ECONOMICS

Setahun Covid 19, Epidemolog: Perjuangan Kita Belum Selesai!

M. Sukardi 02/03/2021 13:45 WIB

Tepat 2 Maret 2020 lalu merupakan pengumuman pertama di mana dua orang Warga Depok dinyatakan terkonfirmasi Covid-19.

Setahun Covid 19, Epidemolog: Perjuangan Kita Belum Selesai! (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Tepat 2 Maret 2020 lalu merupakan pengumuman pertama di mana dua orang Warga Depok dinyatakan terkonfirmasi Covid-19. Keduanya berasal dari kluster pesta dansa, yang juga dihadiri oleh warga Jepang yang datang ke Indonesia.

Sejak itu, Indonesia mulai melakukan tracing kasus. Beberapa orang yang tinggal dengan pasien Covid-19 01 dan 02 dites dan dicari kontak dekatnya.

Bertambahnya hari, semakin meluas penyebaran virus Covid-19 di masyarakat. Bukan hanya berasal dari pasien 01 dan 02, tetapi dari klaster-klaster lain. Meski sudah diketahui adanya kasus, di awal kejadian pemerintah Indonesia terkesan menyepelekan Covid-19.

Setahun pandemi Covid-19 di Indonesia, Ahli Epidemiologi Griffith University Australia, Dicky Budiman, mencatat ada beberapa poin 'rapor merah' dalam upaya penanganan pandemi. Hal ini dia sampaikan dengan harapan perbaikan di masa depan.

"Kita banyak belajar dari satu tahun pandemi Covid-19 di Indonesia dan yang pasti peran kita semua dalam melawan Covid-19 belum selesai. Indonesia sendiri diperkirakan masih memerlukan waktu setidaknya 2 tahun lagi melewati masa kritis pandemi, karena dampaknya sudah multisektoral, multiefek, dan efek bola saljunya sudah besar," papar Dicky pada MNC Portal melalui pesan singkat, Selasa (2/3/2021).

"Jadi, bukan hanya berdampak pada kesehatan, tapi pandemi ini sudah melibatkan efek di banyak sektor lainnya. Karena itu, dibutuhkan respons dan mitigasi yang cepat dan tepat, terutama oleh pemerintah setiap level dibantu stake holder," tambahnya.

Berikut ini beberapa catatan Dicky Budiman menilai setahun pandemi Covid-19 di Indonesia:

1. Jangan mengandalkan kasus harian

Dicky menerangkan, belum lama ini jurnal ilmiah Lancet baru saja merilis laporan mengenai evaluasi performa setiap negara terhadap penanganan pandemi Covid-19. Dalam catatannya, Lancet mengatakan, "Setiap negara tidak boleh dan tidak bisa merujuk pada kasus harian dalam melihat tren dan performa dalam penanganan pandemi."

Kasus di Indonesia misalnya, Satgas Covid-19 serta Kementerian Kesehatan cukup bangga memamerkan kurva yang menurun. Padahal, epidemiologi sudah menyampaikan bahwa tren menurun itu jangan terlalu dibanggakan dan akhirnya merasa terpukau.

"Karena itu tidak valid, apalagi di Indonesia yang cakupan tracing dan testingnya rendah. Mengandalkan angka harian akan menimbulkan missleading, missinterpretasi, dan missekspektasi. Ini bahaya sekali," terangnya.

Pada situasi global memang trennya juga menurun, namun sekali lagi, ini harus disikapi dengan hati-hati. Sebab, bukan berarti pada level global semuanya membaik. Indonesia misalnya, sambung Dicky, sampai sekarang masih dalam status pandemi yang belum terkendali.

"Positivity rate Indonesia selalu di atas 10 persen. Ini adalah pekerjaan rumah dan sudah menumpuk. Enggak bisa kan ngerjain PR yang menggunung hanya dalam waktu semalaman? Diatasi secara bertahap dan dengan strategi yang cermat, tepat, dan komprehensif," ungkapnya.

2. Strategi nasional masih perlu disempurnakan

Dicky menerangkan, pemerintah masih harus menyempurnakan strategi nasional. Kalau melihat negara-negara yang berhasil, mereka sangat jelas bagaimana tahapan jangka pendek, menengah, dan panjangnya, termasuk bagaimana posisi setiap strategi itu.

"Posisi setiap strategi itu seperti 3T, isolasi dan karantina dan posisi itu akan selau ada di semua tahapan, termasuk soal vaksinasi. Dan ini yang harus kita sempurnakan," tambahnya.

3. Indonesia belum memberi peran pada tataran ASEAN

Dalam menangani pandemi, setiap negara bukan hanya memikirkan negaranya saja, tetapi punya tugas juga dalam tataran global, nasional, dan komunitas atau lokal.

Pada tataran global, Indonesia memberi peran dengan terlibat dalam COVAX. "Ini harus diapresiasi," singkat Dicky. Namun, pada tataran ASEAN, Indonesia dinilai belum memberikan peran apapun.

Dicky menegaskan bahwa Indonesia belum memperlihatkan perannya sebagai negara senior di ASEAN dan ini yang membuat situasi penanganan di negara-negara ASEAN terkesan masing-masing. Mengapa ini penting?

"Dalam menangani pandemi global, suatu negara itu harus punya teman  kolaborasi untuk mengendalikan situasi pandemi. Hal ini dibuktikan berhasil di Uni Eropa, dan sangat berhasil di Asia Pasific seperti Australia dan New Zealand," papar Dicky.  

Jika ditanya respons global apa yang bisa dikerjakan Indonesia di level ASEAN, Dicky menerangkan, pemerintah bisa bekerja sama dalam menciptakan travel bubble kawasan ASEAN misalnya.

"Caranya? Ya, dengan memperkuat 5M, 3T, upaya isolasi dan karantina. Jadi, menangani pandemi global ini jangan masing-masing," komentarnya.

4. Banyak respons penyangkalan di awal kasus

Masih ingat dengan momen penyangkalan di awal kasus Covid-19? Tindakan tersebut dinilai Dicky sebagai hambatan besar Indonesia dalam memangani pandemi ini. "Kejadian itu yang membuat Indonesia tertinggal," tegasnya.

Indonesia mulai mengangap serius Covid-19 itu beberapa bulan setelah negara-negara sudah melakukan tindakan tegas. Hal lain yang membuat Indonesia tertinggal adalah strategi dasar nasional terkait 3T yang dinilai belum memadai.

"Buktinya apa? Positivity rate Indonesia masih di atas 10 dan itu menunjukkan dengan jelas 3T serta isolasi dan karantina yang berlaku di Indonesia belum memadai. Ketika ini tidak diperbaiki, maka angka kematian masih akan terus naik," kata Dicky.

5. Performas 3T stabil rendah

Dicky menilai bahwa gelombang pertama pandemi Covid-19 Indonesia masih belum berakhir dan terus memanjang. Salah satu penyebabnya adalah kontribusi 3T yang stabil rendah, efeknya transmisi tidak terputus sampai saat ini.

"Walau tidak bisa dipungkiri juga ada perubahan dari upaya yang dilakukan pemerintah, tapi itu masih dalam tahap wacana, belum terimplementasi," tegasnya. Apa buktinya? Tes antigen di puskesmas yang menurut Dicky belum ada sinyal positif terjadi di semua wilayah.  

6. Respons komunitas masih belum kuat

Indonesia harus memperkuat respons komunitas meski terlambat. Sebab, upaya ini adalah salah satu kunci dari melandaikan kurva kasus Covid-19.

"Kita mesti sadar bahwa respons komunitas dalam aspek kesehatan belum mengarah pada level yang diharapkan atau ideal untuk kapasitas setahun ini mendeteksi kasus," ungkap Dicky.

Pada kasus pencarian strain baru misalnya, Dicky menerangkan bahwa pemerintah masih tergagap-gagap karena surveilans genomic Indonesia yang terbatas. "Dengan mengetahui kelemahan ini, kami berharap ada perubahan di masa depan segera," tambahnya.

Soal lain dari respons komunitas ini adalah pemerintah masih terfokus pada upaya kuratif, bukan preventif dan promotif. Padahal, dalam penanganan pandemi, yang paling penting itu preventifnya.

"Pandemi adalah penanganan public health dan yang diprioritaskan itu adalah preventif dan promotif di setiap respons nasional hingga lokal," ungkapnya.  

7. Komunikasi risiko dan leadership yang buruk

Setahun pandemi Covid-19, Dicky menilai pemerintah, dalam hal ini bukan hanya presiden, tetapi level gubernur, wali kota, dan jajaraan pemerintahan lainnya dinilai kurang baik dalam berkomunikasi risiko dan menunjukkan leadershipnya.

Padahal, komunikasi risiko akan selalu ada mulai dari awal pandemi hingga akhir, bahkan pascapandemi. Ketika poin itu belum diperbaiki, maka akan sulit untuk mencapai perbaikan pandemi yang komprehensif.

"Saya tahu bahwa ada beberapa kepala daerah atau pejabat publik yang bagus strategi komumiasi risikonya, tapi secara luas, belum sesuai dengan keinginan para epidemiologi," kata Dicky.

Terkait dengan 'leadership', ini bukan hanya presiden, wali kota, atau gubernur, tapi tokoh masyarakat juga harus punya peran dan di sini yang paling dicermati publik adalah keteladanan, satunya kata dan perbuatan, itu yang harus ditunjukkan semua pemimpin.

"Beberapa pejabat publik dalam menerapkan kepemimpinannya tidak berbasis sains. Statement-statementnya tidak berbasis sains itu akan menimbulkan kontraproduktif," ungkapnya.  

"Kita bisa lihat, daerah dengan komunikasi risiko dan leadership pemimpinnya memadai, cenderung transplantasi datanya bagus. Bukan kasusnya kecil, tidak seperti itu. Karena ini pandemi, jadi komunikasi risiko, leadership, dan transplantasi ini menjadi amat penting," kata Dicky. (TYO)

SHARE