RI Larang Ekspor Bijih Nikel, Ini Deretan Kerugiannya
Di tengah manfaat yang diharapkan dari pelarangan ekspor, kebijakan ini memiliki beberapa implikasi ekonomi dalam jangka pendek.
IDXChannel - Pemerintah Indonesia bersikeras melarang ekspor bijih nikel dalam upaya meningkatkan nilai tambah dan memperluas industri hilir nikel sejak Januari 2020, sebagaimana diatur dalam Permen ESDM No. 11/2019. Di tengah manfaat yang diharapkan dari pelarangan ekspor, kebijakan ini memiliki beberapa implikasi ekonomi dalam jangka pendek.
"Pertama, intervensi menyebabkan penghentian ekspor bijih nikel secara tiba-tiba dari sekitar USD1 miliar pada tahun 2019 menjadi nol dalam tiga tahun terakhir," ujar Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia (UI) Teuku Riefky di Jakarta, Jumat (4/8/2023).
Kedua, kata Riefky, penurunan ekspor dapat menghasilkan pendapatan yang hilang (forgone revenue) untuk cadangan devisa dan pungutan ekspor.
Hilangnya ekspor, lanjutnya, telah mengurangi devisa dalam Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang bertujuan untuk mendukung stabilisasi Rupiah terhadap ketidakpastian pasar keuangan.
Lebih lanjut, ketiadaan ekspor membuat pemerintah melewatkan kesempatan untuk memungut pungutan ekspor bijih nikel sementara tidak ada pungutan atas produk hilir nikel.
"Dengan asumsi nilai ekspor bijih nikel konstan dan tarif pungutan ekspor sebesar 10%, penerimaan pungutan ekspor diperkirakan turun sekitar Rp4,84 triliun selama tiga tahun pertama sejak larangan ekspor diberlakukan," ungkap Riefky.
Lebih lanjut yang ketiga, penurunan ekspor bijih nikel memaksa produsen memangkas produksi karena permintaan ekspor menurun sementara kapasitas smelter nikel di dalam negeri masih terbatas. Produksi bijih nikel menurun 21% pada tahun 2020 dibandingkan dengan tahun sebelumnya akibat kebijakan larangan ekspor dan permintaan global yang lebih rendah selama Covid-19.
Menurut dia, tren penurunan ini serupa, meskipun lebih kecil, dengan penurunan produksi bijih nikel sebesar 85% (yoy) pada tahun 2014 ketika pemerintah memulai larangan ekspor bijih nikel untuk pertama kalinya.
"Ini terjadi karena hanya tersedia dua smelter untuk mengolah bijih nikel sebelum larangan ekspor pertama diterapkan. Industri hulu nikel mengalami kesulitan pada saat itu hingga pelonggaran larangan ekspor diterapkan pada tahun 2017 karena masih rendahnya investasi hilir smelter baru dan melebarnya defisit perdagangan. Setelah pulih secara bertahap, produsen bijih nikel harus menghadapi penerapan larangan ekspor bijih nikel pada tahun 2020; membuat produksi yang lebih rendah tak terelakkan," papar Riefky.
Dia menyebut, penurunan produksi bijih nikel pada tahun 2020 jauh berbeda dengan rata-rata pertumbuhan tahunan sebesar 65% sepanjang tahun 2017-2021.
Keempat, imbas dari penurunan produksi juga turut menyumbang penurunan penerimaan negara dari sektor pertambangan, dari Rp44,920 triliun pada 2019 menjadi hanya Rp34,650 triliun pada 2020. Penerimaan dari sektor pertambangan terkontraksi meski tarif royalti yang diterapkan pada produksi tambang nikel naik dua kali lipat sejak 2020.
"Tidak hanya menurunkan pendapatan negara, larangan ekspor bijih nikel dalam jangka pendek juga merugikan kegiatan pertambangan. Karena penambang terpaksa menjual bijih ke smelter domestik dengan harga yang diatur oleh pemerintah, mereka membukukan kerugian karena harga domestik yang lebih rendah dibandingkan dengan tren meroketnya harga pasar internasional selama periode 2020-2022," ucap Riefky.
Dampak terakhir berasal dari perspektif perdagangan internasional. Larangan ekspor memperbesar risiko pembalasan dari mitra dagang, mulai dari negara yang dulunya mengandalkan bijih nikel Indonesia hingga non-importir nikel dari Indonesia.
"Baru-baru ini, Uni Eropa telah mengajukan sengketa atas kebijakan larangan ekspor Indonesia, yang dianggap melanggar praktik perdagangan yang telah disepakati di WTO," imbuhnya.
Meskipun Uni Eropa tidak secara langsung mengimpor bijih nikel dari Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir, lanjut dia, mereka khawatir potensi terjadinya volatilitas harga nikel global yang berasal dari guncangan pasokan nikel secara mendadak yang kemudian juga dapat menurunkan produksi berbagai sektor hilir yang menggunakan nikel sebagai bahan baku, khususnya industri baja.
Sebagai produsen bijih nikel terbesar dengan cadangan yang melimpah, kebijakan perdagangan yang diterapkan Indonesia dapat menyebabkan pergeseran rantai pasok global yang signifikan. Meski demikian, jumlah nikel yang ditambang untuk memenuhi permintaan dunia masih sangat tersedia.
"Dengan absennya Indonesia di pasar global selama 2020-2022, permintaan bijih nikel telah dialihkan ke eksportir lain, termasuk Filipina, Kaledonia Baru, dan penambang baru lainnya," pungkas Riefky.
(YNA)