ECONOMICS

Resmi Berlaku, Skema Co-Payment Asuransi Kesehatan Diyakini Tak Akan Rugikan Masyarakat

Taufan Sukma Abdi Putra 11/06/2025 20:01 WIB

penerapan co-payment nantinya akan lebih mengarah pada penurunan premi, karena selama ini banyak klaim yang berlebihan, atau overutilitas.

Resmi Berlaku, Skema Co-Payment Asuransi Kesehatan Diyakini Tak Akan Rugikan Masyarakat (foto: iNews Media Group)

IDXChannel - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi mengeluarkan aturan baru untuk produk asuransi melalui Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7/SEOJK.05/2025 yang akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2026. 

Salah satu poin utama dalam aturan tersebut adalah penerapan skema co-payment, yaitu pembagian risiko pembiayaan layanan kesehatan antara perusahaan asuransi dan nasabah.

Melalui skema ini, Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta diwajibkan menanggung sebagian biaya klaim rawat jalan maupun rawat inap.

Co-payment yang ditetapkan sebesar 10 persen dari total pengajuan klaim, dengan batas maksimum Rp300.000 untuk klaim rawat jalan dan Rp3.000.000 untuk klaim rawat inap.

Obyek pengaturan dalam SEOJK 7/2025 tidak berlaku untuk skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dan ditujukan hanya untuk produk asuransi kesehatan komersial.

Menurut Pengamat asuransi, Irvan Rahardjo, penerapan co-payment nantinya akan lebih mengarah pada penurunan premi, karena selama ini banyak klaim yang berlebihan, atau overutilitas.

Karenanya, Irvan mengaku tak sependapat dengan kekhawatiran sebagian pihak yang meyakini bahwa hadirnya co-payment asuransi bakal merugikan masyarakat karena ketentuan ini  
 
"(Co-payment) Tidak merugikan, sepanjang perusahaan asuransi menunjukkan komitmen pelayanan klaim yang lebih baik dan upaya penurunan premi sebagai kompensasi atas berlakunya tanggungan sendiri atau co-payment," ujar Irvan, dalam keterangan resminya, Selasa (10/6/2025). 

Menurut Irvan, skema co-payment justru bisa membantu meminimalisir potensi penyalahgunaan atau fraud saat pengajuan klaim. Irvan menyebut bahwa potensi moral hazard dan fraud yang bisa berasal dari berbagai pihak, termasuk perusahaan asuransi, rumah sakit, dokter, hingga pasien saat ini sangatlah tinggi.

"Ini akan mengurangi over utilization yakni penggunaan diagnosis medis dan pengobatan yang berlebihan dengan dalih mumpung ada asuransi," ujar Irvan. 

Selain itu, Irvan menilai mekanisme co payment ini juga tidak akan menurunkan minat masyarakat di tengah situasi biaya inflasi medis yang terjadi.

"Karena kenaikan inflasi medis lebih tinggi dari tanggungan sendiri klaim dan BPJS bukan opsi untuk migrasi karena BPJS akan menerapkan Klas Rawat Inap Standard (KRIS)," ujar Irvan.

Dikatakan Irvan, co-payment juga berfungsi sebagai premi tambahan manakala terjadi klaim saja. Untuk itu, Irvan menekankan pentingnya edukasi kepada nasabah agar mereka paham bahwa skema co-payment merupakan bentuk pembagian risiko guna menjaga keberlanjutan layanan asuransi.

"Untuk menjaga sustainability asuransi dalam memberi pelayanan kepada nasabah. Karena premi bersifat biaya tetap (fix cost) sedangkan co-payment bersifat variable cost hanya saat terjadi klaim saja," ujar Irvan. 

Dalam kesempatan berbeda, Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Budi Tampubolon, mengatakan bahwa skema co payment untuk produk asuransi kesehatan akan membuat tarif premi lebih terjangkau bagi masyarakat.

Budi menilai bahwa skema co-payment diperlukan untuk menahan laju kenaikan premi. Tanpa skema ini, lonjakan biaya kesehatan akan membuat premi terus naik dan menjadi beban tambahan yang tidak terjangkau oleh banyak pihak.

"Kalau kita percaya bahwa apa yang terjadi belakangan ini memberatkan masyarakat, klaim naik. Klaim naik itu pasti memberatkan kami. Tapi at the end of the day, akan memberatkan masyarakat ketika harus membayar klaim ini," ujar Budi.

(taufan sukma)

SHARE