ECONOMICS

Skema Power Wheeling Berpotensi Bikin Investor Aktif dalam Transisi Energi

Atikah Umiyani/MPI 17/02/2023 13:58 WIB

APLSI menilai skema power wheeling tersebut sejatinya memiliki potensi untuk bisa menarik investasi swasta lebih aktif berpartisipasi dalam transisi energi.

Skema Power Wheeling Berpotensi Bikin Investor Aktif dalam Transisi Energi. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Skema power wheeling yang direncanakan masuk ke dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) hingga kini masih menuai pro dan kontra berbagai pihak. 

Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang menilai skema power wheeling tersebut sejatinya memiliki potensi untuk bisa menarik investasi swasta lebih aktif berpartisipasi dalam transisi energi.

"Skema power wheeling selayaknya menjadi salah satu opsi dalam upaya memastikan adanya suplai yang fleksibel dengan mekanisme Renewable Purchase Obligation (RPO)," jelasnya dikutip dari keterangan resminya, Jakarta, Jumat (17/2/2023).

RPO merupakan kewajiban distributor listrik pusat untuk mengalokasikan sebagian listriknya bersumber dari energi terbarukan. Dengan adanya RPO, lanjut Arthur, investor akan lebih mudah masuk karena adanya kepastian pasokan energi bersih. Sehingga transisi energi dapat terakselerasi dengan optimal.

Sebagai informasi, power wheeling merupakan mekanisme yang membolehkan perusahaan swasta atau Independent Power Producers (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual setrum kepada pelanggan rumah tangga dan industri. Penjualan setrum IPP dengan mempergunakan jaringan distribusi dan transmisi milik PLN melalui open source dengan membayar biaya (fee) yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM.

Arthur juga meyakini penggunaan jaringan transmisi dan distribusi milik PLN oleh konsumen khususnya industri dan produsen listrik akan meningkatkan penetrasi EBT di dalam sistem kelistrikan umum.

Hal ini didorong oleh semakin tingginya permintaan konsumen industri akanlistrik bersumber dari EBT, yang banyak disuarakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional seperti Nike, Adidas, Coca-cola, H&M, Nestle, dan lain-lain.

"Sebagai konsumen besar, tentunya PLN akan merespons dengan baik permintaan dari industri tersebut, apalagi hal itu terkait dengan kelangsungan industri di tanah air, pertanyaan berikutnya adalah sinergi apa yang dapat membantu PLN memenuhi demand listrik EBT tersebut?" terangnya.

Sebagai wadah pengusaha atau perusahaan pengembang listrik nasional diIndonesia, APLSI meyakinkan pihaknya memiliki kemampuan dan rekam jejak yang baik untuk menjadi bagian penting pembangunan suplai EBT. Terlebih permintaan untuk listrik dari EBT diproyeksi akan meningkat terusdrastis.

PLN dan pemerintah sebagai regulator dapat mendukung transisi tersebut dengan memastikan aspek suplai atau penawaran senantiasa seirama.

Ia juga menilai perlu adanya peninjauan kembali terhadap RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Listrik) dalam menjawab dinamika baru demand industri atas listrik EBT.

"Dinamika demand listrik EBT dari industri memerlukan fleksibilitas dalam pengembangan sisi supply yang seringkali menjadi tantangan bagi dunia industri," katanya.

Arthur juga menilai PLN dan IPP perlu melakukan diskusi dan koordinasi dalam upaya bersama pembangunan dan pengadaan EBT guna memperoleh opsi terbaik untuk memberikan pelayanan terhadap permintaan pelanggan listrik akan target dekarbonisasi dari sektor industri. 

Hal itu dilakukan untuk menghasilkan kebijakan yang bertujuan untuk mengemban tugas PLM dan IPP dalam pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC) yang ditetapkan pemerintah.

(YNA)

SHARE