Sri Mulyani Alihkan Fokus dari Pandemi ke Risiko Ekonomi Global
Sri Mulyani mengatakan risiko yang saat ini dihadapi sudah beralih dari pandemi menuju risiko ekonomi dan keuangan yang bergejolak.
IDXChannel - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan risiko yang saat ini dihadapi sudah beralih dari pandemi menuju risiko ekonomi dan keuangan. Terlebih lagi kondisi global yang semakin bergejolak.
Dia menyebut bahwa hingga saat ini, perkembangan pandemi Covid-19 sudah kian terkendali. Bahkan, Amerika Serikat (AS) menyebut bahwa pandeminya sudah berakhir.
Dia pun menyoroti tingginya harga komoditas utama dunia yang berimbas besar terhadap perekonomian banyak negara. Bahkan volatilitasnya masih sangat tinggi karena gejolak geopolitik perang Rusia-Ukraina.
Harga gas saat ini juga tercatat masih fluktuatif, demikian juga dengan komoditas batu bara, minyak, kedelai, jagung, hingga crude palm oil (CPO).
"Harga komoditas masih sangat tidak pasti. Misal, harga batu bara yang masih bertahan di USD400 per metrik ton meskipun kemarin sempat turun di bawah USD400 per metrik ton," ujar Sri dalam konferensi pers APBN KITA edisi Oktober 2022 di Jakarta, Jumat(21/10/2022).
Tak hanya itu, harga minyak pun tercatat menurun dari yang sebelumnya mencapai USD126 per barel, juga harga CPO yang menjadi komoditas unggulan Indonesia juga turun drastis dalam satu bulan setengah terakhir. Harga kedelai meski turun, masih bergejolak. Demikian pula harga komoditas jagung yang sebelumnya sempat menurun, kini merambat naik kembali.
"Gejolak geopolitik ini sudah mengganggu sisi pasokan dan distribusi, karena menyebabkan harga komoditas menjadi tinggi dan gampang sekali bergejolak. Tingginya harga-harga komoditas ini kemudian juga memicu tingginya inflasi di berbagai negara,," ucap Sri.
Dia mencontohkan, di Inggris telah diumumkan inflasinya menembus angka 10%, dan bahkan diprediksi akan tinggi lagi dalam beberapa saat. Pasalnya, polemik di Inggris ini mendorong digantinya Menteri Keuangan Inggris dan bahkan Perdana Menterinya turun jabatan.
"Ini menandakan bahwa yang terjadi baik dari sisi ekonomi dan keuangan telah berimbas pada kondisi politik," tambah Sri.
Tak hanya itu saja, dia mewaspadai Bank Sentral AS The Federal Reserve (The Fed) yang semakin agresif menaikkan suku bunganya merespons tingginya inflasi AS di 8,2%. Bahkan, diperkirakan hingga akhir tahun, angka suku bunganya bisa mencapai 4,5%. Tindakan ini tentunya akan berdampak terhadap seluruh dunia.
Gejolak inflasi juga sudah tampak di Eropa dengan inflasi yang sudah mencapai level 10, terutama di harga energi yang kemudian memicu gejolak dan tekanan sosial. Negara-negara emerging markets juga masih mengalami inflasi, misal Brazil 8,7%, Meksiko 8,7%, India 7%, dan Indonesia 6%.
"Maka dari itu perlu respons kebijakan moneter untuk menstabilkan harga, yaitu dengan menaikkan suku bunga dan menetapkan likuiditas. Outlook perekonomian global menjadi melemah seiring kenaikan harga dan pengetatan kebijakan moneter," ujar Sri.
(FRI)