Setelah 'Ramal' Resesi Panjang, 'Dr. Doom' Roubini Bilang Dunia Bakal Stagflasi
Media riuh dengan pemberitaan resesi dalam sepekan ini. Tahun depan diramalkan ‘gelap’ oleh berbagai prediksi ekonomi.
IDXChannel - Media riuh dengan pemberitaan resesi dalam sepekan ini. Tahun depan diramalkan ‘gelap’ oleh berbagai prediksi ekonomi.
Nouriel ‘Dr Doom’ Roubini, mantan ekonom senior untuk urusan internasional di Dewan Penasihat Ekonomi Gedung Putih selama pemerintahan Clinton, juga ikut unjuk pendapat.
Sebelumnya, Roubini yang dikenal telah meramal krisis keuangan 2008 kembali memproyeksikan resesi yang akan dialami Amerika Serikat (AS) bakal "panjang dan buruk".
Kondisi ini akan mempengaruhi secara global dan terjadi pada akhir 2022 yang dapat berlangsung sepanjang tahun 2023.
Roubini memperkirakan AS dan resesi global akan berlangsung sepanjang tahun 2023, tergantung pada seberapa parah guncangan pasokan dan kesulitan keuangan yang akan terjadi.
Kali ini, menurutnya, perusahaan, pemerintahan, rumah tangga, dan bank bayangan (shadow banking)--seperti pengelola investasi atau hedge funds, private equity dan lembaga penyaluran kredit—yang memiliki beban utang tinggi akan tertekan parah.
Dalam tulisan terbarunya di laman Project Syndicate berjudul The Stagflationary Debt Crisis Is Here (3 Oktober 2022), Dr Doom menyebutkan peningkatan inflasi akan terjadi secara terus menerus.
Menurutnya, penyebabnya tidak hanya mencakup kebijakan yang buruk melainkan juga guncangan pasokan.
Hard Landing Sebagai Konsekuensi Global
Menurut Roubini, upaya bank sentral untuk melawan resesi menyebabkan ekonomi akan mengalami hard landing atawa ‘pendaratan keras’.
Indikator hard landing ini dapat dilihat perlambatan pertumbuhan PDB global dan juga sejumlah indikator lainnya seperti inflasi dan kenaikan suku bunga.
Saat ini, PDB global tumbuh di angka 3,6% menurut data IMF. Turun dibanding tahun sebelumnya mencapai 6,1%. Dalam proyeksi yang ditampilkan IMF, kenaikan PDB akan terpantau rata hingga 2027. (Lihat tabel di bawah ini).
Hard landing adalah kondisi ekonomi yang dengan cepat bergeser dari pertumbuhan ke perlambatan pertumbuhan hingga pertumbuhan yang datar saat mendekati resesi. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh upaya pemerintah untuk memperlambat inflasi.
“Ketika resesi datang, saya memperingatkan, itu akan parah dan berlarut-larut, dengan kesulitan keuangan yang meluas dan krisis utang,” kata Roubini.
Meskipun mirip, hard landing berbeda dengan stagflasi. Hard landing adalah ketika bank sentral terlalu memperketat kebijakan moneter yang mengarah ke penurunan ekonomi.
Sementara, stagflasi adalah situasi inflasi yang tinggi dan pertumbuhan yang rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh bank sentral yang tidak berbuat cukup untuk memerangi inflasi dan secara bersamaan juga tidak ingin mendorong pertumbuhan ke level negatif.
Adanya guncangan pasokan secara konsisten ini telah berkontribusi pada inflasi. Kondisi ini, menurut Roubini, menyebabkan Bank Sentral Eropa, Bank of England, dan Federal Reserve (The Fed) AS sulit untuk melakukan soft landing, kebalikan dari hard landing.
Soft landing adalah kondisi di mana tingkat pertumbuhan melambat dalam mengontrol inflasi, tetapi masih cukup tinggi untuk menghindar dari resesi.
Bahkan Ketua The Fed, Jerome Powell juga sempat menyebutkan tentang soft landing dengan setidaknya ‘sedikit rasa sakit’. Sementara itu, para analis pasar, ekonom, dan investor berkonsensus bahwa skenario hard landing adalah yang terbaik.
Menurut Roubini, jauh lebih sulit untuk mencapai soft landing di bawah kondisi guncangan pasokan negatif yang mengalami stagflasi dibandingkan ketika ekonomi mengalami overheating karena permintaan yang berlebihan.
Sejak Perang Dunia II, tidak pernah ada kasus di mana The Fed mencapai soft landing ketika inflasi berada di atas 5% (saat ini di atas 8%) dan pengangguran di bawah 5% (saat ini 3,7%).
Hard landing lebih mungkin terjadi karena di Eropa adanya semacam kejutan di sektor energi Rusia, perlambatan China, dan inflasi Eropa di mana kenaikan suku bunga bank sentral Eropa lebih menukik dibandingkan kurva miliki The Fed.
Sebagian besar indikator aktivitas ekonomi di negara maju menunjukkan perlambatan tajam yang akan tumbuh lebih buruk lagi dengan pengetatan kebijakan moneter.
Hard landing pada akhir tahun harus dianggap sebagai skenario dasar (base scenario).
Lockdown akibat Covid-19 juga menyebabkan terhambatnya pasokan, termasuk untuk tenaga kerja. Tak hanya itu, kebijakan Zero-Covid-19 di China menyebabkan lebih banyak masalah bagi rantai pasokan global.
Invasi Rusia ke Ukraina menyebabkan gelombang kejut bagi sektor energi dan pasar komoditas lainnya. Menguatnya dolar AS terhadap mata uang lainnya, adanya pembatasan perdagangan dan imigrasi, juga mempercepat tren menuju deglobalisasi.
Deglobalisasi adalah proses berkurangnya saling ketergantungan dan integrasi antara unit-unit politik di seluruh dunia, biasanya negara bangsa. Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan penurunan perdagangan ekonomi dan investasi antarnegara.
Beberapa ahli menilai perang di Ukraina dikombinasikan dengan dampak pandemi adalah titik balik menuju deglobalisasi.
Mengutip DW, dampak utama pandemi bagi ekonomi adalah gangguan rantai pasokan, yang sempat menghentikan produksi di berbagai sektor industri.
Menurut Megan Greene, ekonom senior di Harvard Kennedy School, gangguan tersebut telah mendorong perubahan mendasar dalam desain rantai pasokan indiustri.
"Pandemi telah menggeser tren dari manufaktur 'just-in-time' ke penyimpanan persediaan seperti dulu,” kata Megan Greene.
Selain gangguan yang disebutkan di atas, guncangan ini dapat mencakup adanya fakta penuaan penduduk di banyak ekonomi utama, wabah baru seperti monkeypox (cacar monyet), perubahan iklim, perang siber, dan kebijakan fiskal untuk meningkatkan upah pekerja.
Waspada Pasar Keuangan
Tekanan terbaru di pasar keuangan – termasuk pasar obligasi dan kredit – telah memperkuat pandangan Roubini bahwa upaya bank sentral untuk menurunkan inflasi akan menyebabkan kehancuran ekonomi dan sektor keuangan.
Menurut Roubini, jika resesi datang, racikan portofolio yang berisikan ekuitas berisiko (seperti saham) dan obligasi pendapatan tetap yang kurang berisiko akan kehilangan keuntungan karena inflasi dan ekspektasi inflasi yang lebih tinggi.
Roubini juga berpendapat bahwa bank sentral akan mendapatkan tekanan besar untuk melakukan pelonggaran begitu skenario hard landing dan kehancuran finansial terwujud.
Tanda-tanda awal pelemahan sudah terlihat di Britania Raya. Dihadapkan dengan reaksi pasar terhadap stimulus fiskal pemerintah yang baru, BOE telah meluncurkan program pelonggaran quantitative-easing (QE) untuk membeli obligasi pemerintah.
Tidak seperti pada umumnya, korelasi negatif antara harga obligasi dan saham akan rontok saat inflasi naik. Antara Januari dan Juni tahun ini, indeks ekuitas AS dan global turun lebih dari 20%, sedangkan imbal hasil obligasi jangka panjang naik dari 1,5% menjadi 3,5%, yang menyebabkan kerugian besar pada saham dan obligasi.
Selain itu, imbal hasil obligasi turun antara Juli dan pertengahan Agustus sehingga mempertahankan korelasi harga yang positif. Sejak pertengahan Agustus, saham terus turun tajam sementara imbal hasil obligasi naik jauh lebih tinggi.
Menurut Roubini, indeks saham akan turun sekitar 30% dalam resesi ringan dan 40% atau lebih dalam terjadinya krisis stagflasi utang.
Tanda-tanda ketegangan di pasar utang meningkat ditandai peningkatan sovereign spreads dan suku bunga obligasi jangka panjang, high-yield spread meningkat tajam, leveraged-loan dan pasar collateralized-loan-obligation kolaps, banyaknya perusahaan dengan utang tinggi, adanya bank bayangan, hingga rumah tangga, pemerintah, dan negara memasuki era peningkatan dan kesulitan hutang.
“Sementara banyak analis berpikir bahwa resesi yang akan datang akan singkat dan dangkal, sedangkan saya telah memperingatkan terhadap optimisme relatif seperti itu, menekankan risiko krisis utang stagflasi yang parah dan berlarut-larut,” ujar Roubini. (ADF)