ECONOMICS

RUU Kesehatan Dinilai Diskriminatif dan Ancam Ekosistem Pertembakauan

Ikhsan Permana SP/MPI 12/04/2023 22:10 WIB

AMTI menilai RUU Omnibus Law Kesehatan sangat diskriminatif dan mengancam keberlangsungan ekosistem pertembakauan, khususnya terkait Pengaturan Zat Adiktif.

RUU Kesehatan Dinilai Diskriminatif dan Ancam Ekosistem Pertembakauan. (Foto MNC Media)

IDXChannel - Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan sangat diskriminatif dan mengancam keberlangsungan ekosistem pertembakauan, khususnya terkait Pengaturan Zat Adiktif, di Bagian Kedua Puluh Lima.

Sekjen AMTI Hananto Wibisono mengungkapkan, RUU tersebut dibuat dengan sangat eksesif dan diskriminatif terhadap elemen hulu hingga hilir ekosistem pertembakauan.

"Sejak awal elemen ekosistem pertembakauan sebagai bagian dari masyarakat tidak diakomodir suaranya untuk memberikan masukan terkait RUU Kesehatan tersebut," kata Hananto dalam diskusi bertajuk "Mengawal Rancangan Regulasi yang Eksesif dan Diskriminatif Terhadap Ekosistem Pertembakauan di Jakarta, Rabu (12/4/2023).

Secara substansi pasal 154 mengenai Pengaturan Zat Adiktif, menurut Hananto, memposisikan tembakau sejajar dalam satu kelompok dengan narkotika dan psikotropika. Padahal, sejatinya, tembakau sebagai komoditas strategis nasional, adalah produk legal yang memberikan kontribusi serta sumbangsih signifikan terhadap penerimaan negara. 

“Tembakau, produknya, aktivitas pekerjanya, semuanya adalah legal. Tembakau telah berkontribusi nyata terhadap pembangunan negeri ini tapi dalam RUU Kesehatan justru diperlakukan seperti narkoba. Ini adalah ketidakadilan dan diskriminasi. Harapan kami, wakil rakyat, DPR RI, dapat membantu mengawal RUU Kesehatan dengan sebenar-benarnya dan seadil-adlinya,” tegas Hananto. 

Hananto menerangkan, tembakau sejak lama telah menjadi andalan masyarakat sebagai penopang hidup. Ada 6 juta tenaga kerja, mulai dari sektor perkebunan, manufaktur hingga industri kreatif yang bergantung pada ekosistem pertembakauan. 

“Lagi-lagi dalam proses perumusan regulasi, pemangku kepentingan pertembakauan tidak pernah dilibatkan. Tentu saja situasi ini menyakiti jutaan jiwa yang menggantungkan penghidupannya dalam ekosistem pertembakauan,” ujarnya.

Sementara itu, Dosen Ilmu Hukum Universitas Trisakti Ali Rido menilai, pasal 154 mengenai Pengaturan Zat Adiktif dalam RUU Omnibus Law Kesehatan seharusnya fokus mengatur tembakau dalam ranahnya sendiri. 

”Pengaturan harusnya dibedakan karena kandungan nikotin dalam tembakau tidak sama dengan zat adiktif narkoba. Saya melihat RUU Kesehatan ini mendorong, memuluskan jalan untuk 'penghapusan' penggunaan tembakau secara perlahan,” paparnya. 

Padahal, lanjut Ali, Pendapat Pemerintah dalam Putusan MK No. 34/PUU-VIII/2010 menegaskan bahwa pengaturan tembakau dan produk yang mengandung tembakau bertujuan untuk melakukan pengamanan atas konsumsinya, bukan menghilangkan tembakau atau produk yang mengandung tembakau.

"UU hanya melakukan pengamanan dan perlindungan kesehatan bukan pelarangan," tukasnya.

Ia juga menegaskan, berlandaskan Putusan MK No. 6/PUU-VII/2009, bahwa Pendapat Pemerintah adalah dilihat dari sisi adiktifnya, nikotin itu (rokok) terletak sejajar dengan kafein dan tidak sama tingkatnya dengan opium, kokain, ganja, halusinogen, ataupun macam-macam zat se-adiktif hipnotik.

"Sehingga pengaturan mengenai rokok tidak pernah disetarakan dengan pengaturan mengenai narkotika dan obat-obatan terlarang. Kopi, teh dan cokelat yang mengandung kafein juga merupakan zat adiktif," pungkasnya.

(YNA)

SHARE