasi, pengembangan energi terbarukan, dan pengelolaan limbah. Kendati demikian, prospek ini tidak terlepas dari pengaruh kebijakan politik, terutama dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat.
Posisi investasi hijau global saat ini
Investasi hijau, yang berfokus pada pendanaan untuk proyek-proyek ramah lingkungan dan berkelanjutan, telah menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Hal ini sejalan dengan meningkatnya kesadaran global terhadap ancaman perubahan iklim dan kebutuhan mendesak untuk beralih ke ekonomi rendah karbon.
Salah satu indikator utama pertumbuhan investasi hijau adalah penerbitan obligasi hijau (green bonds). Menurut data Climate Bonds Initiative, penerbitan green bonds secara global terus mengalami kenaikan tajam. Pada 2020, total penerbitan mencapai sekitar USD269,5 miliar, naik dari USD171,3 miliar pada 2018. Tren ini menunjukkan potensi besar dengan proyeksi mencapai USD1 triliun pada 2023.
Di Indonesia, dukungan terhadap investasi hijau juga tumbuh pesat. Sejak pemerintah menerbitkan Green Sukuk pertama kali pada 2018, dana yang berhasil dihimpun hingga 2024 telah melampaui USD7,2 miliar. Dana ini digunakan untuk mendanai proyek-proyek berkelanjutan, termasuk yang berhasil menurunkan emisi karbon hingga 10,5 juta ton CO2e.
Selain itu, institusi keuangan di Indonesia, seperti Bank Mandiri, turut memperkuat komitmen mereka terhadap investasi berkelanjutan. Dikutip dari laman resmi perseroan, hingga akhir Juni 2024, total portofolio berkelanjutan Bank Mandiri mencapai Rp278 triliun atau meningkat 14,7 persen secara year-on-year (yoy). Perinciannya, portofolio hijau yang naik 20,4 persen secara yoy menjadi Rp139 triliun dan portofolio sosial yang naik 9,5 persen secara yoy juga menjadi Rp139 triliun. Pendorong utama dari pertumbuhan dari portofolio hijau berasal dari sektor green building, pengelolaan sumber daya alam (SDA) hayati, energi terbarukan, serta produk ramah lingkungan.
Meskipun pertumbuhan investasi hijau menunjukkan potensi yang menjanjikan, ada beberapa tantangan yang harus diatasi. Berbagai hambatan seperti ketidakpastian ekonomi global, tingginya kebutuhan akan kebijakan yang mendukung, serta kesiapan infrastruktur masih memerlukan perhatian serius. Diperlukan komitmen kuat dari berbagai pihak agar investasi hijau bisa terus berkembang dan memainkan peran penting dalam mendorong pembangunan berkelanjutan di masa depan.
Kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih
Hasil Pilpres AS 2024 kembali mengantarkan Donald Trump ke Gedung Putih. Di masa periode kedua kepemimpinan politikus Partai Republik itu, prospek ekonomi hijau global diprediksi dapat mengalami tantangan serius.
Selama masa kepresidenan sebelumnya (2017-2021), Trump menarik Amerika Serikat dari Perjanjian Paris dan mempromosikan bahan bakar fosil sebagai tulang punggung ekonomi energi. Pendekatan tersebut jelas bertentangan dengan upaya global untuk mempercepat transisi menuju ekonomi rendah karbon.
Dengan pengaruh Amerika Serikat yang besar dalam ekonomi dan diplomasi global, perubahan arah kebijakan tersebut dapat memperlambat upaya internasional dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.
Di sisi lain, kemungkinan penurunan dukungan AS terhadap energi terbarukan dapat memengaruhi investasi global di sektor hijau. Perusahaan energi bersih yang beroperasi di AS mungkin juga akan menghadapi ketidakpastian kebijakan, yang dapat berdampak pada pengembangan teknologi hijau.
Selain itu, negara-negara lain mungkin kurang termotivasi untuk memperkuat komitmen iklim mereka jika salah satu emitor terbesar dunia, yaitu AS, menunjukkan sikap yang lemah terhadap perubahan iklim. Namun, upaya ekonomi hijau tidak sepenuhnya tergantung pada Washington DC. Uni Eropa, China, dan negara-negara lain dapat memimpin transisi global dengan memperkuat inisiatif mereka, mengurangi dampak negatif dari kebijakan AS.
Dampak Konflik Rusia-Ukraina
Konflik antara Rusia dan Ukraina telah memberikan dampak signifikan terhadap arah dan laju transisi ekonomi hijau di Eropa. Ketergantungan Eropa, khususnya Jerman, pada energi fosil dari Rusia menyebabkan gangguan pasokan energi yang memaksa negara-negara tersebut menyesuaikan strategi energi mereka.
Setelah invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, Jerman menghadapi pengurangan pasokan gas alam dari Rusia. Sebagai tanggapannya, pada Juni 2022, Pemerintah Jerman mengumumkan rencana untuk mengaktifkan kembali pembangkit listrik tenaga batu bara yang sebelumnya telah dihentikan operasinya.
Langkah tersebut diambil Berlin demi memastikan keamanan pasokan energi di negeri panser, terutama menjelang musim dingin. Pemerintah Jerman menyetujui pengoperasian kembali pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara mulai Oktober 2023 hingga akhir Maret 2024.
Kendati demikian, Pemerintah Jerman menegaskan bahwa langkah ini bersifat sementara dan tetap berkomitmen pada transisi energi hijau di masa depan. Pemerintah Jerman tetap berkomitmen untuk menutup pembangkit listrik batu bara sesuai jadwal yang telah ditetapkan sebelumnya.
Berakhirnya perjanjian transit gas antara Rusia dan Ukraina per 1 Januari 2025 menandai berakhirnya era dominasi gas Rusia di Eropa. Walaupun begitu, Eropa telah melakukan persiapan dengan mendiversifikasi sumber energi dan memperkuat infrastruktur untuk mengimpor gas non-Rusia, sehingga terhentinya pengiriman gas dari Rusia ke Eropa mungkin tidak menyebabkan lonjakan harga energi yang signifikan.
Dalam jangka pendek, penghentian pasokan gas Rusia melalui Ukraina memang dapat memperlambat transisi energi hijau di Eropa, karena beberapa negara mungkin perlu mengandalkan sumber energi fosil alternatif untuk memastikan keamanan pasokan energi mereka. Namun, situasi ini juga mendorong Eropa untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan dan meningkatkan efisiensi energi guna mencapai kemandirian energi yang lebih besar di masa depan.
Ekonomi hijau di Indonesia
Di tingkat nasional, Indonesia menjadi salah satu negara yang berpotensi besar dalam pengembangan ekonomi hijau. Dengan kekayaan sumber daya alam, seperti hutan hujan tropis, lahan gambut, dan mangrove, Indonesia memiliki kapasitas besar sebagai penyerap karbon alami. Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen melalui peluncuran bursa karbon pertama pada Oktober 2023, yang memungkinkan perusahaan untuk memperdagangkan kredit karbon sebagai bagian dari upaya pengurangan emisi.
Sejak IDX Carbon diluncurkan pada 26 September 2023 hingga 27 Desember 2024, volume transaksi perdagangan karbon dalam negeri mencapai 908.018 ton CO2 ekuivalen, dengan total nilai transaksi akumulasi mencapai Rp50,64 miliar.
"Pencapaian ini menunjukkan respons positif terhadap inisiatif dan upaya mendukung transisi menuju ekonomi rendah karb on yang berkelanjutan," kata Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi, di Jakarta, akhir Desember lalu.
Pencapaian signifikan juga terlihat dari pertumbuhan jumlah investor. Hingga 24 Desember 2024, jumlah Single Investor Identification (SID) berhasil melampaui target dengan tambahan 2,6 juta investor baru. Dengan peningkatan ini, total jumlah SID kini mencapai 14,81 juta.
Yang menarik, kata Inarno, mayoritas SID individu didominasi oleh generasi muda di bawah usia 40 tahun, yang mencapai lebih dari 79 persen dari total SID. Fakta tersebut menunjukkan potensi besar generasi ini dalam mendorong pertumbuhan pasar modal di masa depan.
Selain perdagangan karbon, sektor energi terbarukan di Indonesia juga mulai berkembang. Investasi dalam pembangkit listrik tenaga surya, panas bumi, dan angin terus meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan energi yang ramah lingkungan. Pemerintah juga berfokus pada program hilirisasi industri, yang bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah produk domestik sekaligus mengurangi emisi karbon.
Namun, ekonomi hijau di Indonesia menghadapi tantangan seperti kebutuhan investasi yang besar, kurangnya kesadaran masyarakat, dan resistensi dari sektor tradisional berbasis bahan bakar fosil. Kerangka regulasi dan dukungan insentif perlu diperkuat untuk mendorong partisipasi sektor swasta. Meski begitu, dengan adanya bursa karbon dan target Net Zero Emission pada 2060, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi salah satu pemain utama dalam ekonomi hijau global.***
(Ahmad Islamy Jamil)