Serikat Pekerja Minta Menaker Tidak Izinkan THR Tahun Ini Dicicil
Serikat buruh menentang keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah jika keputusan THR tahun ini sama dengan 2020 .
IDXChannel - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan bahwa pihaknya akan menentang keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah jika keputusan THR tahun ini sama dengan keputusan THR tahun 2020 yang dicicil atau dibayar tidak penuh.
"KSPI menolak keras bilamana Menaker mengeluarkan surat edaran (SE) kalau mengatur THR bisa dibayar dicicil dan nilai THR boleh dibayar pengusaha dibawah 100%. Kami menolak keras dan meminta Menaker tidak mengeluarkan itu," tegas Said dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Jumat(19/3/2021).
Bagi buruh yang bekerja dibawah 1 tahun, dia meminta THR-nya proporsional, misal jika 6 bulan masa bekerja, perhitungan THR-nya adalah 6/12 dikalikan upahnya sebulan. "Ini ada dasar hukumnya yakni PP 78 tahun 2015. Meski ada turunan UU Cipta Kerja, PP di atas belum dicabut sampai hari ini. Itu masih berlaku," tambah Said.
Bagi buruh yang bekerja di atas 1 tahun, maka pengusaha wajib memberi THR minimal 100% upah yang diterima, dan yang masa kerjanya dibawah itu diberikan THR proporsional. "Jika THR yang diputuskan Menaker tidak sesuai PP 78/2015 maka KSPI dan serikat pekerja lainnya akan melakukan PTUN SE dan apapun bila bertentangan dengan aturan PP 78/2015," cetusnya.
KSPI juga akan mengirimkan surat protes keras kepada Presiden Jokowi untuk menegur, mengingatkan, dan melarang Menaker membayar THR dibawah ketentuan PP 78 dan meminta agar THR tidak boleh dicicil. "Mudah-mudahan beliau berkenan. Menaker jangan hanya memperhatikan kepentingan pengusaha. Pengusaha kesulitan, kami paham, bahkan serikat pekerja memahami. Beberapa kebijakan kami diam karena paham keadaan, tapi Menaker selalu berpihak pada kepentingan pengusaha," jelas Said.
Dia menegaskan, jika SE sampai membolehkan THR dicicil dan tidak senilai 100%, maka semua perusahaan bisa melakukan itu, padahal statusnya mampu dan bisnisnya sehat. Seharusnya THR mengacu pada PP 78/2015, tapi bagi perusahaan yang tidak mampu, harus mengajukan izin dan data-data bahwa perusahaan 2 tahun terakhir merugi atau tidak mampu.
"Menaker mohon jangan langsung silogisme dulu, harus ada premis-premis. Ini kan cara berpikir terbalik, sesat berpikir. Perusahaan yang mampu ya bayar THR sesuai PP 78/2015, maka dalam SE itu ukuran mampunya harus mengikuti apa yang tertuang dalam PP," pungkas Said. (TIA)