Soroti Tarif Resiprokal AS, HIPMI Sebut Ancaman Serius Bagi Ekonomi
HIPMI menilai kebijakan reciprocal tariff alias tarif resiprokal yang ditetapkan Trump sebagai ancaman serius bagi stabilitas ekonomi global.
IDXChannel - Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) menilai kebijakan reciprocal tariff alias tarif resiprokal yang ditetapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sebagai ancaman serius bagi stabilitas ekonomi global.
Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Pusat (BPP) HIPMI Anggawira mengatakan, kebijakan tarif timbal balik itu tidak hanya memicu ketegangan perdagangan internasional, tetapi juga berisiko menekan industri dalam negeri yang bergantung pada ekspor ke AS.
Menurutnya, langkah Donald Trump dapat memperlemah daya saing Indonesia di pasar global, terutama di sektor manufaktur padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik.
Selain itu, potensi arus modal keluar akibat ketidakpastian global dapat mengganggu stabilitas nilai tukar rupiah dan mengerek volatilitas di pasar keuangan.
“Kita menghadapi ancaman nyata. Tarif tinggi ini bisa memukul ekspor kita ke AS, memperburuk defisit perdagangan, dan berimbas pada lapangan kerja,” ujar Anggawira kepada IDX Channel, Kamis (3/4/2025).
Dia memastikan bila pemerintah dan dunia usaha tidak cepat bertindak, dampaknya bisa lebih besar dari yang diperkirakan.
HIPMI mendorong pemerintah untuk segera menerapkan kebijakan mitigasi yang konkret. Salah satu prioritas utama yaitu memperkuat cadangan devisa dengan optimalisasi Devisa Hasil Ekspor (DHE), yang tidak hanya mengharuskan eksportir menyimpan dananya di dalam negeri, tetapi juga memberi insentif agar mereka mau melakukannya secara sukarela.
“Kita tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan wajib tanpa insentif. Kalau kita ingin eksportir patuh, mereka juga harus melihat manfaat ekonominya,” tutur Anggawira.
Selain itu, HIPMI menekankan pentingnya diversifikasi pasar ekspor dengan mempercepat negosiasi dagang dengan Uni Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin. Dengan adanya ketidakpastian hubungan dagang dengan AS, mencari alternatif pasar ekspor menjadi langkah krusial agar Indonesia tidak bergantung pada satu negara.
“Kita tidak bisa terus berharap pada satu pintu perdagangan saja. Dunia berubah, dan kita harus memastikan ekspor kita punya banyak jalur agar tetap bertahan,” kata dia.
HIPMI juga mendesak pemerintah untuk mengambil langkah diplomasi perdagangan yang lebih agresif dalam menjaga hubungan dagang dengan AS. Salah satu strategi yang disarankan yaitu memperkuat peran sektor swasta dan diaspora Indonesia di AS dalam upaya membuka jalur negosiasi yang lebih fleksibel.
“Jangan hanya mengandalkan negosiasi formal antarnegara. Perusahaan swasta dan komunitas bisnis Indonesia di AS bisa menjadi jembatan penting dalam meredakan dampak kebijakan ini,” kata Anggawira.
Selain peran pemerintah, HIPMI menilai dunia usaha juga harus lebih inovatif dalam menghadapi tantangan global ini. Peningkatan efisiensi produksi, adopsi teknologi digital, serta penguatan rantai pasok lokal menjadi kunci untuk mempertahankan daya saing di tengah ketidakpastian global.
“Kita tidak boleh hanya bersikap defensif. Ini saatnya dunia usaha mengambil langkah proaktif dengan strategi adaptif agar tetap bisa bersaing,” tutur dia.
Ke depan, HIPMI menegaskan ketahanan ekonomi Indonesia sangat bergantung pada kecepatan dan ketepatan respons dalam menghadapi kebijakan proteksionisme seperti ini.
“Jika kita lambat bertindak, kita hanya akan menjadi korban dari kebijakan negara lain. Indonesia harus menunjukkan ketangguhan ekonomi dengan kebijakan yang cerdas, cepat, dan berorientasi pada solusi nyata,” kata dia.
(Febrina Ratna Iskana)