Proyek Panas Bumi Kurang Ekonomis, Perlu Optimalisasi Value Creation
Potensi panas bumi di Indonesia sangat besar hingga mencapai sekitar 24 Gigawatt (GW), terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.
IDXChannel – Potensi panas bumi di Indonesia sangat besar hingga mencapai sekitar 24 Gigawatt (GW), terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Namun, sampai dengan 2023, kapasitas terpasang listrik panas bumi (PLTP) Indonesia baru sekitar 12 %
Reforminer Institute pun mendorong optimalisasi value creation pada industri panas bumi sehingga dapat mengakselerasi pemanfaatan panas bumi. Terutama dalam membantu merealisasikan target Net Zero Emission (NZE) Indonesia.
Reforminer menyatakan pemanfaatan panas bumi sangat berpotensi untuk dapat membantu merealisasikan target NZE Indonesia. Berdasarkan hasil perhitungan, jika seluruh potensi panas bumi Indonesia dapat dimanfaatkan, terdapat potensi penurunan gas rumah kaca (GRK) sekitar 182,32 Juta Ton CO2e atau setara dengan 58 % target penurunan GRK sektor energi pada tahun 2030 yang ditetapkan sebesar 314 Juta Ton CO2e.
Jika dibandingkan jenis EBET lainnya, energi panas bumi juga memiliki sejumlah keunggulan, seperti: tidak tergantung pada cuaca, menghasilkan energi yang lebih besar untuk periode produksi yang sama, tidak memerlukan lahan yang luas dalam proses produksinya, memiliki capacity factor yang lebih besar, prioritas untuk kepentingan domestik karena tidak dapat diekspor, bebas dari risiko kenaikan harga energi fosil, dan biaya operasi pembangkitannya relatif paling murah.
Capacity Factor (CF) atau perbandingan produksi listrik dengan kemampuan produksi maksimum dari pembangkit panas bumi merupakan salah satu yang terbaik dibandingkan pembangkit berbasis EBET lainnya maupun pembangkit listrik berbasis fosil. Hal tersebut terlihat dari n kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi (PLTP) milik PLN pada 2022 hanya sekitar 0,84% terhadap total kapasitas terpasang, sementara produksi listrik PLTP PLN pada tahun yang sama mencapai sekitar 2,25% terhadap total produksi listrik PLN.
Meski begitu, pengembangan dan pengusahaan panas bumi di Indonesia masih terkendala masalah keekonomian proyek. Meskipun, harga jual tenaga listrik dari energi panas bumi dilaporkan masih lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual tenaga listrik dari jenis EBET lainnya. Untuk saat ini, harga jual tenaga listrik panas bumi juga dilaporkan lebih tinggi dibandingkan BPP tenaga listrik nasional.
Sejumlah kendala yang menyebabkan keekonomian proyek panas bumi relatif belum kompetitif, di antaranya sulit terjadi kesepakatan harga jual-beli antara pengembang panas bumi dengan PLN sebagai pembeli tunggal; kebijakan eksisting mengharuskan harga listrik EBET bersaing dengan pembangkit fosil; jumlah lembaga keuangan yang bersedia memberikan pinjaman pada fase eksplorasi masih terbatas; izin sering bermasalah karena wilayah kerja berada di hutan konservasi, risiko investasi tinggi karena kepastian potensi cadangan dan kualitas uap yang belum jelas; dan masih terdapat sejumlah izin yang harus dipenuhi meskipun IUP pengusahaan panas bumi telah terbit.
Di sisi lain, perbedaan struktur biaya pengembangan pembangkit listrik panas bumi (PLTP) dengan pembangkit listrik berbasis fosil menyebabkan BPP tenaga listrik panas bumi akan relatif sulit bersaing dengan pembangkit berbasis fosil dalam jangka pendek dan menengah. Sekitar 70% komponen biaya pembangkitan listrik panas bumi merupakan biaya modal (capital cost). Sementara porsi capital cost dalam struktur biaya pembangkitan berbasis batu bara, gas, dan BBM hanya antara 15% - 30%.
Hal itu sejalan dengan studi IRENA yang menyebutkan penyebab masih relatif tingginya harga listrik panas bumi di Indonesia karena adanya risiko pada tahap eksplorasi yang masih tinggi. IRENA menyebut risiko investasi pada tahap eksplorasi menyumbang sekitar 50 % dari total risiko bisnis dalam pengembangan dan pengusahaan panas bumi. Risiko tersebut dipengaruhi oleh informasi mengenai lokasi, cadangan panas bumi terbukti dan ketersediaan data.
Dalam jangka panjang apalagi ketika tren harga energi primer meningkat, BPP tenaga listrik dari panas bumi berpotensi dapat menjadi lebih kompetitif atau bahkan lebih murah dibandingkan BPP tenaga listrik berbasis fosil. Porsi biaya bahan bakar dalam komponen biaya pembangkitan berbasis batu bara, gas, dan BBM adalah antara 40% - 74%. Sementara porsi biaya bahan bakar dalam komponen biaya pembangkitan PLTP dilaporkan tidak sampai mencapai 1%.
“Data rata-rata beban usaha pembangkitan sepanjang 2022 menegaskan bahwa dalam jangka panjang BPP tenaga listrik panas bumi akan lebih kompetitif. Data Statistik PLN menunjukkan bahwa rata-rata beban usaha pembangkitan untuk semua jenis pembangkit pada tahun 2022 adalah Rp 1.460,59/kWh. Sementara, beban usaha pembangkitan listrik panas bumi pada tahun yang sama dilaporkan sebesar Rp 118,74/kWh atau hanya 8,12 % dari rata-rata beban usaha pembangkitan untuk semua jenis pembangkit,” tulis Reforminer pada Rabu (15/11/2023).
Berdasarkan kajian tersebut, tingkat keekonomian proyek panas bumi di Indonesia lebih tinggi dibandingkan rata-rata proyek panas bumi global. Rata-rata keekonomian proyek panas bumi global telah berada di bawah 10 sen USD/kWh. Sementara rata-rata nilai keekonomian (harga jual) listrik panas bumi Indonesia untuk kontrak yang baru dilaporkan berada pada kisaran 10 sen USD/kWh sampai dengan 13 sen USD/kWh.
Beberapa studi menyebutkan saat ini tingkat keekonomian proyek listrik panas bumi global telah cukup kompetitif jika dibandingkan pembangkit listrik listrik berbasis fosil. Hal tersebut terlihat dari indikator levelized cost of electricity (LCOE) pembangkit listrik panas bumi global telah berada pada kisaran 0,071 USD/kWh. Sementara rata – rata nilai LCOE pembangkit berbasis listrik fosil berada pada kisaran 0,15 USD/kWh.
Perbaikan tingkat keekonomian proyek panas bumi global di antaranya karena adanya optimalisasi value creation pada pengusahaan panas bumi, seperti yang dilakukan di Selandia Baru melalui proyek Halcyon, proyek Meager Creek Development Corporation (British Columbia), dan proyek Oguni-Machi di Jepang yang mengembangan green hydrogen sebagai secondary product dari industri panas bumi.
Optimalisasi value creation pada pengusahaan panas bumi global di antaranya dilakukan melalui pemanfaatan teknologi mutakhir (drilling, well enhancement, power plant, operations), perbaikan supply chain, dan komersialisasi secondary product (pemanfaatan langsung, green hydrogen production, green methanol production, silica extraction).
“Secondary product dari industri panas bumi berpotensi memiliki nilai ekonomi dan dapat dikomersialkan seperti green methanol yang dapat digunakan sebagai bahan bakar dan bahan baku kimia, ekstraksi silika yang dimanfaatkan untuk industri baja dan industri kimia, dan green hydrogen yang dapat dimanfaatkan untuk sektor transportasi dan pembangkit listrik,” ujar riset lembaga tersebut.
Khusus untuk hydrogen misalnya, kebutuhan untuk domestik saat ini mencapai kisaran 1,75 juta ton per tahun, dengan alokasi 88 % untuk urea, 4 % untuk ammonia, dan 2 % untuk kilang minyak.
“Berdasarkan poin-poin yang telah disampaikan tersebut, cukup jelas bahwa optimalisasi value creation pada industri panas bumi sangat berpotensi untuk dapat membantu merealisasikan pencapaian target NZE Indonesia. ReforMiner menilai, optimalisasi value creation pada industri panas bumi akan dapat dilaksanakan jika terdapat perbaikan ekosistem pada industri panas bumi dan kolaborasi dari para stakeholder terkait,” ungkap Reforminer.
(FRI)