Selain Harga Tak Terjangkau, Ini Sederet Penyebab Backlog Perumahan di Indonesia
Backlog merupakan indikator dalam Rencana Strategis (Renstra) dan RPJMN yang mengukur kesenjangan (gap) antara kebutuhan dan pasokan rumah.
IDXChannel - Indonesia tengah menghadapi krisis kebutuhan kepemilikan rumah, yang dikenal sebagai backlog. Backlog merupakan indikator dalam Rencana Strategis (Renstra) dan RPJMN yang mengukur kesenjangan (gap) antara kebutuhan dan pasokan rumah.
Berdasarkan data terbaru yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia rata-rata mengalami backlog kepemilikan rumah yang sangat tinggi sebesar 13 juta unit dengan tren yang fluktuatif sejak 2010. Pada 2022, Indonesia mengalami backlog kepemilikan perumahan sebesar 11,6 juta unit. Ini merupakan capaian angka backlog terbaik selama 14 tahun terakhir.
Mengutip Riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), permasalahan dasar mengapa angka backlog Indonesia masih sangat tinggi, di satu sisi terdapat kelebihan penawaran rumah (oversupply housing).
"Namun, di sisi lain terjadi kekurangan penawaran rumah dengan harga terjangkau (undersupply affordable housing)," tulis riset bertajuk "Ribut Soal Tapera: Kebijakan Harga Mati untuk Turunkan Angka Kekurangan Perumahan Nasional?"
Di sisi lain, ada indikasi developer properti lebih memilih berinvestasi membangun unit rumah dan apartemen pada segmen menengah ke atas karena pertimbangan margin profit.
Di saat yang sama, para developer sulit untuk mewujudkan hunian layak berkualitas karena disebabkan oleh harga lahan yang tinggi, biaya konstruksi yang meningkat, dan kebijakan pembiayaan yang belum optimal.
Untuk rumah tapak, terdapat kendala berupa mahalnya harga lahan yang pada akhirnya menyebabkan harga jual rumah menjadi semakin mahal.
Sementara itu, jika developer membangun hunian vertikal atau rumah susun (rusun) untuk kalangan menengah atau menengah bawah, margin keuntungan yang diperoleh dinilai relatif tidak sepadan dengan risiko bisnisnya. Apalagi, jika melihat faktor selera pasar di mana rumah tapak masih relatif lebih diminati masyarakat daripada rumah susun.
Faktor lainnya yang cukup relevan dalam menyebabkan tingginya angka backlog perumahan adalah adanya persoalan job-residence spatial mismatch dan fenomena urban sprawl.
Terminologi pertama merujuk pada situasi di mana masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah cenderung memilih tinggal di area yang relatif terhubung dengan pusat perkotaan karena ketiadaan atau minimnya kesempatan kerja yang memberikan kompensasi upah yang lebih baik di daerah suburban, meskipun di daerah suburban tersebut terdapat peluang lebih besar untuk memiliki rumah dengan harga yang lebih terjangkau.
Adapun fenomena urban sprawl merupakan pola perkembangan kota yang ditandai oleh ekspansi yang luas dan tidak terkendali dari kawasan perkotaan metropolitan ke daerah pinggiran yang pada akhirnya memunculkan kota-kota baru (peri-urban).
Sayangnya, banyak perumahan subsidi yang dibangun di wilayah peri-urban tidak selalu memenuhi standar kualitas yang diharapkan atau berada di lokasi yang jauh dari kota besar, sehingga kurang diminati masyarakat karena jauhnya lokasi rumah dengan pusat aktivitas ekonomi.
(NIA)