ECONOMICS

Sejak 1980, Harga Listrik Geothermal Jadi Hambatan Utama Investasi

Suparjo Ramalan 01/03/2021 17:05 WIB

Para investor pengembang PLTP menganggap tantangan terbesar dalam pengembangan geothermal di Indonesia adalah harga listrik yang dibeli PLN.

Sejak 1980, Harga Listrik Geothermal Jadi Hambatan Utama Investasi (FOTO: MNC Media)

IDXChannel - Para investor pengembang Pembangkit Listrik Panas Bumi atau Geothermal (PLTP) menganggap tantangan terbesar dalam pengembangan geothermal di Indonesia adalah harga listrik yang dibeli PT PLN (Persero). 

Direktur Utama PT Geo Dipa Energi (Persero) Riki Firmandha Ibrahim menilai, permintaan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) ihwal harga energi baru terbarukan (EBT), khususnya geothermal di bawah harga yang ditetapkan menjadi tantangan terbesar bagi pengembangan panas bumi di Indonesia. 

"Tantangan atau kendala dari pengembangan panas bumi atau EBT apa sih? Kita tahu bahwa tantangan terbesar saat ini adalah harga EBT yang relatif masih dianggap mahal oleh PLN sebagai pembeli, ini tantangan terbesar," ujar dia Senin (1/2/2021)  

Tantangan ini sudah dialamai sejak tahun 1980-an. Hingga saat ini perkara harga belum terselesaikan. Riki menyebut, jika harga panas bumi masih menjadi perkara, maka visi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menargetkan pemanfaatan panas bumi dalam negeri sebesar 7.000 megawatt (MW) pada 2030 mendatang sulit terealisasikan. 

"Saya duduk di sini dan amanah dari Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM yang punya target mislanya di tahun 2025 kan tak tercapai, kita baru 11 persen pencapaian dari EBT. Lalu pemerintah dengan tegas menargetkan 2030 7.000 MW panas bumi, sementara kita masih 2.113," katanya. 

Jokowi sendiri menikai tingginya potensi energi panas bumi untuk dijadikan energi terbarukan, jika diperlukan dibentuk BUMN khusus yang mengelola sumber energi itu. Pernyataan ini menjadi cikal bakal dibentuknya Holding BUMN Geothermal yang tengah di godok Menteri BUMN Erick Thohir. 

Bahkan, pemerintah Jokowi punya visi 100 tahun kemerdekaan Indonesia yang akan jatuh pada tahun 2045 mendatang. Pada momentum itu, pemerintah menargetkan pemanfaatan EBT sebesar 9.000. 

"Potensi kita 23 giga, ini ekuifalen, namun ini dikonversikan, dari 23 potensi tadi bagaimana kita bisa merealisasikan, ini penting sekali, tidak mungkin peran swasta bisa masuk dan privatisasi bisa melaksanakan ini tanpa adanya insentif, tutur Riki. 

Dalam kesempatan yang sama, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mengutarakan, cost develompmen harus diuraikan pemerintah, mana bagian yang harus dipenetrasi pemerintah. Kondisi biaya pengembangan itulah menjadi penghambat industri hulu (Ulupstream) di Indonesia.

"Masalah utamanya adalah mungkin cost develompmen, ini harus kita uraikan, mana-mana yang bisa pemerintah penetrasi di situ sehingga bisa membuat cost develompment, upstream panas bumi bisa kompetitif lagi," tutur dia 

Satya mencontohkan, misalnya harga listrik PT PLN (Persero) menjadi hambatan. Sebab, PLN sebagai solo off-taker tercatat meminta harga yang lebih murah dari yang diterapkan saat ini yakni sebesar 7 cent dolar AS per kWh.

"Sudah jelas, disampaikan oleh industri, masalah harga itu menjadi hambatan yang tidak mudah menurut saya. Karena harga yang diminta oleh PLN tentunya harganya masih lebih murah, walaupun sekarang panas bumi sudah 7 sen dolar AS per kwh, tapi PLN masih mengungunkan yang lebih murah lagi sehingga itu menjadi pemikiran-pemikiran tidak mudah," katanya.  (RAMA)

SHARE